MusicPlaylistRingtones

Thursday, October 20, 2011

Sejarah Ushul Fiqh versi Ahlus Sunnah wal Jama'ah


Ilmu ushul fikih menurut ahlu sunnah wal jama’ah sebagaimana bidang keilmuan lainnya mengalami dan melalui beberapa tahapan penting.

1. Marhalah Tadwin (kodefikasi) atau penulisan dasar-dasar ilmu ushul fikih yang dipelopori oleh imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i
2. Marhalah Ittijaah al-Haditsi (ushul fikih dengan metodologi hadits) yang dipelopori imam Al-Khothib al-Baghdadi dan Ibnu Abdilbarr.
3. Marhalah Ishlah dan pelurusan yang tidak benar dalam ilmu ushul fikih yang dipelopori imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim.

Marhalah-marhalah perkembangan ilmu ushul fikih.
1. Marhalah pertama dimulai pada masa imam asy-Syafi’i dan berakhir kurang lebih sekitar akhir abad ke empat hijriyah. Keistimewaan marhalah ini adalah penulisan kaidah ilmu ushul fikih oleh imam asy-Syafi’i dan keadaan serta kondisi yang berhubungan langsung dengan penulisan ini.

Imam asy-Syafi’i hidup dimasa berkembangnya dua madrasah yang setiap dari madrasah ini tegak diatas manhaj yang tidak sama dengan yang lainnya. Dua madrasah ini adalah madrasah hadits yang berada di Madinah dengan tokoh besarnya adalah imam Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (w 179 H) dan kedua adalah madrasah ar-Ra’yi yang berada di Irak dengan tokoh besarnya adalah para murid Abu Hanifah.

Madrasah hadits dikenal sangat kental dan dekat dengan riwayat, karena kota Madinah adalah tempat berkumpulnya para sahabat dan tempat turunnya wahyu. Sebaliknya madrasah ar-Ra’yi sangat kental nuansa akalnya karena tidak memiliki sebab-sebab riwayat seperti di Madinah, ditambah lagi banyaknya fitnah dan pemalsuan hadits di sana. Yang perlu diperhatikan bahwa kedua madrasah ini sepakat mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan al-Qur`an dan sunnah dan tidak mendahulukan akal dari kedua sumber tersebut.

Dalam hal ini imam asy-Syafi’i mampu mengkompromikan kedua madrasah ini dan memperoleh keistimewaan yang dimiliki masing-masing madrasah tersebut. Beliau menyatukan fikih imam Malik di Madinah – yang beliau sendiri adalah murid imam Malik – dan fikih Abu Hanifah di Irak, karena beliau berguru langsung kepada imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w 189 H) ditambah dengan fikih ahli Syam dan Mesir karena beliau pun mengambil ilmu dari para ulama pakar fikih di sana. Ditambah lagi dengan Madrasah Makkah yang memiliki perhatian lebih besar dalam tafsir al-Qur`an dan sebab turunnya. Dimana beliau belajar langsung di Makkah kepada para ulama fikih dan ulama hadits disana hingga mendapatkan kedudukan sebagai mufti. Semua ini didukung dengan kepakaran beliau dalam bahasa Arab yang beliau dapatkan dari pedalaman Arab pada kabilah Hudzail yang termasuk suku terfasih dalam berbahasa Arab. Dengan anugerah besar yang dimiliki inilah –dengan taufiq dari Allah- beliau mampu meletakkan ushul dan kaidah dalam ber-istimbath (pengambilan hukum dari dalil) serta ketentuan berijtihad. Juga beliau mampu menjadikan fikih diambil dari sumber hukum yang jelas dan pasti. Dengan sebab itu beliau membuka pandangan ulama fikih dan memberikan contoh kepada para mujtahid setelah beliau untuk bertindak seperti yang telah beliau lakukan dan menyempurnakan yang ditemui mereka nantinya. Demikianlah imam asy-Syafi’i menulis kitab “ar-Risaalah” yang menjadi kitab pertama dalam ushul fikih.

Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (w 241 H) berkata: Dahulu fikih itu terkunci pada ahlinya saja hingga Allah bukakan dengan asy-Syafi’i. (lihat Tahdzieb al-Asma’ wa al-Lughaat 1/61)

Beliau juga menyatakan: Dahulu peradilan kami berada di tangan para sahabat Abu Hanifah tidak dapat diganggu gugat hingga kami melihat imam asy-Syafi’i. Beliau orang terpakar dalam al-Qur`an dan sunnah Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan ahli hadits tidak akan pernah kenyang dari kitab-kitab asy-Syafi’i. (lihat Muqaddimah kitab ar-Risalah hal. 6 ). Juga berkata: Kalau bukan imam asy-Syafi’i maka kami tidak mengenal fikih hadits.

Imam asy-Syafi’i telah meletakkan pondasi pertama penulisan dan kodefikasi ilmu ushul dan menjelaskan ketentuan ilmu ini serta memperjelas gambarannya.
Imam Syafi’i dalam upaya beliau menyusun ilmu ushul fikih mengikuti jejak langkah orang sebelum beliau dan bersandar kepada al-Qur`an dan sunnah serta siroh para sahabat dan atsar para imam besar. Juga mengambil faedah dari ilmu bahasa Arab dan sejarah manusia, serta penggunaan akal dan qiyas.

Kemudian setelah beliau, bermunculan upaya para ulama ahli sunnah, namun baru berkisar pada permasalahan komitmen dengan Al-Qur`an dan sunnah. Diantaranya adalah:
a. Risalah imam Ahmad tentang ketaatan kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
b. Kitab Akhbaar Ahaad dan kitab al-I’tishom, keduanya bagian dari shohih al-Bukhori.
c. Kitab Ta’wiel Musykil al-Qur`an dan kitab Ta’wiel Mukhtalaf al-Hadits keduanya karya Ibnu Qutaibah.
d. Dan kitab lainnya yang dikarang para ulama salaf lainnya.
Pada marhalah ini kodefikasi ilmu usul fikih telah sempurna melalui karya imam asy-Syafi’i kemudian datang para ulama setelah beliau menyempurnakan upaya yang telah beliau mulai khususnya yang berhubungan dengan komitmen kepada Al-Qur`an dan sunnah. Semua upaya ini merupakan benang merah manhaj ahli sunnah dan kaedah umum dalam ushul fikih versi ahlu sunnah. Marhalah ini memiliki pengaruh besar dan penting bagi para ulama setelah mereka.

2. Marhalah kedua berawal dari awal abad kelima hijriyah hingga sekitar akhir abad ketujuh Hijriyah. Dalam masa ini muncullah dua imam besar, yaitu:
a. Imam ahli sunnah ditimur al-Khothib al-Baghdadi penulis kitab Tarikh Baghdad
b. Imam ahli sunnah di Barat Abu Umar bin Abdilbarr penulis kitab at-Tamhied.
Al-Khothib al-Baghdadi menulis dalam bidang ushul fikih kitab al-Faqieh wa al-Mutafaqqih yang beliau buat sebagai nasehat kepada ahli hadits. Kitab ini termasuk pengembangan dari kitab ar-Risaalah karya imam asy-Syafi’i dengan beberapa penambahan seperti permasalahan jidaal dan pembahasan yang berhubungan dengan adab fikih.
Sedangkan Ibnu Abdilbarr menulis kitab Jaami’ Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentang beberapa pertanyaan yaitu:
- Pengertian ilmu.
- Pengokohan hujjah dengan ilmu.
- Penjelasan salahnya orang yang berbicara dalam agama Allah tanpa pemahaman yang benar.
- Larangan memvonis tanpa hujjah.
- Apa yang diperbolehkan dan yang dibenci dalam adu hujjah dan debat.
- Pemikiran akal mana yang dicela dan mana yang dipuji?

Muncul dalam marhalah ini juga dua kitab yaitu:
- Kitab Taqwiem al-Adilah karya Abu Zaid ad-Dabuusy. Ibnu Kholdun mengomentari kitab ini dengan menyatakan: Adapun metodologi versi madzhab Abu Hanifah, maka para ulamanya telah menulis banyak sekali karya tulis dan yang terbaik untuk mutaqaddimin adalah karya Abu Zaid ad-Dabuusi. (Muqadimah Ibnu Kholdun hal. 361)
- Kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali. Kitab ini diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhah an-Naazhir Wa Jannat al-Manaazhir.

Marhalah ini memiliki karakteristik banyaknya materi ushul yang dibangun dari hadits nabi dan atsar shohih dari sahabat dan tabi’in dan masuknya metodologi hadits yang dapat dilihat dari penyampaian riwayat dengan sanadnya. Metodologi ini tidak hanya sebatas pada riwayat dan penyampaian hadits namun juga padanya istimbath, fikih, penetapan qiyas dan ijtihad serta lainnya.

Marhalah ini merupakan pengembangan dari marhalah sebelumnya yang diwakili dengan kitab ar-Risaalah. Ibnu Abdilbarr dan al-Khothib al-Baghdadi serta Abu Manshur as-Sam’aani sendiri mengambil faedah dari peninggakan asy-Syafi’i. Sedangkan kitab Raudhah an-Naazhir memberikan gambaran baru yang nampak sekali pengaruh manhaj mutakallim (ahli kalam) dengan tetap menjaga konsep dasar manhaj salaf padanya secara umum.

3. Marhalah ketiga yang dimulai pada awal abad kedelapan sampai sekitar akhir abad kesepuluh hijriyah. Muncul dalam marhalah ini dua imam yaitu:
a. Ibnu Taimiyah
b. Ibnu al-Qayyim

Marhalah ini memiliki karekteristik yang dibangun diatas dua pokok :
- Penjelasan dan penampakan kaedah-kaedah ushul sesuai manhaj salaf
- Pengarahan kritik dan pelurusan kesalahan yang ada pada mutakallimin (ahli kalam) dalam kaedah-kaedah ushul.

Hal ini selesai melalui imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Keduanya membangun upaya besar tersebut diatas kekayaan ilmiyah yang ditinggalkan imam asy-Syafi’i dan ulama yang sejalan dengan beliau.

Pada marhalah ini muncul juga karya-karya ilmiyah para ulama madzhab Hambali seperti Ibnu al-Lahaam, al-Mirdaawi, dan al-Fatuhi. Namun nampaknya semua adalah pengembangan dari kitab Ibnu Qudamah yang masih nampak pengaruh manhaj mutakallimnya. Walaupun mereka tentunya menerima dan mengambil faedah dari karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim sehingga nampak sekali dengan jelas terpengaruhnya kitab-kitab ini dengan ketetapan kedua imam tersebut.

Inilah marhalah-marhalah yang dilewati ahlu sunnah dalam perjalanan pembentukan ilmu ushul fikih. Kemudian muncul juga beberpa karya tulis dari sebagian ulama ahli sunnah namun semuanya kembali kepada keterangan yang sudah dibuat dalam marhalah-marhalah diatas. Diantara karya ilmiyah tersebut adalah:
1. ?????? ??? ???? ?????? ???? ?? ???? karya syeikh Abdulqadir bin Badraan ad-Dumi ad-Dimasyqi (wafat tahun 1346 H)
2. ”???? ?????? ??????” ??? ???? “???? ?????? ???? ???????”? karya beliau juga.
3. ”????? ????? ?? ???? ?????” karya Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat tahun 1376 H)
4. ”????? ?????? ??? ????? ??????” karya Haafizh bin Ahmad al-Hakami wafat tahun 1377 H
5. ”????? ???? ????? ??? ???? ??????” karya Muhammad al-Amien asy-Syinqithi (wafat tahun 1393 H). dan lain-lainnya.
Semoga bermanfaat.

Penulis: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Diringkas dari: Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah
Artikel:ustadzkholid.com

Thursday, October 13, 2011

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 1


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebuah renungan dari sepenggal kisah nyata
Beberapa saat lalu, penulis diceritai adik ipar kisah seorang mantan preman yang mendapatkan hidayah mengenal manhaj salaf. Katanya, dulu ketika masih preman, ia amat dibenci masyarakat kampungnya; karena ke-rese-annya; gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun, tidak ada seorangpun yang berani menegurnya; karena takut mendapatkan hadiah bogem mentah.

Dengan berjalannya waktu, Allah ta’ala berkenan mengaruniakan hidayah kepada orang tersebut. Dia mengenal ajaran Ahlus Sunnah dan intens dengan manhaj salaf. Namun demikian, setelah ia berubah menjadi orang yang salih dan alim, ia tidak kemudian disenangi masyarakatnya, malahan mereka tetap membencinya. Padahal ia tidak lagi mempraktikkan tindak-tindak kepremanannya yang dulu. Bahkan, kalau dulu masyarakatnya tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahinya, bahkan menyidangnya pula.
Apa pasalnya? Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di masyarakat.

Dulu dibenci karena kepremanannya, sekarang dibenci karena ‘kesalihan’nya…
Haruskah orang yang menganut manhaj salaf dibenci masyarakatnya? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?

Memang betul seorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Sedangkan di zaman Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan kurun ulama salaf saja, ada tantangan bagi pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, di mana kejahatan lebih mendominasi dunia dibanding kebaikan.

Namun yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj salaf, murni diakibatkan kekokohan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau dikarenakan kekurangbisaan mereka dalam membawa diri, kekurangpiawaian dalam menjelaskan prinsip dan kekurangpandaian dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan?

Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominan.

Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allah semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.

Perintah untuk Berakhlak Mulia
Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Quran maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:
Firman Allah ta’ala tatkala memuji Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ”
Artinya: “Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S. Al-Qalam: 4).

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ”
“Berakhlak mulialah dengan para manusia.” (H.R. Tirmidzy (hal. 449 no. 1987) dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan sahih).

Apa itu Akhlak Mulia?
Banyak definisi yang ditawarkan para ulama, di antara yang penulis anggap cukup mewakili:
“بَذْلُ النَّدَى، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاحْتِمَالُ الْأَذَى”
“Akhlak mulia adalah: berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri tatkala disakiti.” [Lihat: Ikhtiyar al-Ûlâ fî Syarh Hadîts al-Mala' al-A'lâ karya Imam Ibn Rajab, sebagaimana dalam Majmû' Rasâ'il al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbaly (IV/44) dan Madârij as-Sâlikîn karya Imam Ibn al-Qayyim (II/318-319)].

Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam:
Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.

Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.
Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.
-bersambung insya Allah-
Artikel www.tunasilmu.com

Tuesday, October 11, 2011

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 2


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Apa maksud dakwah dengan akhlak? Bukankah dakwah itu cukup dengan lisan?
Pernah suatu hari ketika penulis mengisi sebuah pengajian, penulis melontarkan sebuah pertanyaan kepada para hadirin, “Apakah yang dimaksud dengan dakwah?”
“Dakwah adalah seperti yang ustadz lakukan sekarang; ceramah dan khutbah!” sahut salah seorang jamaah.

Dari jawaban yang terlontar tersebut, kita bisa meraba bahwa sebagian kalangan masih belum memahami makna dakwah. Mereka masih menganggap bahwa dakwah adalah penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya, dakwah meliputi hal itu juga yang lainnya; semisal praktik, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang biasa diistilahkan dengan dakwah bil hâl. Bahkan, justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran [Lihat: Munthalaqât ad-Da'wah wa Wasâ'il Nasyriha, karya Hamd Hasan Raqîth (hal. 97-99) dan Ashnâf al-Mad'uwwîn wa Kaifiyyah Da'watihim, karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaily (hal. 41)].

Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun amat sedikit orang-orang yang mewujudkan omongannya dalam praktik nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah di masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas [Lihat: It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma'rifah Wasâ'il at-Tarbiyah al-Mu'atsirah karya Ummu Abdirrahman binti Ahmad al-Jaudar (hal. 14)].

Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya adalah: mempraktikkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.

Akhlak mulia dan dampak positifnya dalam dakwah

Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia adalah: berbuat baik kepada orang lain, mengindari sesuatu yang menyakitinya, serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin semua cakupannya dipaparkan satu persatu dalam makalah singkat ini. Karena itulah, penulis hanya akan membawa beberapa contoh saja, semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca bisa menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.

1. Gemar membantu orang lain.
Banyak nash dalam Alquran maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktikkan karakter mulia ini. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ”
“Allah akan membantu seorang hamba; jika ia membantu saudaranya.” [H.R. Muslim (XVII/24 no. 6793) dari Abu Hurairah].

Karakter gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadijah tatkala beliau menghibur suaminya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadijah berkata,
“كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ”
“Demi Allah tidak mungkin! Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah.” [H.R. Bukhari (hal. 2 no. 3) dan Muslim (II/376 no. 401)].

Maksud perkataan Khadijah di atas adalah: “Sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai; karena Allah telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu, Khadijah menyebutkan berbagai contohnya” [Syarh Shahih Muslim karya Imam an-Nawawy (II/377)], yang di antaranya adalah: gemar membantu orang lain.

Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah kita. Sebab, tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, lantas ada orang yang membantunya, jelas susah bagi dia untuk melupakan kebaikan tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasihat kita. Sebagai salah satu bentuk ‘kompensasi’ dia atas kebaikan kita padanya.
Karena itu, seyogianya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia; kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan piutang; kita berusaha memberikan utangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.

Jika hal ini rajin kita terapkan; lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu. Sehingga dakwah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.
-bersambung insya Allah-
http://tunasilmu.com/

Monday, October 10, 2011

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 3


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

2. Jujur dalam bertutur kata.
Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.
Allah ta'ala berfiman,
" اٌَ أَ هٌَُّا اىَّزِ آ ىٍَُْا احَّقُىا اىيَّ وَقُىىُىا قَىِلاً سَذِ ذٌاً".
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar." (Q.S. Al-Ahzab: 70).

Masih banyak ayat Alquran dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang
berisikan perintah serupa.

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan
masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi,
namun juga dalam perkara agama.

Ibnu Abbas bercerita, bahwa tatkala turun firman Allah,
"وَأَ زِّسِ عَشِيرَتَلَ اىْأَقْشَبِينَ".
Artinya: "Berilah peringatan shallallahu ‘alaihi wa sallamwahai Muhammad)
kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (Q.S. Asy-Syu'ara: 214).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari rumahnya lalu menaiki bukit
Shafa dan berteriak memanggil, "Wahai kaumku kemarilah!" Orang-orang Quraisy
berkata, "Siapakah yang memanggil itu?". "Muhammad", jawab mereka. Mereka pun
berduyun-duyun menuju bukit Shafa.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai bani Fulan, bani Fulan,
bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib. Andaikan aku kabarkan bahwa
dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian mempercayaiku?"
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!"
"Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang sangat pedih!"
lanjut Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. (H.R. Bukhari (hal. 1082 no. 4971) dan
Muslim (III/77 no. 507) dengan redaksi Muslim).

Lihatlah bagaimana Rasululullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan
kejujurannya dalam bertutur kata sebagai dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang
disampaikannya [lihat: Makârim al-Akhlâq fî Dhau'i al-Kitâb wa as-Sunnah karya Syaikh
Salim al-Hilâly (hal. 39)].

Seorang muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata,
berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita; dia akan disegani oleh mereka.
Ucapannya berbobot dan omongannya didengar. Dan ini adalah modal yang amat
berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah
merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari
awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita
telah dikenal, misalnya, mudah menukil berita tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.

Benarlah pepatah orang Jawa: "Ajining diri soko ing lathi" (Kehormatan diri dinilai
dari lisan).
-bersambung insya Allah-
Artikel www.tunasilmu.com

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 4


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

3. Bertindak ramah terhadap orang miskin dan kaum lemah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Bantulah aku untuk mencari dan menolong orang-orang lemah; sesungguhnya
kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di
antara kalian." (H.R. Abu Dawud (III/52 no. 2594), dan sanad-nya dinilai jayyid baik oleh an-Nawawy) [lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 146)].

Masih banyak hadits lain, juga ayat Alquran yang memerintahkan kita untuk berbuat
baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditegur langsung Allah ta'ala tatkala suatu hari
beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau;
karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu
Allah abadikan dalam surat 'Abasa. Namun setelah itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu
muadzin di kota Madinah. Orang tersebut adalah Abdullah Ibn Ummi Maktum
radhiyallahu 'anhu.

Bersikap ramah dan care terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari
dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.

Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah
untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang
lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam? Dia menjawab, "Orang-orang lemah dan kaum miskin." Heraklius pun menimpali, "Begitulah kondisi pengikut para nabi di setiap masa." [Lihat: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibn Katsir (VI/471-472)].

Ketika menafsirkan Q.S. Asy-Syu'ara: 111, Imam Abu Hayyân menjelaskan, bahwa
orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang
terpandang. Sebab, otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi;
sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orangorang
terpandang [lihat: Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/30)].

Sedangkan keuntungan kedua, adalah dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang
yang menyaksikan praktik akhlak mulia tersebut, sampaipun yang menyaksikan tersebut
adalah orang yang memiliki kedudukan dalam perihal harta maupun sosial. Masyarakat
cenderung lebih respek kepada ulama atau da'i yang rendah hati, serta akrab dengan
orang-orang lemah dan papa dibanding mereka yang berada dalam lingkaran kehidupan
orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab, masyarakat menganggap da'i tersebut
cenderung lebih tulus. Adapun ulama yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat
dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut?
Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?

Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orangorang
yang memiliki kedudukan [penulis telah sedikit mengupas tentang permasalahan ini
serta dampaknya yang amat signifikan untuk kemajuan dan perkembangan dakwah,
dalam buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah (hal. 69-73)], namun penulis
hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan
para da'i serta ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang
terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan. Tanpa ada
tujuan lain melainkan untuk mengajak mereka semua ke jalan Allah ta'ala.

Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya 'Adiy bin
Hâtim ath-Thâ'iy. Beliau adalah satu raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar
munculnya Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah; membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu akan adanya raja pesaing baru. Hingga datanglah suatu hari di mana Allah membuka hatinya untuk
mendatangi Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.

Begitu mendengar kedatangan 'Adiy, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
saat itu sedang berada di masjid beserta para sahabatnya pun bergegas menyambut
kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di
tengah perjalanan menuju ke rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia
memanggil-manggil beliau. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun berhenti dan
meninggalkan 'Adiy guna mendatangi wanita tersebut, beliau berdiri lama beserta dia
melayani kebutuhannya. Manakala melihat ke-tawadhu-an Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam 'Adiy bergumam dalam hatinya, "Demi Allah, ini bukanlah tipe seorang raja!"
Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam menggamit tangan 'Adiy melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk
yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilakan 'Adiy untuk
duduk di atasnya. 'Adiy pun menjawab, "Tidak, duduklah engkau di atasnya". "Tidak!
Engkaulah yang duduk di atasnya" sahut Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam". Akhirnya
'Adiy duduk di atas bantal tersebut dan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di atas tanah. Saat itu 'Adiy kembali bergumam dalam hatinya, "Demi Allah, ini bukanlah
karakter seorang raja!".

Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya 'Adiy pun mengucapkan dua
kalimat syahadat; menyatakan keislamannya [lihat: Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm oleh
Abdussalam Harun (hal. 272-274)].

Lihatlah bagaimana 'Adiy begitu terkesan dengan kerendahan hati Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam yang dengan sabar melayani kebutuhan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalannya mendampingi seorang raja besar! Goresan keterkesanan yang terukir dalam hatinya, merupakan titik awal ketertarikan dia untuk masuk ke dalam agama Islam.

Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da'i
muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allah ta'ala, dia telah bisa mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, "Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!". Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da'i tersebut: keramahannya kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang 'kecil'. Dia menyapa tukang parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!

Badruddin Ibn (w. 723 H) menyebutkan bahwa di antara akhlak ulama,
"Bermuamalah dengan para manusia dengan akhlak mulia, seperti bermuka manis,
menebar salam … berlemah lembut dengan kaum fakir, memperlihatkan kasih sayang
terhadap tetangga dan kerabat …" (Tadzkirah as-Sâmi' wa al-Mutakallim fî Adab al-'Âlim wa al-Muta'allim shallallahu ‘alaihi wa sallamhal. 96-97)).
Artikel www.tunasilmu.com

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 5


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

4. Santun dalam menyampaikan nasihat, sambil memperhatikan kondisi
psikologis orang yang dinasihati.


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Ucapan yang baik adalah shadaqah.” (H.R. Bukhari ( hal. 606 no. 2989) dan
Muslim (VII/96 no. 2332)).

Memilih kata-kata yang baik juga memperhatikan psikologis seseorang sangat
menentukan keberhasilan dakwah seseorang. Penulis pernah diceritai saksi mata obrolan
antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak
pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya
akan perkembangan-pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu
cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menukas, "Ya, itukan cuma lahiriahnya
saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!". Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan
terdiam.

Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata
yang lebih santun? Haruskah kita 'menabrak' langsung lawan bicara kita. Apakah itu
justru tidak mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak
didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?

Misalnya, kita katakan pada orang awam tersebut, "Ya, memang pembangunan fisik
kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan
ekonomi masyarakat. Namun, alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi
pula dengan pembangunan mental masyarakat; sehingga timbul keseimbangan antara dua
sisi tersebut."

Kita bisa mengambil suri teladan dari metode Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam menasihati para sahabatnya.

Abu Umamah bercerita, "Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, „Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!‟

Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, „Diam
kamu, diam!‟ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, „Mendekatlah.‟ Pemuda
tadi mendekati beliau dan duduk.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, „Relakah engkau jika ibumu dizinai
orang lain?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul.‟ sahut pemuda tersebut.
„Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika bibi dari jalur bapakmu dizinai?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika bibi dari jalur ibumu dizinai?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai.‟
Lalu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada
pemuda tersebut sembari berkata, „Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah
hatinya dan jagalah kemaluannya.‟
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina."
(H.R. Ahmad (XXXVI/545 no. 22211) dan sanad-nya dinilai sahih oleh Syaikh al-
Albani).

Cermatilah bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak langsung
menyalahkan pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk
berpikir sambil beliau juga memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin sebagian
kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele.

Namun, lihatlah apa hasilnya? Memang jalan dakwah itu panjang dan membutuhkan
kesabaran.

Tidak ada salahnya kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu
sebelum mengenal dakwah salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh
dengan berkah ini. Apakah dulu serta merta sekali diomongkan, kita langsung
meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita anut? Atau melalui proses
panjang yang penuh dengan lika-liku?

Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya
kita memperolehnya secara bertahap; kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain
juga dengan hikmah, nasihat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh as-Sa'dy ketika beliau menafsirkan firman Allah,
Artinya: "Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah melimpahkan nikmat-
Nya pada kalian." (Q.S. An-Nisa: 94) [Lihat: Tafsîr as-Sa'dy (hal. 158)].

Tidaklah mudah mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk
menganut sebuah ideologi baru. Pertama kali buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya.

Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya,
kemudian beralih ke ideologi yang baru.
-bersambung insya Allah-
Artikel www.tunasilmu.com

Saturday, October 8, 2011

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 6


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

5. Bersifat pemaaf terhadap orang yang menyakiti dan membalas keburukan dengan kebaikan.

Allah ta'ala berfirman,
Artinya: "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan
pedulikan orang-orang jahil." (Q.S. Al-A'raf: 199).
Adapun potret praktik akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasul shallallahu 'alaihi wa
sallam amatlah banyak, baik dengan sesama muslim, maupun dengan para musuh beliau
dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.

Di antara contoh jenis pertama, apa yang dikisahkan Anas bin Malik,
"Suatu hari aku berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu
beliau berpakaian kain buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang
Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di
pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan dia. Sembari berkata, ‘Berilah aku
sebagian dari harta yang Allah berikan padamu!’ Beliaupun menengok kepadanya
sembari tersenyum, lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta." (H.R. Bukhari
(hal. 642 no. 3149) dan Muslim (VII/147 no. 2426)).

Contoh jenis kedua antara lain: apa yang dikisahkan Aisyah radhiyallahu 'anha,
"Suatu hari, aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai
Rasululllah, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibanding hari
peperangan Uhud?’

Beliau menjawab, ‘Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan
cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu aku
menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku.
Akupun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di
Qarn ats-Tsa'âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada sebuah awan
yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku, ‘Sesungguhnya,
Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allah telah
mengirimkan untukmu malaikat gunung 1, supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu.’ Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
‘Justru aku berharap, semoga Allah berkenan menjadikan keturunan mereka generasi
yang mau beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu
apapun.’" (H.R. Muslim (XII/365 no. 4629)).

Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri. Apalagi
mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah
daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan ada tantangan, berupa cemoohan,
makian, atau bahkan mungkin bisa berupa serangan fisik, dari musuh-musuh dakwah.
Ketika seorang da'i menghadapi semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran,
tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan
kebaikan; insyaAllah dengan berjalannya waktu, hati para 'lawan' dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah haq dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhantuduhan miring [Cermati: Ashnâf al-Mad'uwwîn (hal. 54)].

Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktik sifat mulia ini. Penulis
bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang telah tersohor kekokohannya
dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan
sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah.

Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah mencegat Ibn Taimiyah lalu
mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga
murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, untuk
minta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.
Namun Ibn Taimiyah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu.”
“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”,
tukas mereka.

Ibn Taimiyah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak untuk balas dendam
itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allah. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku, maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasihatku dan fatwaku, maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allah, maka Dia yang akan membalas, jika Dia berkehendak!” [Lihat: Al-'Uqûd ad-Durriyyah karya Ibn Abdil Hadi (hal. 224-225)].
Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid'ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.

Di antara penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah adalah Sultan Muhammad Qalawun. Di suatu tahun Sultan Qalawun pergi
berhaji ke Baitullah. Selama dia melakukan ibadah haji pemerintahan diserahkan kepada
salah seorang wakilnya: Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang kebetulan dia
adalah murid salah satu tokoh sufi abad itu: Nashr al-Manbajy, dan al-Manbajy ini amat benci sekali terhadap Ibnu Taimiyah.

Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun
makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah. Namun
sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun keburu kembali dari haji.
Tatkala mendengar berita akan makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun
marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar
tersebut. Tatkala mendengar berita itu, Ibn Taimiyah bergegas datang ke Sultan Qalawun dan berkata, “Adapun saya, maka telah memaafkan mereka semua.” Akhirnya, Sultan pun memaafkan mereka.

Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibn Taimiyah: Zainuddin bin
Makhluf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibn Taimiyah!
Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya kami berusaha untuk memanfaatkan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun, tatkala dia memiliki kesempatan untuk
membalas, malah dia memaafkan kami!” [Lihat: Al-'Uqûd ad-Durriyyah karya Ibn Abdil
Hadi (hal. 221)].

Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah
buahnya! Disegani lawan, maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang
berubah menjadi teman seperjuangan; berkat taufiq dari Allah dan ketulusan hati para
da'i.

1. Apakah tugas yang Allah bebankan kepada malaikat ini? Wallahu a'lam penulis belum menemukan keterangan para ulama dalam masalah ini. Yang jelas ia ditugaskan Allah untuk melakukan apa yang berkenaan dengan gunung. Periksa: Mu'taqad Firaq al-Muslimîn wa al-Yahûd wa an-Nashârâ wa al- Falâsifah wa al-Watsaniyyîn fî al-Malâ'ikah al-Muqarrabîn karya Dr. Muhammad bin Abdil Wahhab al-'Aqîl (hal. 155).

-bersambung insya Allah-
Artikel www.tunasilmu.com

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 7


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A

6. Menahan diri dari meminta-minta apa yang dimiliki orang lain.

Sifat ini lebih dikenal para ulama dengan istilah 'iffah atau 'afâf. Ini merupakan salah satu karakter para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Allah
ceritakan dalam Alquran,
Artinya: "shallallahu ‘alaihi wa sallamOrang lain) yang tidak tahu menyangka,
bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri shallallahu ‘alaihi
wa sallamdari meminta-minta). Engkau shallallahu ‘alaihi wa sallamwahai Muhammad)
mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada
orang lain." (Q.S. Al-Baqarah: 273).

Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka
melihat langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mempraktikkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktikkannya juga. Di antara nasihat yang
beliau sampaikan: sabdanya,.
"Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan
tidak meminta-minta kepada manusia dan berambisi untuk memperoleh apa yang ada di
tangan mereka) niscaya Allah akan menganugerahkan kepadanya ‘iffah shallallahu
‘alaihi wa sallamkehormatan diri). Dan barangsiapa merasa diri berkecukupan; niscaya
Allah akan mencukupinya." (H.R. Bukhari (hal. 283 no. 1427) dan Muslim (VII/145 no.
2421) dari Hakîm bin Hizâm).

Karakter pertama merupakan jalan pengantar menuju karakter kedua. Sebab,
barangsiapa menjaga kehormatannya untuk tidak berambisi terhadap apa yang dimiliki
orang lain; ia akan memperkuat ketergantungannya pada Allah, berharap dan berambisi
terhadap karunia dan kebaikan Allah [lihat: Bahjah Qulûb al-Abrâr karya Syaikh as-Sa'dy (hal. 78)].

Lantas apa korelasi antara bersifat 'iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurangkurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam nasihatnya untuk seseorang yang bertanya, "Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan; aku akan disayang Allah dan dicintai manusia!" Beliaupun menjawab,
"Bersifat zuhudlah di dunia; niscaya engkau akan disayang Allah. Dan bersikap
zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia; niscaya mereka mencintaimu." (H.R. Ibn
Majah (IV/163 no. 4177) dari Sahl bin Sa'd as-Sâ'idy dan sanad-nya dinilai hasan oleh
Imam an-Nawawy) [Lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 216)].
Jika seorang da'i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk
menerima dakwahnya.

Kedua: Orang yang memiliki sifat 'afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allah, bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da'i tersebut; jelas - dengan izin Allah- mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allah ta'ala
berfirman,
Artinya: "Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk." (Q.S. Yasin: 21).

Kiat menumbuhkan sifat 'afâf
Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun, di sana
ada kiat yang membantu kita untuk menumbuhkan karakter mulia dalam diri kita. Yaitu
dengan melatih diri bersifat qana'ah yang berarti: menerima dan rela dengan berapapun
yang diberikan Allah ta'ala. Sebab sebenarnya sifat 'afaf sendiri merupakan buah dari
sifat qana'ah [lihat: Bahjah an-Nâzhirîn karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/583)].
Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qana'ah?

Jawabannya: dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di
tangan Allah dan yang kita dapatkan telah dicatat Allah ta'ala, serta tidak mungkin
melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.
Catatan penting [Dinukil dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah
(hal. 25-27)]

Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita 'melarutkan' diri dalam ritual-ritual bid'ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!

Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan [untuk mengenal lebih
lanjut hukum yasinan dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan
karya Ust. Yazîd bin Abdul Qâdir Jawwâs, dan makalah Takhrîj Hadits-Hadits tentang
Keutamaan Surat Yâsîn karya Ust. Dzulqarnain Sunûsi (dalam Majalah an-Nashîhah vol
06 hal 50-59)], tahlilan [untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari
kacamata Islam, silakan merujuk ke buku Santri NU Menggugat Tahlilan, karya Harry
Yuniardi dan Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust Abdul Hakîm bin
„Âmir „Abdât], maulidan atau acara-acara bid'ah lainnya. Caranya? Kita berusaha untuk
berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur
penyimpangan terhadap syariat, contohnya: kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti,
pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar
jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan
salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu
membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu
mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan
lain sebagainya.

Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidak ikutsertaan kita
dalam ritual-ritual bid'ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang 'tidak ada tawar-menawar' di dalamnya.

Kedua: Sebagian pihak 'mengolok-olok' beberapa da'i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid'ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat, namun mengabaikan pembenahan akidah.

Jawabannya:
A. Barangkali pihak yang gemar 'mengolok-olok' itu lupa bahwa dakwah Ahlus
Sunnah wal Jama‟ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang
benar saja. Namun, dia juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan
akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak
lain adalah agama Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
mana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî
rahimahullâh berkata, "Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah." [Syarh
as-Sunnah karya Imam al-Barbahârî (hal. 126)].

Syaikh Dr. Ibrâhîm bin „Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, "Hendaklah
diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran
Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak.

Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah
orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi
akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin." [Nashîhah li
asy-Syabâb (hal. 1)].

B. Seandainya ada sebagian ahlul bid'ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi
syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih
terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha
membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga
kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan
bukan sepotong-sepotong?!

Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat
kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak Islami, dia cenderung
'menjauhi' mereka dan memilih 'bergabung' dengan kelompok-kelompok ahlul bid'ah
yang terkenal menonjol dalam sisi itu.

Sikap ini juga kurang tepat; karena justru yang benar seharusnya dia berusaha
membenahi diri dengan 'merenovasi' akhlaknya yang kurang mulia, lalu berusaha terus
menerus pantang mundur untuk menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah
guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu
masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!

Penutup
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan
membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam
segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan
sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah "Bisnis afwan
akhi!" [Lihat: Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 (hal. 82-83)], yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Namun karena keterbatasan waktulah, yang memaksa penulis untuk mencukupkan makalah ini sampai di sini. Semoga Allah
berkenan mengaruniakan kelonggaran waktu di lain kesempatan, sehingga contoh-contoh
lainnya tersebut bisa dikupas, amin.

Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq... Wa shallallahu 'ala nabiyyina
muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in...
Kedungwuluh Purbalingga, 13 Rajab 1431 / 25 Juni 2010
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Artikel www.tunasilmu.com

Thursday, October 6, 2011

Bahaya "Jaringan Islam Liberal (JIL)" bhg 1


(BAGIAN-1)

I. SIAPA JARINGAN ISLAM LIBERAL

A. Latar Belakang Lahirnya Jaringan Islam Liberal

Istilah Islam Liberal disusun dari dua kata, yaitu Islam dan Liberal.

Islam maksudnya adalah dienul Islam, yang diturunkan oleh Allooh سبحانه وتعالى kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم. Dan Liberal artinya adalah kebebasan.

Setelah dua kata ini disusun, kata Liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga secara singkat bisa dikatakan Islam yang Liberal atau Bebas.

Gerakan Islam Liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
Dalam konteks global, Islam Liberal muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan yang mereka anggap sebagai permurnian, kembali kepada al-Qur`an dan sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal paham Liberal awal melalui Syah Waliyulloh (India, 1703-1762 M), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.

Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris.

Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis. Ia menggagas tafsir al-Qur`an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern.

Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur`an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur`an adalah ideal moralnya, karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.

Adapun dalam konteks regional Indonesia, wacana meliberalkan Islam pertama kali dipelopori oleh Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago), dan Harun Nasution (lulusan Mc Gill University Kanada), disamping terdapat juga tokoh-tokoh lain saat itu, seperti Djohan Efendi, dan Ahmad Wahib. Nurcholis Madjis telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun 1970-an.

Pada saat itu, Nurcholis Madjid telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini, dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama”. Nurcholis mempromosikan gagasan-gagasanya ke masyarakat kelas menengah ke atas lewat Paramadina-nya.

Sedangkan Harun Nasution berhasil mempengaruhi institusi perguruan tinggi Islam, setelah pada tahun 1973, bukunya “Islam ditinjau dari Berbagai Aspek” ditetapkan sebagai buku utama mahasiswa IAIN se-Indonesia. Buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1974 itu, dijadikan bahan bacaan pokok untuk mata kuliah “Pengantar Ilmu Agama Islam”, melalui rapat kerja Rektor IAIN se-Indonesia di Ciumbuluit Bandung tahun 1973.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nurcholis Madjid dan Harun Nasution merupakan “pioner” pertama dalam melahirkan faham Islam Liberal di Indonesia, karena melalui keduanyalah wacana meliberalkan Islam dikenal di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, ide-ide Nurcholis dan Harun selanjutnya dikembangkan oleh kader-kader godokan keduanya, sehingga pada akhir tahun 1990 muncullah sekelompok anak muda yang menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20.

Kondisi inilah yang kemudian mendorong beberapa aktivis muda untuk melakukan berbagai diskusi di Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur. Kemudian dengan merujuk kepada tempat itulah maka beberapa tokoh muda Islam mendirikan Komunitas Islam Utan Kayu yang merupakan cikal bakal berdirinya JIL. Beberapa nama yang terlibat untuk membentuk Komunitas Utan Kayu itu dan kemudian mendirikan JIL antara lain Ulil Abshar-Abdalla, Nong Darol Mahmada, Burhanuddin, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufiq Adnan Amal, Saiful Mujani, dan Luthfi Assaukanie.

Beberapa tema yang menjadi bahan diskusi di antara aktivis tersebut antara lain: maraknya kekerasan atas nama agama (dien), gencarnya tuntutan penerapan syariat Islam, serta tidak adanya gerakan pembaruan pemikiran Islam yang sebelumnya dirintis oleh Nurcholish Madjid dan Harun Nasution.
Selanjutnya secara lebih nyata para anak-anak muda tersebut mendirikan sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis (Islamliberal@yahoo.com).

Sejak saat itulah mereka menamakan diri dengan sebutan Jaringan Islam Liberal. Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, Negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik.

Pengelolaan JIL ini dipimpin oleh beberapa pemikir muda seperti Luthfi Assyaukani (Universitas Paramadina), Ulil Abshar Abdala (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (Jurnal Kalam). Untuk memusatkan organisasi, para pemimipin JIL mendirikan markas yang terletak di jalan Utan Kayu Jakarta, serta menetapkan Ulil Abshar Abdala sebagai kordinator.

B. AD/ART Jaringan Islam Liberal

Dalam websitenya www.islamlib.com/id/, disebutkan bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:

a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).

b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.

c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.

e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.

Lebih lanjut, terdapat tiga misi yang diemban oleh JIL, yaitu:

Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.

Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme.

Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Untuk memuluskan misinya, JIL melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia sekaligus membuka pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis. Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:

Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender;
Membentuk intellectual community yang bersifat organik dan responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia;
Menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.

Ditempat lain, Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL menyebutkan, ada tiga kaedah yang hendak dilakukan oleh JIL, yaitu:

Pertama, membuka ruang diskusi, meningkatkan daya kritis masyarakat dan memberikan alternatif pandangan yang berbeda.

Kedua, ingin merangsang penerbitan buku yang bagus dan riset-riset.

Ketiga, dalam jangka panjang ingin membangun semacam lembaga pendidikan yang sesuai dengan visi JIL mengenai Islam.

Adapun mengenai tujuan, mereka merumuskannya ke dalam empat hal, yaitu:

Pertama, memperkokoh landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme, dan humanisme.

Kedua, membangun kehidupan keberagaman yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.

Ketiga, mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya: Islam) yang pluralis, terbuka, dan humanis.

Keempat, mencegah agar pandangan-pandangan keagamaan yang militan dan pro kekerasan tidak menguasai wacana publik.

Bila diteliti lebih jauh, sebenarnya wacana-wacana dan konsep-konsep yang dikumandangkan oleh para aktivis JIL, telah pernah dikembangkan sebelumnya oleh kalangan Orientalis Barat dan Misionaris Kristen dalam proses Sekularisasi dan Liberalisasi Islam. Atas dasar ini, maka sekilas sudah terlihat persamaan gagasan antara Orientalis Barat dengan apa yang sedang diusung JIL. Hal ini menimbulkan kecurigaan tentang misi yang sedang diperjuangkan JIL, apakah misi tersebut murni untuk merubah wajah islam, atau misi ini hanya sebuah pesanan.

Apalagi tokoh-tokoh yang sering dibanggakan oleh JIL adalah orang-orang yang telah mencatat sejarah hitam dalam Islam dengan menjadi perpanjangan tangan dari kaum Orientalis dalam upaya menggeroti Islam dari dalam. Oleh karena itu sangat wajar bila mayoritas Muslim Indonesia menyambut gerakan JIL dengan sikap yang kontra.

C. Realitas Perkembangan Jaringan Islam Liberal

Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta, dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Disamping itu mereka juga gencar memuat ide-ide mereka melalui artikel-artikel yang disajikan kepada publik.

Diantara artikel-artikel yang dianggap sangat kontroversi adalah tulisan Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL, ia menulis di media massa mengenai beberapa hal yang tergolong mendobrak tradisi beragama ummat islam saat itu. antara lain: menyegarkan kembali pemahaman islam, tidak ada hukum Tuhan di dunia ini, Nabi Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, dan lain-lain

Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawan-lawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla), Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal.

Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang kontributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.

Ide-ide yang dikemukakan kelompok JIL pada dasarnya berpijak pada AD/ART yang mereka anut. Tetapi dalam realitasnya, saat mereka menyampaikan ide-ide tersebut terkadang telah menampilkan suatu sikap ekstrim yang menurut mereka sendiri harus dihilangkan dari wacana publik. Karena mereka secara membabi buta menyerang habis-habisan apa yang telah dianut oleh ummat Islam. Sampai saat ini sudah sangat banyak gagasan yang dimunculkan JIL ke publik. Dalam uraian berikut ini, penulis hanya akan mengemukakan beberapa hal saja diantaranya, yaitu masalah-masalah yang sangat menyentuh tentang dasar-dasar agama, dan masalah yang telah disepakati ummat islam. Antara lain:

1. Semua Agama Sama

Menurut JIL, Islam tidak beda dengan agama kufur dan syirik manapun, semuanya masuk surga. Semua orang beragama adalah mukmin, oleh karena itu semua bersaudara dan halal saling menikahi. Meyakini Islam satu-satunya agama yang benar tidak boleh. Oleh karena itu dakwah Islamiyah pun tidak boleh. Wajib diganti dengan dialog, tukar menukar pengalaman dan kerja sama dalam bidang sosial keagamaan. Mereka disini cenderung mengartikan islam bukan nama sebuah agama, tetapi islam dalam pengertian etimologi yaitu tunduk dan patuh.

Karena ideologi ini, para tokoh JIL meyakini tentang kebebasan beragama. Menurut mereka, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Karena ini pula mereka menghalalkan pernikahan antar agama, sesorang muslim baik laki-laki maupun perempuan boleh saja menikah dengan non muslim.

Bila diteliti terhadap ide yang dilontarkan kelompok JIL diatas, jelas sekali terlihat bahwa sebenarnya ide tersebut tidak layak keluar dari mulut seorang muslim. Paham ini sebenarnya merupakan warisan pemikiran Harvey Cox, seorang pemikir Barat yang menggagas paham Sekularisme. Gagasan Sekularisasi yang dipopulerkan Cox mendapat sambutan hangat dari para pemikir Kristen lainnya, seperti Robert N.Bellah yang sebelumnya telah terpengaruh dengan gagasan Marxist.

Dengan mantapnya konsep sekularisme, seseorang manusia tidak mengakui lagi kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak semua konsep-konsep islam yang bersifat pasti (Qath’i) karena semua hal dianggap relatif. Makna kebenaran bagi mereka adalah segala yang berlaku dalam masyarakat, dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Qur’an.

2. Al-Qur’an Adalah Produk Budaya, Bukan Kitab Suci.

Menurut JIL, sejarah al-Qur’an hingga menjadi “kitab suci” dan “autentik” perlu dilacak kembali. Untuk tujuan itu, mereka menawarkan dekontruksi sebagai sebuah strategi terbaik. Karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti sumber-sumber muslim tradisionil yang meyakini kesucian kitab al-Qur’an. Menurut mereka, Mushaf Usmani sebenarnya hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat. Mereka juga menyalahkan metodologi ulama dahulu yang mengontrol kebenaran wahyu dengan menggunakan analisis grammar dan yang berhubungan dengan bahasa.

Menurut para aktivis JIL al-Qur’an adalah teks, dan cara terbaik dalam menggali teks adalah pendekatan hermeneutika. Dengan pendekatan hermeneutika kita dapat mengetahui bukan makna literal saja dari al-Qur’an, tetapi juga semua makna al-Qur’an dari berbagai aspek.

Bila diperhatikan sekilas memang tawaran JIL disini termasuk tawaran yang dapat menebar pesona dalam konteks ilmiah. Karena bersifat kritis. Tetapi secara tanpa sadar, para Liberalis dalam hal ini telah mengadopsi pemikiran-pemikiran Orientalis yang berupaya memahami al-Qur’an dengan pendekatan konflik dan menganggap al-Qur’an itu bukan Wahyu. Karena pendekatan hermeneutika merupakan metode yang digunakan oleh para intelektual barat dalam memahami Bibel, dimana saat memahaminya seseorang harus berangkat dari keragu-raguan.

Agenda untuk meragukan keabsahan dan keotentikan al-Qur’an sebagai wahyu Allooh سبحانه وتعالى memang telah lama digarap secara serius oleh kalangan orientalis dan missionaris Kristen. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam buku karya Samuel M. Zwemmer yang berjudul Islam: A Challenge to Faith, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1970. Ironisnya, upaya untuk meragukan al-Qur’an juga muncul dikalangan aktivis JIL, meskipun dengan cara yang lebih halus dari apa yang dilakukan oleh Zwemmer. Artinya, dengan menerapkan pendekatan hermeneutika berarti seseorang tidak meyakini lagi kebenaran al-Qur’an.

Sebenarnya mengkaji Al-Quran sebagai teks dengan konteks bukanlah sesuatu cara yang terlalu baru. Apalagi istilah hermeneutika pun mempunyai banyak makna. Ada makna pada tataran filosofis, dan ada makna pada tataran sosiologis dan historis. Sesungguhnya, ulama tafsir klasik pun telah menggunakan kajian Asbabun Nuzul yang memberi konteks dari turunnya sesuatu ayat. Yang dikhawatirkan dalam pendekatan hermeneutika terhadap al-Qur’an ialah sang penafsir akan menerapkan metode kajian Bibel untuk al-Qur’an, dan memalingkan arti teks Al-Quran dengan dalih hermeneutika. Padahal terdapat perbedaan sangat kontras antara status teks Al-Quran yang selamanya orisinal sebagai wahyu Allooh سبحانه وتعالى, dan teks Bibel yang ditulis oleh orang-orang yang hidup beberapa lama setelah Nabi Isa عليه السلام.

Awalnya, para Teolog Yahudi dan Kristen mempertanyakan apakah Bibel itu kalam Tuhan atau produk manusia? Ini karena banyaknya versi bibel dengan pengarang yang berbeda, dan saling bertentangan. Ketika hermeneutika dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an, persoalannya menjadi lain. Sebab, setidaknya ada tiga persoalan besar ketika hermeneutika diterapkan pada teks al-Qur’an. Hal ini terjadi karena adanya spirit yang inheren dalam hermeneutika itu sendiri.

Tiga hal tersebut ialah:

Pertama, hermeneutika menghendaki sikap yang kritis.

Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk manusia, dan mengabaikan sifat transedentalnya.

Ketiga, hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir sangat relatif.

Dari uraian diatas, bila dilihat dari sejarah lahir dan metodenya, pendekatan hermeneutika sangat tidak tepat dibawa dalam memahami al-Qur’an, karena kebenaran al-Qur’an tidak boleh diragukan. Sisi inilah yang membedakan al-Qur’an dan Bibel, sebab Bibel wajar saja diragukan keabsahannya karena kandungan isinya saling kontradiksi akibat ulah pendeta-pendeta Nasrani yang merubah-rubah isinya yang dilatarbelakangi oleh sikap dengki terhadap kenabian Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Dalam memahami al-Qur’an, kelompok JIL juga mengajak ummat Islam untuk meninggalkan kitab-kitab tafsir klasik. Bila diteliti, ajakan tersebut adalah pertanda kerancuan berpikir yang sangat jelas, karena komunikasi dengan pemikiran para mufasir klasik itu sangat diperlukan justeru antara lain untuk memahami konteksnya, dan memahami konteks masyarakat mereka. Dan pemahaman konteks itu adalah anjuran dari hermeneutika. Jadi, kalau kitab-kitab klasik tidak diperlukan lagi, sebenarnya bertentangan dengan anjuran penggunaan hermeneutika itu sendiri.

Dari berbagai kerancuan yang terdapat dalam gagasan JIL tentang metode memahami al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutika, dan meninggalkan tafsir-tafsir lama, menimbulkan berbagai pertanyaan, siapa sebenarnya mereka, dan apa motif dibalik gerakan mereka? Jangan-jangan kampanye aktivis JIL yang semakin berani dan terbuka ini merupakan pesanan Orientalis dan Missionaris. Karena sudah jelas metode yang mereka tawar diadopsi dari Orientalis dan Missionaris. Dan karenanya wajar saja ada fatwa tentang kemurtadan orang-orang JIL karena meragukan kebenaran al-Quran.

Selanjutnya bila dilihat dari ungkapan mereka yang saling bertentangan satu sama lainnya, maka tidak salah kalau sebagian orang mengklaim bahwa sebenarnya orang-orang JIL itu tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan. Atas dasar ini, sangatlah disayangkan sikap sebagian intelektual muslim sekarang ini yang membela dan memuji JIL sebagai kelompok pembaharu Islam.

3. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم Tokoh Historis Yang Perlu Dikritisi

Menurut tokoh-tokoh JIL, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah tokoh sejarah yang perlu dikaji secara kritis, sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya. Komentar diatas merupakan salah satu bentuk penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang dilontarkan oleh JIL.

Bila ditelusuri lebih jauh, penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sudah pernah terjadi semenjak masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri ketika beliau membawa misi tauhid kepada orang-orang kafir. Saat itu penghinaan sering dilontarkan oleh kelompok Munafik dan Musyrik. Kemudian penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terus dilakukan oleh para kafir sampai pada abad moderen ini, sampai-sampai dengan cara membuat karikatur dan dimuat dalam media massa. Jadi, sejak dulu sampai kini biasanya ejekan-ejekan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم selalu dilakukan oleh kafir.

Sebagai contoh, beberapa tahun lalu seorang Orientalis Kristen yang bernama Robert Morey menulis buku yang diberi judul Islamic Invasion. Dalam buku ini, sebagaimana dikutip Hartono Ahmad Jaiz, Robert menyerang dan menghina Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم secara habis-habisan, sampai ia mengatakan dalam bukunya “Kalau kita perhatikan kehidupan Muhammad, kita akan menemukan bahwa dia merupakan manusia biasa yang juga bergelimang dengan dosa seperti halnya dengan kita semua. Dia berbohong, menipu, dipenuhi nafsu birahi, mengingkari janji, membunuh, dan lain-lain”.

Yang aneh disini adalah orang kafir yang sudah jelas-jelas menghina Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم justeru didukung oleh tokoh yang mengaku muslim dan memimpin perguruan tinggi Islam saat itu. Azymardi Azra (salah seorang tokoh JIL) yang saat itu memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberi kata pengantar pada terjemahan buku tersebut yang dalam judul indonesianya “Islam Di Hujat”. Buku yang sekeji ini menghina Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahkan oleh diwajibkan oleh Azymardi Azra untuk dibaca oleh semua ummat islam.

Ummat Islam meyakini bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah seorang yang terpelihara dari dosa sekecil apapun dan dari kesalahan (ma’shum). Apa yang diucap dan dilakukan beliau صلى الله عليه وسلم semua bersumber dari Wahyu, sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an tepatnya dalam surat an-Najm ayat 3-4 :

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤

Artinya:

(3) dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.

(4) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Salah satu unsur iman adalah beriman kepada Rosuul dan dengan ajaran yang dibawa Rosuul. Rosuul memang manusia, tetapi kepadanya diberikan sifat-sifat ketinggian dan mukjizat. Mukjizat itu berfungsi membenarkan kerosuulannya. Maka orang yang tidak meyakini kebenaran Rosuul dan ma’shum-nya, maka orang ini dianggap belum beriman dengan Rosuul. Tidak beriman dengan Rosuul berarti belum memenuhi unsur keimanan. Orang yang tidak memenuhi unsur keimanan berarti masih berada diluar Islam. Jadi bila dilihat dari sisi ini, maka orang yang meyakini seperti yang dilontarkan tokoh JIL berarti orang yang tidak beriman.

Dari uraian diatas semakin tampak bahwa JIL menyuarakan dalam Islam, apa saja yang telah disuarakan oleh orang-orang kaafir terhadap Islam. Ini makin memperjelas siapa sebenarnya JIL, dan sepertinya mereka merupakan corong para Orientalis untuk mengobok-obok Islam dari dalam.

4. Menolak Syari’at Islam

Menurut kelompok JIL, sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Luthfi as-Syaukani (dosen Universitas Paramadina), bahwa syari’at Islam itu sebenarnya tidak ada. Syariat Islam hanya karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki idealisme yang berlebihan terhadap Islam. Semua hukum yang diterapkan oleh sebuah masyarakat pada dasarnya adalah hukum positif, termasuk yang diberlakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. Kalaupun sumber konstitusinya berasal dari al-Qur’an, hal ini karena Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah seorang Rosuul dan tidak memiliki sumber konstitusi yang lebih baik dari al-Qur’an saat itu.

Pada dasarnya penolakan terhadap syari’at Islam merupakan isu yang diangkat oleh kalangan Orientalis dengan dalih pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Hal ini pernah terangkat dalam satu diskusi antar agama yang diadakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat itu, Prof. Olaf Schumann dari Universitas Hamburg Jerman yang sekaligus seorang Pendeta Gereja Lutheran menyatakan, bahwa penerapan syari’at Islam dalam suatu negara Islam merupakan ketidakadilan terhadap pemeluk agama lain, dan ini bertentangan dengan konsep pluralisme dan humanisme.

Selanjutnya penolakan terhadap syari’at islam sangat gencar dikampanyekan oleh para aktivis JIL. Menurut mereka, penerapan syariat oleh negara berarti melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi dan equality (kesamaan) di antara seluruh warga negara. JIL bersikeras memisahkan agama (dien) dari negara. Karena negara dalam pandangan mereka, harus netral dari pengaruh agama apa pun. Sementara, agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat.
Apa yang mereka katakan ini sebenarnya hanya membuka kedok mereka yang sama sekali buta terhadap Islam. Mereka mengatasnamakan Islam (dengan embel-embel liberal) namun tidak tahu apa itu Islam dan bagaimana sejarah Islam. Karena apa yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak terbukti. Sebab, sebagai agama dan negara, Islam sangat menjunjung tinggi asas egaliter dan menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi. Islam tidak pernah pilih kasih dalam menegakkan keadilan dan menerapkan hukumnya. Semua warga negara sama di mata hukum, baik itu muslim ataupun non-muslim.

Menolak penerapan syariat Islam berarti sama saja dengan menganggap agama ini (dienul Islam) tidak lengkap dan tidak sempurna. Selain itu, upaya memisahkan agama (dien) dari negara yang mereka usung sungguh berbahaya, karena ujung-ujungnya adalah ingin memisahkan agama (dien) dari kehidupan manusia. Inilah yang sejatinya merupakan proyek sekularisme. Alasan penolakan mereka hanya dibuat-buat, diputar-putar, dan apologis, agar terkesan ilmiah.

Dari uraian diatas, jelas bahwa ide penolakan syari’at islam merupakan warisan yang diambil JIL dari kalangan yang selalu dipujinya, yaitu Orientalis Barat. Sebab, dalam ummat Islam, ketakutan pada Islam ini sejatinya tidak akan muncul kecuali dari mereka yang sudah terlanjur cinta pada peradaban Barat. Atau, bisa jadi mereka yang sudah diasuh dan lama menyusu kepada Barat. Apa yang dinilai oleh Barat baik, dia juga katakan baik, dan sebaliknya.

5. Penghalalan Yang haram, dan Pengharaman yang halal.

Menurut tokoh-tokoh JIL, semua masalah yang ada dalam Islam tetap terbuka ruang untuk ijtihad ulang, meskipun masalah tersebut telah disepakati oleh semua ummat Islam sejak zaman dahulu. Re-ijtihad menurut mereka tidak terbatas pada masalah-masalah hukum amali saja, tetapi juga berlaku pada masalah-masalah keilahian yang sudah berstatus qath’i.

Karena pijakan ini, para tokoh JIL tidak segan-segan untuk menetapkan kehalalan suatu kasus, sekalipun sudah disepakati ummat Islam tentang keharomannya. Begitu juga mereka mengharomkan suatu kasus, kendatipun ummat Islam meyepakati kehalalannya. Seperti poligami yang dihalalkan dalam Islam, tetapi menurut JIL hukumnya adalah harom. Sementara perkawinan muslim dengan non muslim yang telah diharomkan, namun JIL menghalalkannya.

Tidak berhenti disitu, malah para tokoh JIL juga menghalalkan perkawinan sesama jenis (homosex/lesbian). Seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, Menurutnya, homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah. Ia memuat tulisannya ini dalam Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) Islam ‘recognizes homosexuality’ (Islam mengakui homoseksualitas). Saat berita itu dimuat, semua tokoh-tokoh JIL memuji keberanian Musdah.

Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum Liberal di Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (“unthought”). Bagaimana mungkin, dari kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani menghalalkan homoseksual, suatu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama (dien).

Bagi kaum Yahudi dan Kristen Liberal, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Mereka juga menyatakan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai “ortodoks”, “konservatif” dan sejenisnya, karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual.

Bagi ummat Islam secara umum, hukum tentang homosexual bukan lah suatu hukum yang samar-samar (khafi), tetapi sudah jelas keharomannya. Bahkan sebelum Islam datang, karena praktik homosexual merupakan perbuatan yang dikutuk.

Al-Quran (QS. Al A’roof (7) ayat 80-84)sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini:

وَلُوطاً إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّن الْعَالَمِينَ ﴿٨٠﴾ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاء بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ ﴿٨١﴾ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَن قَالُواْ أَخْرِجُوهُم مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ﴿٨٢﴾ فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاَّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ ﴿٨٣﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِم مَّطَراً فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ ﴿٨٤

Artinya:

(80) Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”

(81) Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.

(82) Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”

(83) Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).

(84) Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.

Karena sering mengemukakan gagasa-gagasan yang aneh dan menjadi corong Orientalis, para tokoh-tokoh JIL sering mendapat penghargaan dari pihak-pihak dunia Barat. pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Ia dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan “pembaruan hukum Islam” – termasuk – undang-undang perkawinan. Selanjutnya pada 27 Nopember 2009 lalu, ia kembali meraih anugerah International Prize of The Women of The Year 2009, di Italia, setelah menyisihkan 36 finalis dari 27 negara.

Dari beberapa contoh permasalahan yang digagas dan diperjuangkan JIL sebagaimana uraian diatas, terlihat jelas tidak satupun yang terlepas dari hubungannya dengan apa yang dikampanyekan oleh kalangan Orientalis dan Missionaris Kristen. Isu semua agama sama, kebebasan beragama, al-Qur’an produk budaya, penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, penolakan syari’at Islam, sampai perkawinan sesama jenis, merupakan tema-tema yang sejak dulu diperjuangkan dengan gigih oleh kalangan Orientalis dan Missionaris Kristen, dan secara terus-menerus ditanamkan dalam pemikiran generasi muda Islam. Tujannya tak lain untuk menjauhkan generasi Islam dari pemahaman dien yang sebenarnya.

Dari berbagai data yang berhasil dihimpun mengenai sepak terjang JIL, setelah dianalisis dapat diajukan beberapa hasil temuan sebagai berikut:

Pertama, kelompok JIL merupakan perpanjangan tangan Orientalis dan Missionaris Kristen untuk merusak Islam dari dalam, dan memecah belahkan ummat Islam, sebab kalangan Barat sangat takut jika ummat Islam bersatu. Sejak berakhirnya perang Salib, pihak Barat senantiasa menyimpan rasa takut pada dien yang satu ini.

Karena, dalam keyakinan mereka, Islam ini adalah agama (dien) yang menyimpan potensi dahsyat, mampu menggerakkan umatnya untuk melawan apa saja. Ini tidak pernah ada pada ajaran agama lain. Apalagi, kemajuan teknologi persenjataan modern tidak terlalu ampuh untuk menaklukkan umat Islam. Hal ini dipahami betul oleh kalangan Barat. Oleh karena itu, mereka benar-benar mewaspadai Islam, khususnya umat Islam yang tampak berpegang pada ajarannya. Dengan adanya JIL, para Orientalis dan Missionaris tidak terlalu sibuk lagi mempengaruhi pemikiran generasi Islam. Karena tugas ini sudah diemban oleh generasi itu sendiri.

Temuan ini didukung oleh realitas perkembangan JIL sendiri, karena dana yang dapatkan untuk tugas ini bersumber dari beberapa LSM Barat. Salah satunya ialah Asian Foundation, salah satu LSM Amerika yang bergerak dalam bidang demokrasi, sekularisasi, dan pluralisme agama. Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL terus terang mengakui bahwa setiap tahun mereka mendapatkan sekitar Rp 1,4 milyar dari Asian Foundation. Belum lagi dana dari LSM lainnya seperti TAF, Ulil menyebutkan dana yang paling besar bersumber dari TAF, dengan tanpa menyebutkan angka pasti.
Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo yang merupakan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, secara lantang mengatakan bahwa: “Yang dilakukan JIL saat ini adalah menjual Islam demi memburu dolar”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa JIL adalah kelompok anak-anak muda yang menjual Islam kepada Orientalis demi kepentingan materi. Dan mereka merupakan corong Orientalis untuk mengkampanyekan kehancuran Islam.

Kedua, JIL merupakan kader-kader didikan Barat, atau didikan dari mereka yang menjadi kader Barat. Maka gagasan mereka tidak akan pernah terlepas dari paradigma Barat dalam memandang Islam. Ini terbukti dengan melihat kepada latar belakang pendidikan para tokoh-tokoh JIL. mulai dari Nucholis Madjid, Harun Nasution, sampai tokoh-tokoh muda sekarang semuanya orang-orang yang telah telah melalui proses cuci otak yang dilakukan Yahudi, Nasrani, dan Orientalis yang menjadi guru mereka.

Barat sudah lama membaca mentalitas orang-orang Timur yang terkagum-kagum pada Barat. Belajar ke Barat melahirkan kebanggaan tersendiri dalam kejiwaan orang-orang Timur. Hal ini dimanfaatkan orientalis dengan berkedok ilmiah dan penelitian. Sehingga, dengan mudah mereka mendoktrin peneliti-peneliti muda yang belajar di universitas-universitas mereka dengan paham dan ideologi mereka. Mahasiswa yang tadinya masih memiliki keteguhan dan kebanggaan pada Islam digoyahkan keyakinannya, dibuat menjadi ragu, dan akhirnya menisbikan segala ideologi. Prinsip-prinsip yang mereka tanamkan biasanya berkedok penelitian dan kejujuran ilmiah.

Pengetahuan para tokoh JIL tentang Al-Qur’an, Hadits, serta kitab-kitab klasik, dominannya pada kulit luar saja. Tetapi mau mengarungi samudera yang luas itu. Akhirnya, mereka lah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan. Maka, terjadilah seperti apa yang kita lihat sekarang ini, suara-suara bebas yang sudah tidak lagi mengenal rambu-rambu itu menyerang Islam. Inilah akibat dari mempelajari Islam dari orang-orang kaafir.

Ketiga, JIL merupakan kelompok yang sangat minim pengetahuannya tentang seluk-beluk Islam dan sumbernya, tetapi mereka berlagak seperti orang yang telah mencapi tingkat mujtahid. Ini terlihat dari kerangka berpikir metodologis yang mereka gunakan. Dalam mengemukakan berbagai gagasan kontroversialnya, JIL tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu.

Akibatnya antara ucapan mereka sebelumnya sering kontradiksi dengan apa yang mereka kemukakan sesudahnya. Dan mereka sering terlihat tidak mengerti terhadap apa yang mereka kemukakan. Sebagi contoh, JIL juga mengumandangkan kebebasan dengan slogannya yang rancu, “Menuju Islam yang Membebaskan.” Apa yang mereka maksud dengan kebebasan di sini dan membebaskan dari apa juga tidak jelas. Karena mereka hanya mau bebas sendiri dan tidak memberi kebebasan kepada kelompok lain. Mereka membebaskan orang Kristen menyebarkan agamanya dengan cara-cara yang licik, bahkan tidak jarang memaksakan agamanya kepada orang lain yang sudah beragama. Mereka sama sekali tidak pernah peduli dengan maraknya Kristenisasi di mana-mana yang sangat meresahkan umat Islam.

Sementara ketika ada sekelompok umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara kaffah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, justru mereka gerah. JIL merasa kepanasan terhadap orang Islam yang dianggap ‘bertingkah.’ Lalu, mereka pun tidak memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk mengekspresikan keislamannya, baik dalam sikap maupun pemikiran. Dan kemudian, JIL memvonis orang-orang Islam seperti ini sebagai fundamentalis, militan, radikal, garis keras, dan sebagainya. Oleh karena itu, fatwa murtad dan sesat-menyesatkan yang ditetapkan kepada tokoh-tokoh JIL, rasanya sangat pantas dan tidak berlebihan.
Dinukil dari:
http://al-aziziyah.com/ruang-dosen/87-ruang-dosen/160-siapa-jil.html

II. PARA TOKOH JARINGAN ISLAM LIBERAL

Inilah daftar 50 TOKOH JIL INDONESIA :

A. Para Pelopor
1. Abdul Mukti Ali
2. Abdurrahman Wahid
3. Ahmad Wahib
4. Djohan Effendi
5. Harun Nasution
6. M. Dawam Raharjo
7. Munawir Sjadzali
8. Nurcholish Madjid

B. Para Senior
9. Abdul Munir Mulkhan
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif
11. Alwi Abdurrahman Shihab
12. Azyumardi Azra
13. Goenawan Mohammad
14. Jalaluddin Rahmat
15. Kautsar Azhari Noer
16. Komaruddin Hidayat
17. M. Amin Abdullah
18. M. Syafi’i Anwar
19. Masdar F. Mas’udi
20. Moeslim Abdurrahman
21. Nasaruddin Umar
22. Said Aqiel Siradj
23. Zainun Kamal

C. Para Penerus “Perjuangan”
24. Abd A’la
25. Abdul Moqsith Ghazali
26. Ahmad Fuad Fanani
27. Ahmad Gaus AF
28. Ahmad Sahal
29. Bahtiar Effendy
30. Budhy Munawar-Rahman
31. Denny JA
32. Fathimah Usman
33. Hamid Basyaib
34. Husein Muhammad
35. Ihsan Ali Fauzi
36. M. Jadul Maula
37. M. Luthfie Assyaukanie
38. Muhammad Ali
39. Mun’im A. Sirry
40. Nong Darol Mahmada
41. Rizal Malarangeng
42. Saiful Mujani
43. Siti Musdah Mulia
44. Sukidi
45. Sumanto al-Qurthuby
46. Syamsu Rizal Panggabean
47. Taufik Adnan Amal
48. Ulil Abshar-Abdalla
49. Zuhairi Misrawi
50. Zuly Qodir

Dari buku : “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme”.
Penulis : Budi Handrianto
Penerbit : Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar).

Sumber: http://forum.detik.com/daftar-50-tokoh-jil-indonesia-t42703.html
http://ustadzrofii.wordpress.com