MusicPlaylistRingtones

Wednesday, December 8, 2010

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu 1/5


Seorang pencari ilmu harus memiliki beberapa adab sebagai berikut :

Pertama : Niat yang ikhlas karena Allah.

Dengan cara memaksudkan mencari ilmunya untuk mendapatkan Wajah Allah dan negeri akhirat, karena Allah mndorong dan menekankan hal itu kepada manusia. Allah berfirman:
” Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.”
(QS. Muhammad : 19). Dan pujian kepada para ulama amat dikenal dan apabila Allah memuji kepada sesuatu atau memerintahkan sesuatu maja sesuatu itu menjadi ibadah.

Dengan demikian maka wajiblah ikhlas karena Allah dalam hal ini dengan cara meniyatkan mencari ilmunya untuk memperoleh Wajah Allah. Dan apabila seseorang meniyatkan mencari ilmu syar’i untuk memperoleh ijazah agar dengan ijazah itu dia mendapatkan kedudukan atau penghasilan maka tentang hal ini Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam telah bersabda :” Barang siapa yang mencari ilmu yang diridhai oleh Allah Azza Wajalla, dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mencari keuntungan dunia maka dia tidak akan mencium baunya surga.”[1] Ini adalah ancaman yang keras.

Akan tetapi kalau seorang penuntut ilmu mengatakan bahwa saya ingin memperoleh ijazah bukan karena untuk kepentingan dunia akan tetapi karena sistem yang berlaku menjadikan orang alim diukur dengan ijazahnya. Maka kita katakan bahwa apabila niyta seseorang memperoleh ijazah dalam rangka agar bisa memberi manfaat kepada orang lain dengan cara mengajar, atau administrasi atau semisalnya maka ini adalah niyat yang selamat yang tidak madharat sedikitpun karena ini adalah niyat yang benar.

Kita sebutkan ikhlas di awal penjelasan tantang adab mencari ilmu karena ikhlas merupakan dasar, maka seorang pencari ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya unruk melaksanakan perintah Allah karena Allah memerintahkan untuk berilmu. Allah berfirman :” Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah.” Dalam ayat ini Allah memerintahkan berilmu, maka apabila engkau belajar ilmu berarti engkau melaksanakan perintah Allah Azza Wajalla.

Kedua : Menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.

Seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain karena pada asalnya manusia itu bodoh. Dalil tentang hal itu adalah firman Allah :” Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan kalian tidak tahu apa-apa dan Allah menjadikan pendengaran, pengalihatan dan hati bagi kalian agar kalian bersyukur.” (QS. An Nahl : 78).

Kenyataan memperkuat akan hal itu, oleh karena itu engkau harus meniyatkan mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu agar engaku bisa mencapai rasa takut kepada Allah.. “ Hanyalah orang-orang yang takut kepada Allah dikalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”(QS. Fathir : 28). Engkau meniyatkan menghilangkan kebodohan dari dirimu karena pada asalnya engkau adalah bodoh, maka apabila engkau belajar dan engkau menjadi ulama maka hilanglah kebodohan dari dirimu, demikian pula engkau harus meniyatkan menghilangkan kebodohan dari ummat dengan cara mengajari mereka dengan bebagai cara agar manusia bisa mengambil manfaat dari ilmumu.

Apakah syarat memanfaatkan ilmu itu harus duduik di masjid dalam suatu halaqah ? Atau mungkin manusia bisa mengambikl manfaat dari ilmumu dalam setiap keadaan ? Jawabnya adalah yang kedua, karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Sampaikanlah apa-apa yang kalian terima dariku walaupun satu ayat.”[2]
Karena apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang, lalu orang itu mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang lain maka engkau akan memperoleh pahala dua orang, kalau dia mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang yang ketiga maka engkau akan memperoleh pahala tiga orang, dan begitulah seterusnya. Dari sini maka termasuk kebid’ahan apabila seseorang berkata ketika melakukan suatu ibadah :” Ya Allah jadikanlah pahala dari amal ini untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam lah yang mengajarkan hal ini kepadamu, beliaulah yang menunjukkanmu kepada amalan itu maka beliaupun akan mendapat pahala dari amalanmu.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata :” Ilmu itu tidak ada bandingannya bagi orang yang benar niyatnya.” Beliau ditanya :” Bagaimana mewujudkan hal itu ?” Beliau menjawab :” Dia harus meniyatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.” Karena asalnya mereka adalah bodoh sebagaimana dirimupun pada asalnya bodoh, maka apabila engkau belajar untuk menghilangkan kebodohan dari ummat ini maka engkau akan termasuk diantara para mujahidin di jalan Allah yang menyebarkan agama Allah.

Ketiga : Membela syariat.

Yaitu meniyatkan mencari ilmu untuk membela syariat, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa membela syariat. Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali pembawa syariat. Kalau seseorang dari kalangan ahli bid’ah datang ke sebuah perpustakaan yang dipenuhi oleh kitab-kitab syariat sengan jumlah yang tak terhitung, lalu dia merbicara dengan kebid’ahannya dan memperkuat omongannya maka saya yakin bahwa tak ada satu kitabpun yang akan membantah omongannya. Akan tetapi apabila dia berbicara tentang kebid’ahannya di hadapan seorang ahli ilmu untuk menguatkan kebid’ahannya maka penuntut ilmu itu akan membantah orang itu dan mematahkan omongannya dengan Quran dan sunnah.

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk membela syariat karena membela syariat tidak bisa dilakukan kecuali oleh manusia persisi seperti senjata. Kalau kita punya senjata yang penuh dengan peluru, apakah senjata ini mampu beroperasi sendiri untuk memuntahkan pelurunya ke arah musuh ? Ataukah tidak bisa apa-apa kecuali dioperasikan oleh manusia ? Jawabnya adalah : Tidak bisa jalan sendiri kecuali dijalankan oleh manusia. Demikian pula dengan ilmu.

Selain itu bid’ah selalu tampil dalam bentuk baru. Kadang ada kebid’ahan tertentu yang muncul pada zaman awal dan tidak ada di dalam kitab-kitab, maka tidak mungkin ada yang bisa membantahnya kecuali penuntut ilmu, oleh karena itu saya katakan :

Sesungguhnya diantara hal yang wajib dipelihara oleh penuntut ilmu adalah membela syariat, dengan demikian maka manusia amat sangat membutuhkan para ulama untuk membantah tipu daya para ahli bid’ah dan semua musuh Allah Azza Wajalla. Dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu syar’i yang diambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Keempat : Berlapang dada dalam masalah yang diperselisihkan.

Penuntut ilmu dadanya harus lapang dalam permasalahan yang diperselisihkan yang bersumber dari hasil ijtihad karena masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama bisa terjadi dalam masalah-masalah yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya dan masalahnya sudah amat jelas,maka dalam masalah ini tak seorangpun boleh berselisih, atau bisa juga dalam masalah dibolehkan di dalamnya ijtihad maka dalam masalah ini orang boleh berselisih pendapat. Dan argumentasimu dalam masalah ini tidak bisa membatalkan argumen orang yang berbeda pendapat denganmu karena kalau kita terima hal ini maka bisa juga terjadi sebaliknya yaitu argumen dia bisa membatalkan argumenmu.

Maksud saya dengan penjelasan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan itu adalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya dan memungkinkan manusia berselisih dalam masalah itu. Adapun orang yang menyelisihi metoda salaf seperti masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini tak bisa diterima seseorang yang menyelisihi aqidah yang di yakini oleh salafus shalih, akan tetapi dalam masalah-masalah lain yang diperbolehkan bagi pikiran kita untuk terlibat maka tidak boleh perbedaan pendapat dalam masalah ini dijadikan sebagai alasan untuk mencela fihak lain atau dijadikan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian.

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum sering berbeda pendapat dalam banyak masalah, barang siapa yang ingin meneliti perselisihan pendapat diantara mereka maka hendaklah dia merujuk kepada atsar-atsar yang ada tentang mereka maka dia akan menemukan ikhtilaf dalam banyak masalah dan lebih besar dari masalah yang pada zaman sekarang ini dijadikan oleh orang sekarang sebagai adat (kebiasaan untuk berselisih sehingga orang-orang menjadikan hal itu sebagai penyebab timbulnya kelompok-kelompok dengan mengatakan : Saya beserta si Fulan dan saya bersama si Fulan ! Seolah-olah masalah ini adalah masalah kelompok. Ini adalah salah.

Contoh tentang hal itu seperti seseorang yang berkata : Apabila engkau bangkit dari ruku maka janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kiri tapi ulurkanlah ke samping dua pahamu, kalau tidak begitu maka engkau adalah mubtadi’ (ahli bid’ah).

Kata mubtadi’ (ahli bid’ah) bukanlah kata yang ringan bagi jiwa. Bila dia mengatakan hal itu kepada saya maka dada saya akan merasakan satu ketidak sukaan karena orang itu adalah manusia biasa. Kita katakan bahwa di dalam masalah ini ada kelapangan baik mau sedekap atau mau mengulurkan. Oleh karena itu Imam Ahmad menyatakan bahwa orang boleh memilih antara sedekap dengan mengulurkan ke bawah karena dalam urusan ini ada kelapangan. Akan tetapi bagaimanakah sunnahnya dalam urusan ini ?

Jawabnya adalah :

Sunnahnya adalah engkau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri apabila engkau bangkit dari ruku sebagaimana engkau lakukan hal itu ketika engkau berdiri sebelum ruku. Dalilnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary dari Sahl Bin Sa’d, dia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta kiri di dalam shalat.”[3] Perhatikanlah apakah ini maksudnya perintah ketika bersujud atau dalam keadaan ruku, atau maksudnya dalam keadaan duduk ? Tidak ! Tapi maksudnya dalam keadaan berdiri yang mencakup berdiri sebelum ruku dan berdiri setelah ruku. Jadi kita tidak boleh menjadikan perbedaan dalam hal ini sebagai sebab untuk perselisihan dan persengketaan, karena semua kita menginginkan kebenaran dan setiap kita melakukakan hasil ijtihadnya, maka selama demikian maka hal ini tidak boleh kita jadikan penyebab permusuhan dan perpecahan antara ahli ilmu karena para ulama pun selalu ikhtilaf sekalipun di zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Dengan demikian setia penuntut ilmu wajib bersatu padu dan tidak boleh menjadikan ikhtilaf seperti ini sebagai sebab untuk bermusuhan dan saling membenci, bahkan bila engkau ikhtilaf dengan sahabatmu didasarkan pada dalil yang engkau miliki dan sahabatmu berbeda denganmu juga berdasarkan kandungan dalil yang dia miliki maka wajib kamu jadikan diri mu dan dia di atas satu jalan (yaitu dalil) dan mestinya menambah rasa cinta diantara kalian berdua.

Oleh karena itu kita menyukai dan menyambut baik para pemuda kita yang mempunyai visi yang kuat untuk menyandingkan semua masalah dengan dalil dan membangun ilmu mereka di atas kitab dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, kita melihat bahwa ini termasuk kebaikan dan dia akan gembira dengan akan dibukakannya pintu-pintu ilmu dari caranya yang benar. Kita tidak menginginkan dari mereka sikapnya ini menjadi sebab munculnya sikap tahazzub (berkelompok) dan saling kebencian. Allah berfirman kepada nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi golongan-golongan, tak ada tanggung jawabmu sedikitpun dari mereka.” (QS Al An’am 159). Maka orang-orang yang menjadikan diri-diri mereka sebagai golongan-golonga tidak kita setujui karena golongan Allah itu satu. Kita lihat bahwa perbedaan faham tidak harus menyebabkan manusia saling membenci dan saling mencela kehormatan saudaranya.

Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi saudara sehingga sekalipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah furu’. Setiap orang harus memanggil fihak lain dengan lembut dan berdialog yang ditujukan untuk menggapai wajah Allah dan mencapai ilmu, dengan cara ini akan terjalinlah sikap kelembutan dan hilanglah sikap kasar dan keras yang dimiliki oleh beberapa gelintir manusia sehingga kadang-kadang sikap itu menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Hal ini tidak diragukan lagi akan menggembirakan musuh-musuh Islam, dan perselisihan di kalangan ummat merupakan bahaya terbesar yang terjadi. Allah berfirman :” Dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih maka kalian akan lemah dan akan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah karena sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar.” ( Al Anfal : 46).

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum pun suka ikhtilaf dalam masalah seperti ini akan tetapi mereka berada di atas satu hati, di atas kecintaan dan persatuan,bahkan saya akan katakan dengan jelas bahwa jika seseorang berbeda pendapat denganmu berdasarkan dalil yang dia miliki maka sebenarnya dia bersepakat denganmu, karena masing-masing kalian adalah pencari kebenaran oleh karena itu tujuan kalian adalah sama yaitu menuju kebenaran dengan dalil, dengan demikian dia tidak berselisih denganmu selama engkau mengakui bahwa dia berbeda denganmu hanya karena berdasarkan dalil yang dia miliki, lalu di manakah letak perselisihannya ? Dengan cara seperti ini maka tetaplah ummat di atas persatuan sekalipun mereka kadang berbeda di dalam beberapa masalah untuk melaksanakan dalil yang dimiliki. Adapun orang yang menentang dan takabbur setelah nampak kebenaran maka tidak diragukan lagi bahwa dia wajib diperlakukan dengan perlakuan yang layak (bagi orang seperti itu) setelah dia menentang dan menyelisihi. Setiap kondisi ada penjelasannya yang sesuai. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh
http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-1/

Footnote:
—————————————-
[1] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 2 hal 338. Abu Dawud, kitab ilmu, bab mencari ilmu selain karena Allah. Ibnu Majah, muqoddimah, bab memanfaatkan ilmu dan mengamalkannya. Hakim dalam Al Mustadrak, juz 1 hala 160. Ibnu Abi Syaibah dalam AL Mushonnaf, juz 8 hal 543. Al Ajury dalam Akhlaq ulama hal 142 dan di dalam Akhlaq ahli Quran hal 128 nomor 57. Berkata Al Hakim : Hadis ini sahih, sanadnya terpercaya.
[2] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab para nabi, bab kisah Bani Israil
[3] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab sifat shalat,bab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Dan lafazh dari Sahl Bin Sa’d mengatakan : Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta yang kiri di dalam shalat.

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu 2/5


Kelima : Mengamalkan ilmu.

Seorang penuntut ilmu harus mengamalkan ilmunya baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah, karena amalan adalah buah dari ilmu dan kesimpulan dari ilmu. Pembawa ilmu seperti orang yang membawa senjata,bisa bermanfaat baginya atau bisa juga mencelakakannya, oleh karena itu diterangkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :
” Quran itu hujjah bagimu atau dakwaan bagimu.”[1] Akan menjadi hujjah bila kau amalkan dan akan menjadi dakwaan bila tidak kau amalkan. Demikian juga mengamalkan apa-apa yang sahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dengan cara membenarkan semua kabar darinya dan melaksanakan hukum-hukum. Jika datang berita dari Allah dan rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam maka benarkanlah dan terimalah serta tunduklah dan jangan kau katakan :” Mengapa ? Bagaimana ?” Karena sikap itu adalah bukanlah sikap mukminin. Allah berfirman :
” Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin baik laki-laki maupun wanita, apabila Allah telah menetapkan sesuatu urusan akan lalu ada pilihan lain bagi mereka dari urusan mereka. Dan barang siapa yang maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan sejauh-jauhnya.”(Al Ahzab : 36).

Para sahabat ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam berbicara kepada mereka dengan sesuatu yang kadang-kadang asing dan jauh dari akal mereka mereka langsung menerima hal itu dan tidak mengatakan :” Kenapa ? bagaimana ?” Berbeda dengan sikap orang zaman kiwari dari ummat ini. Kita dapati sebagian mereka apabila disampaikan kepadanya sebuah hadis dari Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam akalnya merasa keheranan tentang hal itu dan kita temukan dia memperlakukan ucapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam yang dia renungkan isinya akan tetapi untuk di sanggah dan bukan untuk diambil petunjuknya, oleh karena itu dia terhalang untuk memperoleh taufiq sehingga membantah apa yang datang dari rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan tidak menerimanya dengan pasrah.

Saya akan berikan contoh untuk hal itu. Di dalam suatu hadis dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam beliau bersabda :” Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga akhir malam, lalu Dia berkata :
” Siapa yang berdoa kepada-Ku pasti Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku pasti Aku akan beri, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku pasti akan Aku ampuni.”[2] Hadis ini diceritakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan ini merupakan hadis yang masyhur bahkan mutawatir. Tak seorangpun sahabat yang berani mengangkat lisannya untuk bertanya :” Wahai Rasulullah, bagaimanakah Allah turun ? Apakah Arsynya kosong atau tidak ?” Dan pertanyaan senada. Akan tetapi kita temukan beberapa orang berbicara seperti ini dan menanyakan Bagaimana dengan Arsy ketika Allah turun ke langit dunia ? dan omongan lainnya yang terucap. Seandainya mereka menerima hadis ini dengan pasrah dan berkata bahwa Allah Azza wajalla bersemayam di atas Arsy dan Maha Tinggi sesuai dengan keharusan Zat-nya dan Dia turun sebagaimana yang dikehendaki-Nya Subhanahu wa Ta’ala maka akan tertolaklah syubhat ini dari mereka dan tidak akan meresa bingung tentang apa yang diberitakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tentang Rabb-Nya.

Dengan demikian kita wajib menerima apa saja yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang urusan-urusan yang ghaib dengan pasrah dan tidak membantahnya dengan apa-apap yang tersirat dalam pikiran kita karena urusan yang ghaib tak akan terjangkau oleh akal itu. Contoh tentang hal itu banyak sekali. Saya tidak ingin berbicara panjang tentang masalah ini, tapi sikap seorang mukmin terhadap hadis-hadis seperti ini hanyalah menerima dengan pasrah dengan mengatakan :
Benarlah Allah dan Rasul-Nya ! Sebagaimana yang Allah kabarkan tentang masalah ini dalam firman-Nya :” Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya….”(Al Baqarah : 285).

Aqidah wajib dibangun di atas kitab dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam Dan manusia harus mengetahi bahwa tidak ada ruang bagi akal di dalamnya. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada jalan masuk bagi akal dalam masalah aqidah, saya hanya mengatakan bahwa tidak ada ruang bagi akal dalam masalah aqidah kecuali sebatas keterangan yang datang tentang kesempurnaan Allah yang dikuatkan oleh akal sekalipun akal tidak bisa mengetahui rincian dari apa yang wajib bagi Allah tentang kesempurnaan akan tetapi akal bisa mengetahui bahwa Allah mempunyai semua sifat kesempurnaan, orang yang dikaruniai hal ini wajib mengamalkan ilmunya dari sisi aqidah.

Demikian pula dari sisi ibadah-beribadah kepada Allah Azza wajalla - Sebagaimana yang diketahui oleh kebanyakan dari kita bahwa ibadah harus dibangun di atas dua dasar :
Pertama: Ikhlas karena Allah Azza wajalla.
Kedua : Mengikuti Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.
Manusia harus membangun ibadahnya di atas ajaran yang besumber dari Allah dan Rasul-Nya tidak boleh mengada-adakan kebid’ahan dalam agama Allah yang bukan bagian dari agama ini baik dalam asal ibadahnya maupun ritualnya. Oleh karena itu kita katakan bahwa ibadah itu harus berupa sesuatu yang tetap berdasarkan syariat baik dalam bentuknya, tempatnya, waktunya, serta sebabnya, harus ditetapkan dengan syariat dalam semua hal tadi.

Kalau seseorang menetapkan salah satu sebab untuk ibadah yang dia lakukan kepada Allah tanpa dalil, maka kita tolak hal itu dan kita katakan bahwa ibadah ini tidak akan diterima karena mesti ada landasan syariatnya bahwa ini adalah menjadi penyebab ibadah tersebut kalau tidak maka tidak akan diterima. Kalau seseorang menetapkan satu syariat berupa ibadah tapi tidak ada keterangan syariat tentang hal itu atau dia melakukan satu amalan yang ada landasan syariatnya tapi dengan cara pelaksanaan yang diada-adakan atau pada waktu yang diada-adakan maka kita katakan bahwa ibadah ini juga ditolak karena ibadah itu harus dibangun di atas landasan syariat karena hal ini termasuk tuntutan dari apa yang telah Allah ajarkan kepadamu berupa ilmu yaitu tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyariatkan.

Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa pada asalnya ibadah itu dilarang sehingga adanya dalil yang mensyariatkannya. Hal ini ditunjukkan oleh ayat :
” Atau apakah mereka punya sekutu sekutu yang menetapkan syariat bagi mereka berupa agama yang Allah tidak memberika izin tentang hal itu ?” (Asy Syura : 21).

Juga bedasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam hadis yang terdapat dalam kitab Sahih (Muslim) dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha :
” Barang siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka amalan itu tertolak.”[3] Sekalipun engkau ikhlas dan ingin sampai kepada Allah dan Kemuliaannya akan tetapi dilakukan bukan dalam bentuk yang disyariatkan maka hal ini akan tertolak. Seandainya engkau ingin sampai kepada Allah dengan cara yang Allah tidak menetapkan jalan itu untuk sampai kepada-Nya maka hal inipun tertolak.

Dengan demikian setiap penuntut ilmu wajib menjadi seorang yang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan landasan syariat yang diketahuinya tidak menambah atau mengurangi.Tidak boleh dia mengatakan bahwa saya ingin beribadah kepada Allah dengan cara yang bisa membuat jiwa saya tenang dan hati saya sejuk serta dada saya lapang. Tidak boleh dia mengatakan hal ini sekalipun seandainya dia mendapatkan hal-hal tersebut, tapi dia harus menimbang dengan timbangan syariat, kalau amalan itu dikuatkan oleh kitab dan sunnah maka dia harus melaksanakan itu dengan sepenuh hati, kalau tidak maka akan masuk ke dalam timbangan amal buruknya. Allah berfirman :
” Maka apakah orang yang dihiasi oleh syetan tentang kejelekan amalnya lalu dia menganggap baik terhadap hal itu ( Sama dengan orang yang tidak ditipu?) Sesungguhnya Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendakinya dan memberi hidayah kepada orang yang dikehendakinya.” (QS. Fathir : )

Demikian juga dia harus mengamalkan ilmunya dalam hal akhlak dan muamalah. Ilmu syar’i mengajak kepada semua akhlak yang utama berupa kejujuran,menunaikan janji, dan mencintai kebaikan bagi otang mukmin, sehingga Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :
“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian sehingga dia mencinyai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.”[4] Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan ingin dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah dia memberi kepada manusia apa yang dia suka apabila hal itu diberikan kepadanya.”[5]

Banyak diantara manusia yang mempunyai ghirah dan mencintai kebaikan akan tetapi mereka tidak bergaul dengan manusia dengan akhlak mereka. Kita temukan dia bersikap kasar dan keras sekalipun pada waktu berda’wah mengajak kepada Allah Azza wajalla kita temukan dia menerapkan sikap kasar dan keras. Ini adalah menyalahi akhlak yang diperintahkan oleh Allah Azza wajalla.

Ketahuilah bahwa kebaikan akhlak merupakan hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, dan seutama-utama manusia di hadapan Rasulullah dan yang paling dekat kedudukannya dari beliau adalah orang yang paling mulia akhlaknya, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam :” Sesungguhnya orang yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat kedudukannya dariku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat adalah Tsartsrun (orang yang banyak omong), mutasyaddiqun (yang cerewet), dan al mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya :” Wahai Rasulullah, kami tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun. Lalu apakah arti mutafaihikun ?” Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam menjawab :” Orang yang takabbur.”6

Keenam : Berda’wah (mengajak) kepada Allah.

Seorang penuntut ilmu harus menjadi orang yang selalu mengajak kepada Allah Azza wajalla dengan ilmunya. Dia mengajak orang di setiap momen yang memungkinkan, baik di mesjid, di majlis, di pasar dan di setiap tempat yang memungkinkan. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam setelah Allah memberikan tugas kenabian dan tugas kerasulan kepadanya beliau tidaklah duduk-duduk di rumah tapi beliau mengajak manusia dan selalu bergerak. Saya tidak ingin seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi kutu buku akan tetapi saya ingin diantara mereka ada yang menjadi ulama yang beramal. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh
http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-2/

Footnote
————————
[1] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab wudhu, bab keutamaan wudhu.
[2] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab tahajjud,bab doa dan shalat malam.Muslim,kitab shalat musafir, bab dorongan untuk berdoa dan dzikir di akhir malam.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim , kitab Aqdhiyah,bab menggugurkan hukum-hukum yang batil dan tertolaknya perkara-perkara baru.
[4] HR. Bukhary, kitab iman, bab mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk diri sendiri. Muslim, kitab iman,bab dalil bahwa diantara perkara iman adalah mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Iarah, bab perintah menunaikan janji dengan berbaiat kepada khalifah yang bertama kemudian yang berikutnya. Redaksi lengkapnya adalah : Dari Abdullah Bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma dia berkata :” Kami bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam satu perjalanan, lalu kami istirahat di suatu tempat, diantara kami ada yang memperbaiki kemahnya, ada yang melepasakannya,dana ada juga yang diam di tempatnya. Tiba-tiba petugas rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam memanggil : Shalat berjamaah !” Maka kamipun berkumpul menuju Rsulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, lalu beliau bersabda :” Sesungguhnya tak ada seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan ummatnya kepada kebaikan yang dia ketahui kepada mereka dan mengingatkan ummatnya dari kejelekkan yang dia ketahui kepada mereka. Sesungguhnya ummat kalian ini dijadikan baik awalnya tapi generasi akhirnya akan ditimpa bala dan urusan-urusan yang kalian ingkari. Dan akan datang fitnah yang sebagian diantaranya lebih detail dari yang lainnya. Dan akan datang fitnah,lalu berkata seorang mukmin : “Ini adalah kehancuranku.” Kemudian dia terlepas dari fitnah itu. Kemudia datang lagi fitnah, lalu berkata lagi seorang mukmin :” Inilah kehancuranku.” Maka barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan ingin dimasukkan ke dalam surga hendaklah kematian mendatanginya dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah dia memberikan kepada manusia ap-apa yang dia suka apabila hal itu diberikan kepadanya. Dan barang siapa yang berbaiat kepada seorang imam lalu dia memberikan seluruh loyalitasnya dan ketaatan hatinya kepadanya maka hendaklah dia mentaatinya semampunya. Dan jika datang imam lainnya maka menggallah leher imam kedua ini.”

Tuesday, December 7, 2010

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu 3/5


Ketujuh : Hikmat.

Penuntut ilmu harus menjadi orang yang dihiasi dengan sifat hikmah, karena Allah berfirman : “Allah memberi hikmah kepada orang yang dikehendaki, dan barang siapa orang yang diberi hikmah maka berarti dia sudah diberi kebaikan yang banyak.” (Qs. AL Baqarah 269).
Hikmah berarti seorang penuntut ilmu harus mendidik orang lain dengan akhlak yang di milikinya dan dengan ajaran yang dida’wahkannya dari agama ini dengan cara berbicara dengan setiap orang dengan cara yang sesuai dengan keadaan orang tersebut. Bila kita menempuh cara ini maka kita akan memperoleh kebaikan yang banyak sebagaiman firman Allah :” Barang siapa yang telah diberi hikmah maka sungguh dia telah mendapatkan kebaikan yang banyak.” ( (QS Al Baqarah : 269).

Orang yang hikmah adalah orang yang mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya karena hikmah diambil dari kata ihkam yang artinya itqon, sedangkan itqon artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi orang yang hikmah dalam da’wahnya.

Allah telah menerangkan tentang tingkatan da’wah dalam firman-Nya :” Serulah manusia ke jalan Rabbmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baikserta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An Nahl 125). Allahpun menerangkan tingkatan keempat dalam berdebat dengan ahli kitab. Dia berfirman :” Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang yang dhalim diantara mereka.” (Al Ankabut : 46).

Seorang penuntut ilmu harus memilih cara da’wah yang yang lebih dekat untuk diterima. Contoh hal itu adalah dalam da’wah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Ada seorang Arab Badui datang ke mesjid dan dia kencing di salah satu pojok mesjid. Para sahabatpun bangkit untuk mencegahnya, tapi mereka dilarang oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabipun memanggil dia dan berkata kepadanya :” Sesungguhnya masjid ini tidaklah pantas untuk sesuatupun dari kencing atauu kotoran, hanyalah mesjid itu untuk dzikir kepada Allah Azza wajalla, shalat, dan membaca AL Quran.”[1] Atau seperti yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Apakah kalian melihat hal yang lebih hikmah dari hal ini ? Maka orang Arab Badui inipun lapang dadanya dan rela sehingga dia berdoa :” Ya Allah,berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad saja dan janganlah Engkau berikan rahmat kepada seorangpun selain kami.”

Kisah lainnya dari Muawiyah Bin Hakm As Sulamy, dia berkata :” Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tiba-tiba salah seorang ada yang bersin, lalu aku berkata :” Semoga Allah merahmatimu.” Maka orang-orangpun menunjukan pandangan mereka kepadaku, lalu aku berkata :” Ada apa dengan kalian ? Kenapa kalian memandang kepadaku ?” Maka orang-orangpun memukul-mukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Maka ketika aku melihat bahwa mereka bermaksud mendiamkanku maka akupun diam. Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam selesai shalatnya maka demi bapakku,dia, dan ibuku, aku tidak pernah melihat seorang yang lebih baik mengajarnya dari pada beliau, beliau tidak membenciku, mumukulku atau mencelaku, beliau hanya berkata :” Sesungguhnya shalat ini tidaklah pantas di dalamnya ada perkataan manuisa sedikitpun, sebab shalat itu hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al Quran.”[2] Dari sini kita temukan bahwa mengajak kepada Allah wajib dengan cara yang hikmah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wajalla.

Contoh lain bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam melihat seorang laki-laki sedang memakai cincin dari emas di tangannya, sedangkan cincin emas haram bagi laki-laki. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam mencabut emas itu dari tangannya dan melemparkannya sambil berkata :” Salah seorang diantara kalian bersandar kepada bara api neraka lalu menyimpannya di tangannya ?”[3] Setelah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam pergi, maka ada yang berkata kepada laki-laki itu : “ Ambil cincinmu dan manfaatkanlah !” Diapun berkata :” Demi Allah, aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasuluillah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Cara memberi bimbingan dalam kasus ini lebih keras karena bagi setiap kasus ada caranya tersendiri. Demikianlah setiap orang yang mengajak kepada Allah hendaklah menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan janganlah menempatkan manusia pada level yang sama. Yang menjadi maksud utama adalah teraihnya manfaat.

Kalau kita perhatikan apa yang banyak dilakukan oleh para da’I sekarang maka akan kita temukan bahwa sebagian dari mereka lebih didominasi oleh perasaan ghirah sehingga membuat manusia lari dari da’wahnya. Dan kalau dia melihat orang lain melakukan sesuatu yang haram maka akan engkau dapatkan bahwa dia akan menegurnya dengan keras dan kasar dengan mengatakan :” Kamu tidak takut kepada Allah ?” Dan perkataan yang semisal itu sehingga membuat orang itu lari dari dia. Ini tidaklah baik karena hal ini kontra produktif. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengutip perkataan Imam Syafi’I tentang pendapat beliau terhadap ahli kalam ketika mengatakan :” Ketetapanku tentang ahlu kalam hendaklah mereka dipukul dengan pelepah kurma dan sendal lalu diarak berkeliling di jalan-jalan sambil dikatakan kepadanya : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan kitab dan sunnah dan memperhatikan ilmu kalam..”

Berkata Syaikhul Islam :” Sesungguhnya manusia apabila melihat kepada mereka (ahli kalam) maka akan mereka temukan bahwa mereka berhak menerima hukuman seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’I dari satu segi akan tetapi apabila menusia melihat mereka dengan kacamata taqdir, bagaimana kebingungan telah menguasai mereka, dan syetan telah mendominasi mereka maka manusia akan merasa kasian kepada mereka dan mengasihi mereka dan akan bersyukur kepada Allah karena Allah telah menyelamatkan dirinya dari musibah yang Allah timpakan kepada mereka. Mereka diberi kecerdasan tetapi tidak diberi kesucian, mereka diberi pemahaman tetapi tidak diberi pengetahuan, mereka diberi pendengaran, penglihatan, dan hati tetapi semua itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka“.

Demikianlah wahai saudaraku, hendaklah kita melihat kepada ahli maksiyat dengan dua jenis pandangan. Pandangan syar’i dan pandangan taqdir. Pandangan taqdir artinya kita tidak boleh mempedulikan celaan orang yang mencela dalam menjalankan hukum Allah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang wanita dan laki-laki pezina :” Maka jilidlah mereka berdua masing-masing seratus kali dan janganlah kalian merasa kasian kepada keduanya dalam melaksanakan agama Allah.” (QS. An Nur : 2).
Kalau kita memandang mereka dengan pandangan taqdir maka kita akan mengasihani mereka dan iba kepada mereka serta bermuamalah dengan mereka dengan cara yang kira-kira lebih dekat kepada tercapainya tujuan dan terkikisnya hal yang tidak disukai. Inilah sikap seorang penuntut ilmu, berbeda dengan orang yang bodoh yang memiliki ghirah akan tetapi dia tidak memiliki ilmu. Maka seorang penuntut ilmu yang sekaligus sebagai da’I yang selalu mengajak kepada Allah wajib menerapkan pola hikmah.

Kedelapan : Seorang penuntut ilmu harus sabar dalam belajar.

Artinya ulet dalam mencari ilmu, tidak putus di tengah jalan, dan tidak bosan, tapi harus kontinyu dalam belajar semampu mungkin hendaklah dia fokuskan perhatian kepada ilmu dan tidak bosan karena seorang manusia apabila dihinggapi dengan bosan maka dia akan cepat lelah lalu akan meninggalkan belajarnya, akan tetapi apabila dia ulet di atas ilmu maka dia akan memperoleh pahala orang-orang yang sabar dari satu sisi dan dia akan memetik hasil dari sisi lain. Dengarlah firman Allah Azza wajalla ketika Dia berfirman kepada nabi-Nya :” Itulah diantara berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu yang sebelumnya kamu tidak ketahui juga tidak diketahui oleh kaummu, maka bersabarlah, sesungguhnya hasil yang baik diperuntukkan bagi orang-orang yang taqwa.” (QS. Hud : 49).

Kesembilan : Menghormati ulama dan memulyakan mereka.

Setiap penuntut ilmu wajib menghormati ulama dan memulyakan mereka serta berlapang dada ketika terjadi ikhtilaf antara ulama dengan selain mereka dan memaklumi orang yang menempuh jalan yang salah dalam i’tikad mereka. Ini point yang penting sekali karena sebagaian manusia ada yang memperhatikan kesalahan orang lain untuk disikapi dengan sikap yang tidak layak tentang mereka dan menyebarkan berita mereka di kalangan manusia. Ini merupakan kesalahan terbesar karena apabila mengghibahi manusia biasa sudah termasuk dosa besar maka mengghibahi seorang berilmu lebih besar lagi dosanya karena mengghibahi seorang yang berilmu madharatnya tidak hanya terbatas kepada pribadi yang bersangkutan saja tetapi juga terhadap ilmu syar’i yang dibawanya.

Apabila manusia menganggap enteng kepada seorang yang berilmu atau harga dirinya jatuh dalam pandangan mereka maka perkataannyapun akan jatuh pula. Bila dia (orang yang berilmu) mengatakan kebenaran dan menuntyun kepada kebenaran maka ghibah manusia kepada orang yang berilmu ini akan menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu syar’i yang dibawanya. Dan bahaya tentang hal ini besar sekali.

Aku katakan bahwa para pemuda wajib menanggapi ikhtilaf yang terjadi diantara ulama dengan niyat yang baik dan didasari dengan sikap ijtihad dan memaafkan mereka dalam kesalahan mereka. Tidak ada halangan untuk berbicara dengan mereka dalam hal yang mereka yakini bahwa hal itu salah untuk menjelaskan kepada mereka apakah kesalahan itu datang dari mereka atau dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka salah ? Karena kadang-kadang manusia menganggap bahwa pendapat seorang alim itu salah kemudian setelah terjadi diskusi jelaslah baginya bahwa dia adalah benar. Manusia itu orang biasa :” Setiap anak Adam suka melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.”[4]

Adapun bergembira dengan kesalahan dan penyimpangan seorang alim untuk disebarkan di kalangan manusia sehingga terjadi perpecahan maka hal ini bukanlah jalan hidup salaf.

Demikian pula kesalahan yang terjadi di kalangan umaro. Tidak boleh kita menjadikan kesalahan mereka sebagai tangga untuk mencaci mereka dalam segala hal tanpa memandang amal-amal baik mereka, karena Allah berfirman :” Hai orang-orang yang beriman jadilah kalian saksi-saksi yang adil karena Allah dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabn\kan kalian tidak berbuat adil.” ( Al Maidah : 8). Artinya Kebencian terhadap suatu kaum jangan sampai menyebabkan kalian berbuat tidak adil. Adil itu wajib. Tidaklah halal bagi seseorang untuk mengambil kesalahan umaro atau ulama atau selain mereka lalu disebarkan diantara manusia sementara dia diam dari kebaikan-kebaikan mereka. Ini tidaklah adil.

Analogikanlah ini dengan dirimu. Seandainya seseorang berbuat lancang kepadamu dan menyebarkan kesalahan serta peyimpanganmu dan menyembunyikan kebaikan dan kebenaran yang ada padamu, maka engkau akan menganggap hal itu sebagai pengkhianatan dia kepadamu. Kalau engkau melihat hal itu pada dirimu maka wajib pula engkau berpandangan seperti itu pula terhadap orang lain. Sebagaimana yang telah aku isyaratkan tadi bahwa obat bagi apa yang engkau anggap salah hendaklah engkau menghubungi orang yang engkau anggap salah tersebut lalu berdiskusi maka akan jelaslah sikap setelah berdiskusi.

Betapa banyak orang yang setelah berdiskusi lalu dia rujuk dari pendapatnya kepada pendapat yang benar. Dan betapa banyak manusia setelah berdiskusi ternyata pendapatnya benar padahal tadinya kita mengira bahwa dia salah. “ Orang mukmin dengan orang mukmin itu seperti bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.”[5]

Nabi  bersabda :” Siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah dia berbuat kepada manusia sebagaimana dia suka apabila manusia berbuat seperti itu terhadapnya.”[6] Inilah sikap adil dan istiqamah. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh

Footnote
—————————————-
[1]Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab wudhu, bab menuangkan air ke atas kencing di masjid.Muslim, kitab thoharaoh, bab wajibnya membasuh air kencing.
[2]Dikeluarkan oleh Muslim, kitab masjid dan tempat-tempat shalat, bab haramnya berbicara di dalam shalat.
[3]Dikeluarkan oleh Muslim, kitab pakaian, bab haramnya cincin emas bagi laki-laki.
[4]Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 3 hal 198. Tirmidzi, kitab sifat hari kiamat, juz 4 hal 569 nomor 2499. Ibnu Majah , kitab Zuhud, bab keterangan tobat. Ad Darimi, kitab riqoq, bab tobat. Al Baghowy dalam syarah as sunnah juz 5 hal 92. Abu Na’im dalam Al Hilyah juz 6 hal 332. Hakim dalam Mustadrak juz 4 hal 273 Ai Ajuly dalam Kasyful Khufa juz 2 hal 120. Berkata Hakim :” Hadis sahih sanadnya tapi keduanya tidak mengeluarkannya. Mustadrak juz 4 hal 273. Kata Al ‘Ajuly sanadnya kuat. Juz 2 hal 120.
[5]Diriwaytkan oleh Bukhori, kitab masjid, bab menganyam jari-jari di masjid dan di tempat lain. Muslim, kitab kebaikan dan silaturrahmi, bab saling menyayangi, mengasihi , dan membantu dengan sesama mukmin.
[6]Takhrij hadis ini telah diterangkan pada halama yang lalu.

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu 4/5


Kesepuluh : Berpegang teguh kepada kitab dan sunnah.

Setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang tinggi untuk memperoleh ilmu dan mengambilnya dari akar/dasar yang tidak mungkin dicapai oleh penuntut ilmu bila tidak dimulai dari hal ini. Yaitu :

1.Al Quranul Karim.
Setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat untuk membaca, mengahafalkan, memahami dann mengamalkan Al Quran, karena Al Quran adalah tali Allah yang kuat dan menjadi dasar bagi segala ilmu. Generasi salaf dahulu memiliki semangat yang amat tinggi dalam hal ini sehingga sering dikisahkan tentang mereka kisah-kisah yang menakjubkan tentang tingginya semangat mereka terhadap Al Quran. Engkau dapati salah seorang diantara mereka telah hafal Quran sejak usia tujuh tahun, sebagian lagi ada yang menghafalkan Quran kurang dari satu bulan. Hal ini menunjukkan tingginya semangat generasi salaf  terhadap Al Quran, maka setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang tinggi terhadap Quran dan menghafalkannya di bawah bimbingan seorang pengajar karena Al Quran diambil dengan cara talaqqy (dipelajari secara langsung dari guru).

Termasuk hal yang amat disayangkan yaitu apa yang engkau lihat bahwa sebagian penuntut ilmu tidak menghafal Quran bahkan sebagian diantara mereka tidak bagus bacaannya. Ini adalah aib yang besar dalam manhaj penuntut ilmu. Oleh karena itu saya ulang berkali-kali bahwa setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang besar untuk menghafal Quran, mengamalkannya dan menda’wahkannya serta memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan pemahaman salafus soleh.

2.Sunnah yang sahihah.
Sunnah adalah sumber kedua bagi syariat Islam. Dia adalah yang menjelaskan Al Quran yang mulia, maka penuntut ilmu wajib memadukan keduanya (Quran dan sunnah) dan menaruh minat yang tinggi terhadap keduanya. Setiap penuntut ilmu harus menghafalkan sunnah, baik menghafalkan redaksi hadis atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matannya dan membedakan antara yang sahih dengan yang dhoif. Demikian pula memelihara sunnah dengan cara membelanya dan membantah syubhat ahli bid’ah tentang sunnah.

Setiap penuntut ilmu harus loyal/berpegang teguh kepada Quran dan sunnah yang sahihah. Bagi seorang penuntut ilmu, keduanya (Quran dan sunnah) bagaikan dua sayap bagi seekor burung yang apabila salah satunya patah maka si burung tidak akan bisa terbang.

Oleh karena itu jangan sampai engkau memperhatikan sunnah tapi melalaikan Quran atau memperhatikan Quran tapi melalakan sunnah. Banyak penuntut ilmu yang memperhatikan sunnah baik syarahnya, rijalnya, ataupun mushtholahnya dengan perhatian yang besar akan tetapi apabila engkau bertanya kepadanya tentang salah satu ayat dalam kitab Allah maka engkau lihat dia bodoh tentang hal itu. Ini adalah kesalahan besar. Jadi Quran dan sunnah harus menjadi dua sayap bagimu wahai para pencari ilmu.

Ada hal ketiga yang amat penting yaitu pendapat para ulama. Janganlah engkau meremehkan pendapat ulama dan jangan menyepelekannya karena para ulama lebih mendalam ilmunya dari padamu. Mereka memiliki kaidah-kaidah syar’iyyah, rahasia-rahasia serta batasan-batasannya yang tidak engkau ketahui. Oleh karena itu para ulama yang mulia dan para muhaqiq apabila menurut mereka telah jelas satu pendapat, mereka mengatakan : “ Bila salah seorang diantara ulama berpendapat demikian maka kamipun berpendapat demikian, kalau tidak maka kamipun tidak”. Contohnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh dengan ketinggian ilmunya dan keluasan muthola’ahnya tapi apabila beliau mengatakan satu perkataan yang beliau tidak mengetahui siapa yang berpendapat demikian beliau mengatakan :” Saya berpendapat begini apabila ada ulama yang berpendapat demikian.“ Lalu beliau tidak mengambil pendapat itu.

Oleh karena itu setiap penuntut ilmu wajib rujuk kepada kitab Allah dan sunnah Rasul  dan memahaminya dengan penjelasan ulama.

Rujuk kepada kitab Allah dengan cara menghafalkannya, menelaahnya, dan mengamalkan apa-apa yang ada di dalamnya, karena Allah berfirman :
“ Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu yang penuh barakah agar mereka menelaah ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal bisa mengambil pelajaran.” (QS Shad : 29).

Menelaah ayat-ayat-Nya sehingga bisa sampai kepada memahami maknanya. Sedangkan mengambil pelajaran maksudnya mengamalkan Al Quran.

Al Quran diturunkan untuk tujuan ini. Bila diturunkan untuk ini maka hendaklah kita kembali kepada kitab Allah agar kita menelaah dan mengetahui maknanya kemudian kita menerapkannya. Demi Allan di dalam hal ini terdapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah berfirman :
” Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk dari-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” ( QS, Thoha : 123-124).

Oleh karena itu sampai kapanpun engkau tidak akan menemukan orang yang lebih nikmat kehidupannya, lebih lapang dadanya, dan lebih tenang hatinya dari pada orang mukmin sekalipun dia miskin. Seorang mukmin adalah seorang manusia yang paling lapang dadanya, paling tenang hatinya, dan paling luas perasaannya. Bila kalian mau bacalah firman Allah Ta’ala :
” Barang siapa yang beramal solih baik laki-laki ataupun wanita dan dia mukmin maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik baginya dan akan Kami berikan balasan pahala mereka karena kebaikan amal yang telah mereka lakukan.” (QS. An Nahl : 97).

Apakah kehidupan yang baik itu ?

Jawab : Kehidupan yang baik adalah kelapangan dada dan ketenangan hati sekalipun seseorang berada pada keadaan yang sulit, tapi hatinya tenang dan dadanya lapang. Nabi  bersabda :” Sungguh mempesonakan urusan orang mukmin karena seluruh urusannya baik. Hal itu tidak layak bagi seorangpun kecuali bagi seorang mukmin. Bila dia ditimpa kesulitan maka dia sabar maka hal itu baik baginya. Dan apabila dia mengalami kesenangan dia bersyukur maka hal itu baik bagi dirinya.”

Seorang yang kafir apabila dia ditimpa kesusahan, apakah dia bersabar ? Jawabnya : Tidak ! Bahkan dia akan bersedih dan dunia akan terasa sempit baginya kadang-kadang dia putus asa dan bunuh diri. Akan tetapi seorang mukmin dia akan bersabar dan akan merasakan kelezatan sabarnya berupa kelapangan dada dan ketenangan, oleh karena itu kehidupannya menjadi baik. Inilah maksud firman Allah :” Maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik kepadanya.” Kehidupan yang baik di dalam hati dan jiwanya.

Salah seorang ahli sejarah ketika menceritakan tentang kehidupan Al Hafizh Ibnu Hajar Rohimahulloh mengisahkan bahwa beliau seorang hakim di Mesir pada zamannya. Apabila beliau pergi ke tempat kerjanya beliau selalu datang dengan memakai kereta yang ditarik dengan kuda. Suatu hari beliau bertemu dengan seorang Yahudi penjual minyak di Mesir. Biasanya penjual minyak itu pakaiannya kotor. Lalu Yahudi ini menghentikan kendaraan Sang Hakim, lalu berkata kepada Imam Ibnu Hajar Rohimahulloh :
” Sesungguhnya Nabi kalian pernah bersabda :” Dunia ini penjara bagi orang mukmin tapi surga bagi orang kafir.”[1] Anda adalah seorang hakim agung di Mesir, menunggang kendaraan ini dan berada dalam kenikmatan ini. Sedangkan aku berada dalam derita dan sengsara seperti ini ?[2] Berkatalah Ibnu Hajar Rohimahulloh : “ Aku dalam keadaanku sekarang berupa kemewahan dan kenikmatan, tapi dibanding kenikmatan surga ibarat penjara. Sedangkan engkau dengan penderitaanmu sekarang dibanding adzab neraka nanti ibarat surga.” Berkatalah Yahudi “ Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Dia masuk Islam.

Seorang mukmin akan selalu baik bagaimanapun keadaannya dan dialah yang beruntung dunia akhirat.
Sedangkan orang kafir selalu jelek dan dialah yang akan rugi dunia dan akhirat.
Allah berfirman :” Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia pasti rugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh serta saling mewasiatkan dalam kebenaran dan saling mewasiatkan dalam kesabaran.” (QS Al Ashr : 1-3)

Jadi orang-orang kafir dan orang-orang yang menyia-nyiakan agama Allah dan tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan hidup mereka, sekalipun mereka membangun istana dan menguatkan serta bergelimang dalam gemerlapnya dunia tetapi hakikatnya mereka berada dalam neraka Jahim, sehingga sebagaian salaf pernah mengatakan :” Seandainya para penguasa serta para begundalnya mengetahui kenikmatan yang kami rasakan pastilah mereka akan memenggal kami dengan pedang.”

Adapun orang mukmin, mereka tenggelam dalam kenikmatan dengan bermunajat dan dzikir kepada Allah. Mereka selalu beserta ketentuan Allah dan taqdir-Nya. Bila mereka ditimpa penderitaan mereka akan sabar dan bila mengalami kesenangan mereka akan bersyukur. Maka mereka selalu berada dalam keadaan yang paling menyenangkan. Berbeda dengan para pemilik harta, mereka berada dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Allah :” Kalau mereka diberi kenikmatan dunia, mereka ridha, tetapi kalau mereka tidak diberi tiba-tiba mereka marah.” (QS. At Taubah : 58).

Adapun rujuk kepada sunnah Nabi maka sunnah Rasul sekarang ada terpelihara di tengah-tengah kita, Alhamdulillah. Sampai hadis palsu atas nama Nabipun ada. Dan para ahli ilmu telah menjelaskan mana yang benar-benar sunnah dan mana yang palsu, sehingga tinggallah yang sunnah dengan jelas dan terpelihara, Alhamdulillah, sehingga setiap orang bisa sampai kepadanya baik dengan merujuk kepada kitab-kitab – bila memungkinkan- atau dengan cara bertanya kepada ahli ilmu.

Akan tetapi bila ada orang yang berkata :” Bagaimana memadukan antara yang anda katakan berupa rujuk kepada kitab Allah dan sunnah Rasul, dengan kenyataan bahwa kita menemukan orang-orang mengikuti kitab-kitab yang dikarang dalam madzhab-madzhab ? Sehingga ada yang berkata :” Madzhab saya adalah ini !” Yang lain mengatakan :” Madzhab saya itu !” dan seterusnya sehingga bila anda berfatwa kepada seseorang dengan mengatakan :” Telah berkata Nabi Shalallahu alaihi wasallam begini dan begini ….” Tapi orang itu mengatakan :” Madzhab saya Hanafy, atau Maliky, atau Syafi’iy, dan seterusnya…….

Kita jawab bahwa kita semua mengatakan : Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang Haq selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Lalu apa makna syahadat bahwa Muhammad itu utusan Allah ?

Para ulama mengatakan bahwa maknanya adalah : Mentaatinya dalam semua perintahnya, membenarkan semua yang diberitakannya, dan menjauhi semua yang dilarangnya, serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

Bila ada orang yang mengatakan bahwa madzhabku adalah anu, maka kita katakan kepadanya bahwa ini adalah ucapan Rasul Shalallahu alaihi wasallam , maka janganlah kamu menentangnya dengan perkataann siapapun.

Para imam madzhab pun melarang kita dari taqlid kepada mereka dengan taqlid buta. Mereka mengatakan :” Ketika kebenaran telah jelas maka wajiblah untuk merujuk kepadanya.”

Kita katakana kepada orang yang menentang kita dengan madzhab tertentu :” Kami dan anda sama-sama bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Konsekwensi dari persaksian ini adalah kita tidak mengikuti siapapun kecuali Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam“.

Inilah sunnah di depan kita dengan jelas dan nyata. Tapi maksud saya dengan ucapan ini bukan berarti mengecilkan pentingnya merujuk kepada kitab para fuqoha dan ahli ilmu, bahkan merujuk kepada kitab-kitab mereka untuk mengambil manfaat dan mengetahui metoda penetapan hukum dari dalilnya termasuk perkara yang tidak mungkin dilakukan oleh para penuntut ilmu kecuali dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut.

Oleh karena itu kita temukan bahwa orang-orang yang tidak belajar melalui bimbingan para ulama, kita temukan bahwa mereka memiliki penyimpangan yang banyak, karena mereka akan memandang dengan sudut pandang yang minim dari pandangan yang semestinya. Umpamanya mereka mengambil sahih Bukhari, lalu mereka memegang pandapat yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut, padahal di dalam hadis-hadis tersebut ada yang sifatnya umum, ada yang khusus, ada yang mutlak ada pula yang muqoyyad. Ada pula yang mansukh akan tetapi mereka tidak tertunjuki kearah itu, akhirnya mereka terjerumus ke dalam kesesatan yang besar. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh
http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-4/

Footnote:
—————————————
[1] Riwayat Muslim, kitab zuhud
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Zuhud, bab orang mukmin itu semua urusannya baik.

Monday, December 6, 2010

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu 5/5


Kesebelas : Tatsabbut dan Tsabat

Diantara adab terpenting yang wajib dimilki oleh setiap penuntut ilmu adalah tatsabbut. Baik dalam hal berita yang disampaikan maupun dalam hal hukum yang bersumber dari pendapatmu. Apabila ada berita yang disampaikan maka hendaklah engkau menyelidiki terlebih dahulu apakah berita itu benar atau tidak, Kemudian apabila ternyata benar, maka janganlah langsung menghukumi. Selidikilah aspek hukumnya, sebab mungkin saja berita yang engkau dengar itu dibangun di atas dasar kebodohanmu lalu engkau menghukuminya bahwa hal ini salah, padahal kenyataannya hal itu tidak salah. Akan tetapi bagaimana solusi dari keadaan ini ?

Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang menjadi objek berita lalu engkau katakan padanya bahwa telah diberitakan tentang dirimu begini dan begini, apakah hal itu benar ? Kemudian engkau berdiskusi dengannya. Kadang-kadang pengingkaran dan sikap menjauhmu dari dia pada awal ketika engkau mendengar berita tentang dia karena engkau tidak tahu apa penyebab timbulnya berita itu. Peribahasa mengatakan bahwa apabila diketahui sebab maka hilanglah rasa heran. Oleh karena itu mau-tidak mau harus menyelidiki terlebih dahulu. Kemudian setelah itu engkau menghubungi orang tersebut dan bertanya kepadanya apakah hal itu benar atau tidak ? Kemudian engkau berdiskusi dengannya. Hasilnya mungkin dialah yang berada di atas kebenaran lalu engkau yang rujuk kepadanya atau kebenaranlah yang menyertaimu lalu dia rujuk kepadamu.

Ada perbedaan antara Tsabat dan Tatsabbut. Keduanya merupakan istilah yang hampir serupa dari segi lafazh tetapi berbeda dalam masalah arti. Tsabat artinya adalah sabar dan ulet, tidak jemu dan tidak bosan serta tidak mengambil sebagian dari setiap kitab atau secuil dari satu disiplin ilmu lalu ditinggalkannya, karena hal ini akan membahayakan si penuntut ilmu, dan waktupun terbuang tanpa faidah. Umpamanya ada penuntut ilmu dalam masalah Nahwu kadang-kadang membaca buku Al Ajurumiyah tapi di waktu lain membaca matan Qatrun Nada, dan di waktu yang lain lagi dia membaca Alfiyah. Demikian pula dalam hal ilmu mushthalah, kadang dia membaca kitab Nukhbah, kadang Alfiyah Ak Iraqy. Juga dalam hal fiqih, kadang dia membaca kitab Zaadul Mustaqni’ kadang membaca Umdatul Fiqh, atau Al Mughny, atau syarah Muhadzdzab. Demikianlah seterusnya pada setiap kitab.

Pada umumnya orang yang begini tidak akan meraih ilmu, kalau bisa meraih ilmupun hanya pada beberapa masalah tapi tidak mendasar. Orang yang memperoleh ilmu dalam beberapa masalah seperti orang yang menemukan belalang satu demi satu. Jadi penuntut ilmu haruslah belajar dengan mendasar, mendalam dan ulet. Inilah yang penting. Ulet dalam berhubungan dengan kitab yang engkau baca dan engkau ulang-ulang, ulet juga dalam hal guru tempat engkau menimba ilmu. Janganlah engkau belajar secara memutar setiap pekan kepada seorang guru, atau setiap bulan berganti guru ! Pertama-tama tetapkan (pilih) seorang guru tempat engkau menimba ilmu, kemudian setelah mantap tetaplah (belajar padanya) dan janganlah setiap pekan atau bulan engkau berganti guru. Tidak ada perbedaan antara memilih guru dalam masalah fiqih lalu terus kontinyu bersamanya dalam masalah fiqih, dan guru lain dalam masalah Nahwu lalu engkau menetap belajar kepadanya dalam masalah Nahwu. Dan guru lain dalam masalah aqidah dan tauhid lalu engkau terus bersamanya dalam hal itu. Yang penting engkau jangan berganti- ganti guru, sehingga engkau menjadi seperti seorang tukang menceraikan, setiap kali menikahi seorang wanita dia tinggal bersama wanita itu selama sepekan lalu dia ceraikan dan pergi untuk mencari yang lain.

Demikian juga tatsabbut adalah sesuatu yang penting karena orang yang menyampaikan berita kadang-kadang mereka mempunyai maksud jelek. Mereka menyampaikan berita yang kedengarannya jelek secara sengaja, Kadang-kadang mereka tidak mempunyai maksud jelek tetapi mereka memahami sesuatu dengan pemahaman yang sebaliknya dari yang dimaksud. Oleh karena itu wajib tatsabbut (menyelidiki) Apabila yang diberitakan telah yakin sanadnya barulah melangkah ke taraf diskusi dengan orang yang diberitakan sebelum engkau menghukumi perkataannya bahwa dia itu salah atau tidak salah. Hal ini disebabkan karena kadang-kadang dengan diskusi nampaklah olehmu bahwa kebenaran menyertai orang perkataannya diberitakan tadi.

Kedua belas : Bersungguh-sungguh dalam memahami maksud perkataan Allah  dan perkataan Rasulullah  .

Diantara perkara yang penting bagi para penuntut ilmu adalah masalah pemahaman, artinya memahami apa yang dimaksdu oleh Allah Azza Wajalla dan apa yang dimaksud oleh Rasulullah  karena kebanyakan menusia diberi ilmu akan tetapi tidak diberi pemahaman. Tidaklah cukup bagi engkau untuk menghafal kitab Allah dan apa yang mudah dari sunnah Rasulullah  tanpa pemahaman. Engkau harus memahami apa yang Allah maksud dan apa yang dimaksud oleh Rasulullah  dari Allah dan rasul-Nya. Betapa banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh manusia yang berdalil dengan nash tetapi tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya lalu lahirlah kesesatan akibat hal itu.

Disini saya ingin mengingatkan tentang satu point penting yaitu bahwa kesalahan dalam memahami kadang-kadang lebih berbahaya dari pada kesalahan karena kebodohan. Karena orang yang bodoh yang bersalah karena kebodohannya mengetahui bahwa dia bodoh dan dia akan belajar. Tetapi orang yang pemahamannya salah meyakini dirinya berilmu dan benar dan meyakini bahwa inilah yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya. Kita berikan dua contoh dalam hal ini agar jelaslah bagi kita pentingnya pemahaman.

Contoh pertama :


Allah berfirman : (QS. 21 : 78-79)
Allah telah memberikan kelebihan kepada Sulaiman dari pada Dawud dalam masalah ini berupa pemahaman : ” Maka Kami berikan pemahaman kepada Sulaiman terntang masalah ini.”" Akan tetapi tidak ada kekurangan dalam ilmu Dawud. ” Dan masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu.”

Perhatikanlah ayat yang mulia ini, ketika Allah menerangkan keistimewaan Sulaiman berupa pemahaman, Allahpun menerangkan juga kelebihan Dawud, makanya Allah berfirman: ” Dan Kami tundukkan bagi Dawud……“. Sehingga seimbanglah masing-masing keduanya. Lalu Allah menerangkan apa yang sama dalam diri mereka berupa hikmah dan ilmu kemudian Dia menerangkan keistimewaan masingh-masing dibanding yang lainnya.

Ini menunjukkan kepada kita tentang pentingnya pemahaman dan ilmu bukanlah segalanya.

Contoh kedua :

Bila engkau mempunyai dua buah bejana yang satu berisi air hangat dan yang satu lagi berisi air dingin, dan saat itu sedang musim dingin. Lalu datanglah seseorang yang ingin mandi junub, lalu sebagian orang berkata :” Yang lebih utama engkau menggunakan air dingin karena dalam penggunaan air dingin terkandung kesulitan, karena Nabi  bersabda : Maukah aku tunjukkan kepada kalian apa yang bisa menyebabkan Allah menghapus kesalahan dan meningangkat derajat ?” Maka sahabat menjawab : Mau ya Rosulullah !” Beliau bersabda :” Menyempurnakan wadhu pada saat sulit…….“[1]

Maknanya adalah berwudhu pada waktu dingin, Jadi apabila engkau menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama dari pada berwudhu dengan air hangat yang sesuai dengan suhu udara. Lalu orang itu memfatwakan bahwa menggunakan air dingin ketika itu lebih utama karena berdalil dengan hadis tadi.

Apakah ini kesalahan dalam hal ilmu atau kesalahan pemahaman ?
Jawab :
Ini adalah kesalahan dalam pemahaman karena Rasulullah  bersabda :” Menyempurnakan wudhu ketika sulit ” Beliau tidak berkata :” Hendaklah kamu pilih air dingin untuk wudhu !” Bedakanlah kedua kalimat ini ! Seandainya di dalam hadis ini dikatakan kalimat yang kedua maka kita katakana : Ya ! kita memilih air dingin, tapi beliau berkata :” Menyempurnakan wudhu di saat sulit.” Artinya orang tidak terhalang dinginnya air untuk menyempurnakan wudhu.

Kemudian kita katakan :” Apakah Allah menginginkah kemudahan bagi hamba-Nya ataukah menghendaki kesulitan ?”

Jawabnya ada dalam firman Allah :” Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. Al Baqarah : 185).
Dan sabda Nabi  :” Sesungguhnya agama itu mudah.“[2]

Maka saya katakan kepada para penuntut ilmu bahwa masalah pemahaman adalah masalah yang penting, maka wajib kita memahami apa yang kehendaki oleh Allah dari hamba-hamba-Nya ? Apakah Dia hendak menyulitkan mereka dalam melaksanakan ibadah ataukah menghendaki kemudahan ?

Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi kita dan Inilah beberapa adab yang diharapkan memiliki dampak bagi pada penuntut ilmu terhadap ilmunya sehingga mereka menjadi tauladan yang baik dan menjadi penyeru kepada kebaikan serta menjadi imam dalam agama Allah Azza Wajalla. Dengan sabar dan yakinlah keimamahan dalam agama bisa diraih sebagaimana firman Allah :” Dan Kami telah menjadikan imam-imam di kalangan mereka yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena kesabaran mereka dan mereka yakin kepada ayat-ayat kami.” (QS. As Sajdah : 24).

http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-5/

Footnote :
—————————————-
[1]Riwayat Muslim, kitab thoharah, bab keutamaan wudhu di saat sulit.
[2]Riwayat Bukhari, kitab iman, bab agama itu mudah.

Friday, December 3, 2010

~ Langkah-Langkah Setan untuk Menjauhkan Penuntut Ilmu dari Ulama ~


Langkah-langkah setan untuk menjauhkan penuntut ilmu dari ulama

1. Berguru hanya kepada buku (otodidak) sehingga kehilangan suri tauladan.

Ulama salaf terdahulu melarang orang yang hanya berguru kepada buku untuk mengajar dan berfatwa, sebagaimana mereka melarang belajar al qur’an dari orang yang tidak pernah talaqqi.

Abu Zur’ah berkata :” shohafi (yang hanya berguru kepada buku) tidak boleh berfatwa…”. (Al Faqih wal mutafaqqih 2/97).

Imam Asy Syafi’I berkata :” Barang siapa yang bertafaqquh dari perut buku ia akan menyia siakan hukum “. (tadzkirotussaami’ wal mutakallim hal 87). Seorang penya’ir berkata :

Siapa yang mengambil ilmu dari mulut guru
Ia akan terhindar dari penyimpangan dan perubahan.
Dan siapa yang mengambil ilmu hanya dari buku
Maka ilmunya disisi para ulama seperti tidak ada.

Dalam kitab wafayatul a’yan (3/310) Al Hafidz ibnu ‘Asakir rahimahullah bersya’ir :

Jadilah engkau orang yang mempunyai semangat
Dan jangan bosan mengambil ilmu dari para ulama
Jangan engkau mengambilnya sebatas dari buku
Niscaya engkau akan terkena tashif dengan penyakit yang berat

2. tergesa-gesa mengajar sebelum menghasilkan ilmu yang cukup dengan alasan da’wah.

Doktor Nashir al ‘aql berkata :” diantara kesalahan yang harus di peringatkan dalam masalah fiqih adalah memisahkan dakwah dari ilmu, dan ini lebih banyak ditemukan pada pemuda, mereka berkata ,” berdakwah berbeda dengan menuntut ilmu “. Oleh karena itu, kita dapati para pemuda sangat memperhatikan amaliyah dakwah, bahkan memberikan semua kesungguhannya, akan tetapi ia sangat sedikit dalam menghasilkan ilmu syar’iat, padahal kebalikannya itulah yang benar, hendaklah ia menuntut ilmu dan bertafaqquh dalam agama, menghasilkan ilmu-ilmu syari’at kemudian baru ia berdakwah…”. (Al Fiqhu fiddiin hal 58).

Imam Asy Syafi’I berkata :” Apabila orang yang dangkal ilmunya mengajar, ia akan terluput dari ilmu yang banyak “. (Fathul Bari 1/166).

Imam Asy Syathibi berkata :” Orang yang bertanya tidak boleh bertanya kepada orang yang jawabannya tidak bisa dianggap dalam syari’at, karena sama saja ia menyandarkan kepada orang yang bukan ahlinya, dan ijma’ ulama tidak membenarkan sikap seperti itu, bahkan secara kenyataan tidak mungkin, karena orang yang bertanya kepada orang yang bukan ahlinya sama saja ia berkata kepadanya :” kabarkan kepadaku tentang apa yang engkau tidak ketahui ! dan saya akan menyandarkan urusanku kepadamu dalam perkara yang sama-sama kita tidak mengetahuinya “. Tentu orang seperti ini tidak termasuk orang-orang yang berakal, karena jika ia berkata kepadanya :” Tunjukkan aku ke jalan menuju tempat si anu “. Sementara ia tahu bahwa orang yang ia tanya sama-sama tidak mengetahuinya, tentu ia dianggap orang gila. Maka urusan syari’at lebih tidak boleh lagi, karena ia berakibat kepada kebinasaan akhirat…”.(Al Muwafaqaat 4/192-193).

Syaikh Salim berkata :” Engkau lihat orang yang bodoh itu merasa kenyang dengan ilmu yang tidak diberikan padanya, lalu ia memposisikan dirinya sebagai tempat rujukan fatwa sehingga ia dikuasai oleh rasa ‘ujub, ia pun melecehkan para ulama besar, dan menganggap bodoh fatwa-fatwa mereka, maka ia menghalang-halangi manusia dari jalan Allah “. (irsyadul fuhul hal 359-360).

3. Fanatik golongan dan memberi loyalitas tidak di atas al qur’an dan assunnah.

Sebagian orang mendidik pengikutnya untuk memberi loyalitas hanya kepada jama’ahnya tanpa melihat kepada landasan cinta dan benci karena Allah, sehingga melecehkan ulama yang tidak setuju dengan manhaj mereka, bahkan mencibir dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan, karena pondasi loyalitas dan permusuhan mereka hanya kepada jama’ahnya saja, mengenai mereka syaikhul islam ibnu Taimiyah berkata :

“ Tidak boleh bagi seorangpun menisbatkan diri kepada seorang syaikh, lalu ia memberikan loyalitas dan permusuhan diatasnya, justru hendaklah ia memberi loyalitas kepada setiap ahli iman yang bertaqwa dari semua ulama. Tidak boleh ia memberi loyalitas yang lebih kepada salah seorang dari mereka, kecuali jika ia mempunyai kelebihan iman dan ketaqwaan. Hendaklah ia mendahulukan orang yang Allah dan Rosul-Nya dahulukan, dan mengutamakan orang yang Allah dan Rosul-Nya utamakan “. (Majmu’ fatawa 11/512).

Beliau juga berkata :” Barang siapa yang menjadikan seseorang sebagai pemimpin siapapun ia, lalu ia memberikan loyalitas dan permusuhan di atasnya dalam perkataan dan perbuatan orang tersebut, maka ia termasuk “orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.”. (Ar Rum : 32), dan apabila seseorang bertafaqquh dengan sebuah madzhab seperti pengikut para imam, maka ia tidak boleh menjadikan guru dan teman-temannya sebagai parameter yang ia memberikan loyalitas kepada orang yang sepakat dengannya dan memusuhi orang yang tidak sepakat dengannya”. (Majmu’ fatawa 20/8-9).

4. Pengaruh pemikiran barat yang kacau.

Kebebasan berfikir dan berekspresi menjadi alasan banyak para pemuda untuk berani berbicara dalam masalah agama dengan dugaan dan rekaan semata, mereka terpengaruh oleh pemikiran barat yang kacau sehingga mereka sangat berani berbicara dalam agama padahal mereka bukan ahlinya, mereka itulah yang disebut oleh Nabi sebagai ruwaibidlah dalam sabdanya :

سَيَأْتِيْ عَلىَ النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ, قِيْلَ : وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ ؟ قَالَ : التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ العَامَّةِ.

“ Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang dusta dianggap jujur, dan orang jujur dianggap dusta, orang yang berkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, dan akan berbicara Ruwaibidlah. Dikatakan : Apakah Ruwaibidlah itu ? beliau menjawab :” Orang bodoh berbicara dalam perkara umum “. (HR Ibnu Majah).

Ironisnya, banyak orang berlomba-lomba terjun ke medan dakwah dari kalangan artis dan bintang film, mereka berbicara tentang agama sesuai dengan hawa nafsu dengan keilmuan mereka yang amat dangkal, kemudian diadakan lomba-lomba ceramah terutama bagi anak-anak, sehingga mereka dilatih untuk pandai bicara dengan tanpa ilmu, padahal para ulama terdahulu mendidik anak-anak agar menghasilkan dahulu ilmu yang banyak, menghafal Al Qur’an dan hadits dan duduk di majlis-majlis ilmu.

5. tidak memahami hakikat ulama.

Sebagian orang memandang bahwa yang namanya ulama adalah yang memakai sorban dan gamis, pandai bersilat lidah disertai bahasa arab yang fasih, atau kiyai yang mempunyai pengikut yang banyak yang pintar baca kitab kuning, atau para penceramah yang bisa masuk televisi dan radio.

Ulama yang hakiki adalah ulama yang dalam pemahaman mereka terhadap al qur’an dan sunnah disertai amaliyah dalam kehidupan sehari-harinya.

Imam Asy Syafi’I berkata :” Tidak halal bagi seorangpun berfatwa dalam agama Allah kecuali orang yang berilmu tentang kitabullah, nasikh mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, ta’wil dan tanzilnya, makki dan madaninya dan apa yang diinginkan darinya. Kemudian ia mempunyai ilmu yang dalam mengenai hadits Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana ia mengenal Al Qur’an. Mempunyai ilmu yang dalam mengenai bahasa arab, sya’ir-sya’ir arab dan apa yang dibutuhkan untuk memahami al qur’an, dan ia mempunyai sikap inshaf (adil) dan sedikit berbicara. Mempunyai keahlian dalam meyikapi perselisihan para ulama. Barang siapa yang memiliki sifat-sifat ini, silahkan ia berbicara tentang ilmu dan berfatwa dalam masalah halal dan haram, dan barang siapa tidak memilikinya maka ia hanya boleh berbicara tentang ilmu namun tidak boleh berfatwa “. (Shahih faqih wal mutafaqqih hal 390).

Ulama bukanlah orang yang hanya mengikatkan diri pada satu madzhab tidak mau keluar darinya, karena sikap ini disebut oleh para ulama sebagai taqlid, dan taqlid itu bukan ilmu, karena yang namanya ilmu yang berasal dari Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.

Al Hafidz ibnu AbdilBarr rahimahullah berkata :” Definisi ilmu di sisi para ulama adalah, yang engkau yakini dan menjadi jelas bagimu, maka setiap orang yang yakin dan jelas berarti ia telah mengetahuinya. Atas dasar ini orang yang belum sampai kepada keyakinan dimana ia berpendapat hanya sebatas ikut-ikutan saja (taqlid), maka ia tidak berilmu tentangnya “.(Jami’ Bayanil ‘ilmu 2/36-37).

Imam Assuyuthi berkata :” Sesungguhnya muqallid (orang yang taqlid) tidak dinamai sebagai ulama “.

Sunan ibnu Majah no 4042, dan dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 1887.

Lihat ilmu ushul bida’ hal. 176.
Idem.
http://abuyahyabadrusalam.com

Thursday, November 25, 2010

Imam-Imam Ahli Hadits


Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan orang-orang yang bathil dan dari takwilnya orang-orang yang bodoh .

Oleh karena itu mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap firqaah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap jaman dan setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela….”

Beliau pun akhirnya menyebut mereka dengan sebutan golongan yang selamat (Firqatun Naajiyah) yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Thaifah Manshurah) kemudian berkata : “Mereka setelah sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan pimpinan mereka, Al Khulafaur Rasyidin, adalah para tabi’in. Diantara tokoh-tokoh mereka adalah :

1. Sa’id bin Musayyab (wafat setelah 90 H)
2. Urwah bin Zubair(wafat 94 H)
3. Ali bin Husain Zainal Abidin (wafat93 H)
4. Muhammad Ibnul Hanafiyyah (wafat80 H0
5. Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H)
6. Al Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin abu bakar Ash Shiddiq (wafat 106 H)
7. Al Hasan Al Bashri (wafat 110 h)
8. Muhammad bin Sirrin (wafat 110 H)
9. Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H0
10. Muhammad bin Syihab Az Zuhri (wafat 125 H) dan lain lain

Kemudian diantara tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in) tokoh-tokoh mereka adalah :

1. Imam Malik (wafat 179 H)
2. Al Auza’i (wafat 198 H)
3. Sufyan Ats Tsauri (wafat 161 H)
4. Sufyan bin Uyainah (wafat198 H)
5. Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H)
6. Al Laits bin Sa’d (wafat 175 H)
7. Abu Hanifah An Nu’man (wafat 150 H) dan lain-lain.

Setelah tabiut tabi’in adalah pengikut mereka, diantaranya :

1. Abdullah ibnu mubarak (wafat 181 H)
2. Waqi’ bin Jarrah (wafat 197 H)
3. Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (wafat 204 H)
4. Abdurrahman bin Mahdi (198 H)
5. Yahya bin Said Al Qattan (wafat 198 H)
6. Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain.

Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka diantaranya :

1. Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H)
2. Yahya bin Main (wafat 233 H)
3. Ali Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain.

Kemudian murid-murid mereka seperti :

1. Al Bukhari (wafat 256 H)
2. Muslim (wafat 261 H)
3. Abu Hatim (wafat 277 H)
4. Abu Zur’ah (wafat 264 H)
5. Abu Dawud (wafat 275 H)
6. At Tirmidzi (wafat 279 H)
7. An Nasa’I (wafat 303 H), dan lain-lain.

Setelah itu orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah :

1. Ibnu Jarir At Thabari (wafat 310 H)
2. Ibnul Khuzaimah (wafat 311 H)
3. Ad Daruquthni (wafat 385 H)
4. Ibnul Abdil Barr (wafat 463 H)
5. Abdul Ghani Al Maqdisi sdan Ibnul Qudamah (wafat 620 H)
6. Ibnu Shalih (wafat 743 H)
7. Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)
8. Al Muzzi (wafat 743 H)
9. Adz Dzahabi (wafat 748 H)
10. Ibnu Katsir (wafat 774 H)

Dan ulama yang seangkatan di zaman mereka.

Kemudian yang setelahnya yang mengikuti jejak mereka dalam berpegang dengan kitab dan sunnah sampai hari ini. Mereka itulah yang kita sebut dengan Ashabul Hadits.

PEMBELAAN MEREKA TERHADAP AQIDAH

Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan dan takwil-takwil ahli bid’ah

Maka, ketika muncul ahli bid’ah yang pertama, yaitu Khawarij, Ali dan para Sahabat radhiallahu anhum bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan mengambil dari Rasululah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat-riwayat yang menyuruh unntuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Lihat Mawaqifush Shahabah fi Fitnah Bab 3 Juz 2 hal 191 oleh Dr. Muhammad Ahmazun)

Ketika Syiah muncul, Ali Radhiallahu ‘Anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim di kalangan mereka yang mengangkat Ali Radhiallahu ‘Anhu sampai kepada tingkatan Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar deengan api. (Lihat Fatawa Syaikhul Islam)

Demikian pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu berita tentang suatu kaum yang menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut : “Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara’) dari meerka dan mereka berlepas diri dariku ! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dedngan taqdir baik dan buruknya.” (H.R. Muslim 1/36)

Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud Al Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga atas sunnah Nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal.

Ditegaskan oleh Imam Ats Tsauri Rahimahullah : “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zura’i juga mengatakan : “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ashabul Hadits).”

Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah yang dan sesat, baik itu fuqaha’ (ahli fikih) mereka, mufassir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari ini dirasakan manfaatnya oleh kaum Muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.

Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini : “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka seakan-akan aku melihat Nabi hidup kembali.” (Syaraf Ashabul Hadits hal. 26)

Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah Engkau jadikan di hati kami kebencian atau kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesunggguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Amien Ya Rabbal ‘Alamin.

Diringkas dari http://www.salafy.or.id
Dari artikel yang berjudul : Biografi_Ulama Mengenal Para Imam Ahlussunnah (Ahli Hadits)
Tanggal Posting : Sabtu, 28 Juni 2003 – 10:52:41
Yang ditulis oleh : Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Wednesday, November 24, 2010

Nasihat Ulama Bagi Penuntut Ilmu


Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah sampai kepadaku suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan aku pasti beramal dengannya.”

Amr bin Qais al-Mala’i rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beramallah dengannya meskipun hanya sekali agar kamu termasuk penganutnya.” Syaikh Abdurrazzaq berkata, “Maksud ucapan beliau; beramallah dengannya meskipun hanya sekali, adalah dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan sedangkan dalam perkara wajib maka tidak cukup mengamalkannya sekali kemudian bisa disebut sebagai penganutnya.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 27)

Jangan tertipu dengan amalmu!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia pun menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, meskipun demikian engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)

Jadilah contoh yang baik!

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37). Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kamipun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).

Bukankah tolabul ilmi amalan yang utama?

Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata, “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).

Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami….

Oleh: Ari Wahyudi
http://abumushlih.com/nasehat-ulama-bagi-penuntut-ilmu.html/

Monday, November 15, 2010

Sejarah Hidup Al-Imam al-Bukhari


Mutiara Berkilau dari Bukhara

Bukhara merupakan sebuah daerah di belahan Asia Tengah. Daerah ini memang pernah menjadi jajahan negara Rusia dan dimasukkan dalam sebuah persekutuan dengan negara - negara di sekitarnya yang lebih dikenal dengan sebutan Uni Sovyet dengan faham komunisnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman dimana faham komunis tidak bisa lagi diterima oleh masyarakat maka tumbanglah kekuatan raksasa Uni Sovyet dan menjadilah negara - negara persekutuan tersebut menjadi negara - negara yang merdeka, yang memiliki kedaulatan penuh dan terlepas dari kontrol pusat Rezim Kremlin, Rusia.

Dan siapa yang menyangka, bahwa dahulu pernah terlahir disana seorang manusia yang bakal menghebohkan dunia dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang luar biasa.

Nama Lengkap dan Tanggal Lahir :

Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi , yang lebih dikenal dengan Imam Al Bukhori penulis kitab Shahih Al Bukhari.

Beliau dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal th 194 Hijriah setelah shalat Jum’at di daerah Bukhoro. Oleh sebab itulah beliau dinisbahkan dengan Al Bukhari karena asal tanah kelahiran beliau adalah dari daerah Bukhoro.

Kakek beliau yang bernama Bardizbah adalah berasal dari suku Persia yang menganut agama Majusi ( Penyembah Api ).

Kemudian anak Bardizbah yang bernama Al Mughiroh masuk Islam, yang mengislamkannya adalah seorang yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Oleh karena itulah beliau juga dinisbahkan dengan Al Ju’fi.

Bapak beliau yaitu Ismail meninggal, dalam keadaan beliau masih kecil. Dan beliau juga mengalami kebutaan semasa kecilnya. Namun ibunya terus menerus berdoa kepada Allah Ta’ala mengharapkan kesembuhan terhadap musibah kebutaan yang menimpa putra tercintanya.

Dan Allah Ta’ala pun mengabulkan permintaan dari sang hamba yang shalehah dengan memberikan kesembuhan kepada sang putra tercinta. Maka sejak saat itu sang putra tercinta dapat menikmati indahnya karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana manusia yang lain.

Perjalanan Menuntut Ilmu :

Beliau mulai menghafal hadits pada usia sekitar 10 tahun dan ketika itu beliau belajar di sebuah Madrasah.

Ketika usia beliau menginjak 16 tahun, beliau telah menghafal kitab - kitab karya 2 orang tokoh Tabi’ut Tabi’in yaitu Abdullah ibnul Mubarak dan Waki’ ibnul Jarrah. Pada usia tersebut pula tepatnya pada tahun 120 H, beliau bersama ibu dan saudara laki - lakinya yang bernama Ahmad pergi menunaikan Haji ke Baitullah Al Haram di Mekkah. Dan setelah selesai menunaikan haji, beliau tetap tinggal di Mekkah dalam rangka menuntut ilmu. Sementara saudara laki - lakinya yang bernama Ahmad, kembali ke tempat asalnya di Bukhara. Ketika usia beliau mencapai 18 tahun, beliau menulis kitab ” Qodhoya Shohabah wa Tabi’in ” dan kitab ” At Tarikh “.

Beliau telah menuntut ilmu kepada 1080 masyaikh ( guru ) Ahlus Sunnah. Beliau telah melakukan rihlah ( perjalanan menuntut ilmu ) ke berbagai negeri seperti Balkh, Maru, Naisabur, Ray ( sekarang Teheran - Iran ), Baghdad, Basrah, Kufah, Makkah, Mesir, Syam, Hijaz dll.

Guru - guru ( Masyaikh ) beliau :

Telah disebutkan diatas bahwa beliau memiliki 1080 masyaikh ( guru ). Diantaranya adalah :

1. Di Negeri Balkh belajar kepada :

- Maky bin Ibrahim

2. Di Negeri Maru belajar kepada :

A. Abdan bin Musa

B. Ali bin Hasan bin Syaqiq

C. Shadaqoh bin Al Fadhal

3. Di Negeri Naisabur belajar kepada :

- Yahya bin Yahya

4. Di Negeri Ray ( Teheran - Iran ) belajar kepada :

- Ibrahim bin Musa

5. Di Negeri Baghdad belajar kepada :

A. Muhammad bin Isa Ath Thaba’

B. Suraij bin An Nu’man

C. Muhammad bin Sabiq

D. ‘Affan

6. Di Negeri Basrah belajar kepada :

A. Abu Ashim An Nabil

B. Al Anshory

C. Abdurrahman bin Hammad

D. Muhammad bin ‘Ar’ur

E. Hajjaj bin Minhal

F. Badl bin Al Mihbar

G. Abdullah bin Raja’

7. Di Negeri Kufah belajar kepada :

A. Ubaidullah bin Musa

B. Abu Nu’aim

C. Khalid bin Al Makhlad

D. Thalq bin Ghanam

E. Kholid bin Yazid Al Muqri

8. Di Negeri Mekkah belajar kepada :

A. Abu Abdurrahman Al Muqri

B. Khalad bin Yahya

C. Hisan bin Hisan Al Bashri

D. Abul Walid Ahmad bin Muhammad Al Azraqi

E. Al Humaidy

9. Di Negeri Madinah belajar kepada :

A. Abdul ‘Aziz Al ‘Uwaisy

B. Ayyub bin Sulaiman bin Bilal

C. Ismail bin Abi Uwais

10. Di Negeri Mesir belajar kepada :

A. Sa’id bin Abi Maryam

B. Ahmad bin Iskab

C. Abdullah bin Yusuf

D. Asbagh bin Al Faraj

11. Di Negeri Syam belajar kepada :

A. Abul Yaman Al Hakam bin Nafi’

B. Adam bin Abi Iyas

C. Ali bin ‘Ayyas

D. Bisyr bin Syu’aib

Dan juga para tokoh - tokoh ulama besar yang lain semisal Ishaq bin Rahuyah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al Madini, Nu’aim bin Hammad, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli dll.

Murid - Murid Beliau :

1. Imam Muslim bin Al Hajjaj

2. Imam At Tirmidzi

3. Imam Ibnu Khuzaimah

4. Abu Hatim dll.

Akhlak dan Ibadah beliau :

Beliau pernah mengatakan :Aku berharap untuk bisa bertemu Allah. Dan aku berharap ketika nanti berada di Hari Perhitungan amalan, aku dalam keadaan tidak berbuat Ghibah ( suatu perbuatan yang menyebutkan saudaranya sesama muslim dengan apa - apa yang tidak disukainya jikalau ia mendengarnya ) kepada seorang pun.

Hal ini menunjukkan akan takutnya beliau terhadap perbuatan Ghibah.

Al kisah suatu hari beliau sedang melaksanakan shalat. Tiba - tiba datang seekor kumbang besar datang menyengat beliau yang sedang shalat sebanyak 17 kali sengatan. Maka tatkala selesai dari menunaikan shalatnya, dia bertanya kepada orang - orang yang ada di sekitarnya : ” tolong lihatlah ! apa yang telah membuatku sakit ini “. Maka merekapun mendapati seekor kumbang besar telah menyengat beliau sebanyak 17 sengatan dalam keadaan beliau tidak membatalkan shalatnya.

Beliau berkata : Tidaklah aku letakkan sebuah hadits di kitab shahihku ini kecuali aku mandi terlebih dahulu dan shalat 2 rakaat.

Wafat Beliau :

Beliau mengalami fitnah yang sangat dahsyat yang dihembuskan oleh orang - orang yang merasa iri terhadap keutamaan dari Allah yang diberikan kepada beliau. Dan tidaklah beliau menginjakkan kaki ke suatu negeri kecuali penduduk negeri tersebut mengusirnya sebagai akibat dari hembusan angin fitnah yang disebarkan oleh orang - orang yang iri. Karena beliau mengalami pengusiran beberapa kali, maka beliau memilih untuk kembali ke daerah Khartanka yaitu sebuah wilayah bagian dari negeri Samarkand (sekarang menjadi ibukota negara Uzbekistan di Asia Tengah ). Beliau pergi ke daerah tersebut karena banyak dari karib kerabatnya yang tinggal di daerah tersebut. Beliau merasakan bahwa hidup ini terasa berat sekali, dan bumi yang luas terasa sempit bagi beliau. Hingga pada suatu malam tatkala beliau selesai menunaikan shalat malam (Tahajud ), beliau berdoa kepada Allah agar diberikan jalan yang terbaik baginya. Kemudian beberapa hari setelah itu beliau mengalami sakit yang cukup keras. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui betapa berat penderitaan yang dialami oleh salah seorang hamba-Nya yang sholeh ini, maka sebagai bentuk Maha Belas Kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya tersebut, beliau dipanggil oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang pada hari Sabtu malam ‘Idul Fitri, pada tahun 256 Hijriah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=331#more-331