Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama ISLAM. [QS: Ali 'Imran:102] Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya JALAN MENUJU SYURGA. [HR Al-Bukhari & Muslim]
Monday, July 26, 2010
Peranan Ilmu Dalam Kehidupan
Al Ustadz Zuhair bin Syarif
Bumi tanpa cahaya matahari akan hampa dan kehidupan akan binasa. Begitulah ibarat hati manusia, tanpa cahaya ilmu hati akan sakit dan mati. Di dalam hati seorang yang sakit, terdapat dua kecintaan dan dua penyeru. Kecintaan terhadap syahwat-syahwat, mengutamakannya dan semangat untuk melampiaskannya. Terdapat hasad, sombong, bangga diri, suka popularitas dan suka membuat kerusakan di muka bumi dengan kekuasaannya.
Dia akan diuji di antara dua penyeru kepada Allah dan Rosul-Nya serta negeri akhirat dan penyeru kepada kenikmatan dunia yang fana. Maka dia akan menjawab seruan itu mana yang paling dekat dengannya.
Seorang yang hatinya mati, dia tidak tahu tentang Rabb-nya, tidak menyembah-Nya, tidak mencintai apa yang dicintai-Nya dan tidak mencari Ridho-Nya. Tetapi dia hanya menuruti ambisi syahwat walaupun di sana akan mendatangkan kemarahan Rabb-Nya. Dia tidak peduli apakah Rabb-Nya ridho atau murka yang penting dia telah melampiaskan syahwat dan keinginannya. Rasa cinta, takut, pengharapan, keridhoan, kemarahan, pengagungan, dan kerendahan dirinya diperuntukkan kepada selain Allah. Jika cinta, benci, memberi dan tidak memberi karena hawa nafsunya. Hawa nafsunyalah yang paling dia utamakan dan paling dia cintai dibanding keridhoan maulanya (Allah Ta’ala). Maka jadilah hawa nafsu sebagai pimpinannya, syahwat sebagai penuntunnya, kebodohan sebagai pengemudinya dan lalai sebagai kendaraannya.
Sebagai hati yang disinari oleh cahaya ilmu dan disirami sejuknya ilmu, penyakit-penyakit yang berkarat di dalam hati akan terkikis dan sirna, jadilah hati tersebut bersih, sehat dan selamat.
Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang selalu menyelisihi perintah dan larangan Allah, selamat dari setiap syubhat (bid’ah) yang merancukan wawasannya, selamat dari kesyirikan dan selamat dari berhukum kepada selain Rosul-Nya. Dia selalu mengutamakan keridhoan-keridhoan Rabb-Nya dengan segala cara. Rasa cinta, tawakal, taubat, takut, pengharapan dan amalannya ikhlas hanya untuk Allah. Jika dia cinta, memberi dan tidak semuanya karena Allah Ta’ala. Seorang yang mempunyai hati inilah yang selamat pada hari kiamat.
Allah berfirman (yang artinya): “Pada hari yang tidak bermanfaat harta tidak pula anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat” (Q.S Asy-Syu’ara : 88 – 89). (lihat Kitab Mawaridul Aman Al-Muntaqo min Ighotsatil Lahafan fi Mashoyidis Syaithon karya Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dengan tulisan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Hal 33 – 37).
Demikian keadaan hati yang tidak disinari dan hati yang selalu disinari dan disirami cahaya ilmu. Jelaslah bahwa ilmu itu sebagai obat penyakit yang ada pada dada manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepada kalian, pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S. Yunus : 57).
“Maka Mauidzah (pelajaran/ilmu) sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Sesungguhnya kebodohan itu adalah penyakit, obatnya adalah bimibingan’. Demikian penafsiran al Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Rahimahullah (lihat Kitab Mawarid hal 45).
Dengan ini wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan, budak maupun orang merdeka untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya), “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam Al-Mizzy).
Kemudian apa sebetulnya yang dimaksud dengan ilmu yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits tentang keutamaan dan kedudukan orang yang mengilmuinya ? Al Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani rahimahullah menafsirkan ayat yang dibawaka oleh Al-Imam Bukhori dalam shohihnya “Bab Keutamaan Ilmu” : “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS Thoha : 114)
Beliau (Ibnu Hajar) berkata: “Ini dalil yang sangat jelas tentang keutamaan ilmu, karena Allah tidak pernah menyuruh Nabi-Nya Shalallahu’alaihi wasallam untuk meminta tambahan kecuali tambahan ilmu. Maksud ilmu tersebut adalah ilmu syar’I, yang berfaedah memberi pengetahuan apa yang wajib atas setiap mukallaf (muslim dan muslimah yang baligh) tentang perkara agama,ibadah dan muamalahnya. Ilmu mempelajari tentang Allah dan sifat-sifatnya dan apa yang wajib dia lakukan dari perintah-Nya serta mensucikannya dari sifat-sifatnya dan apa yang tercela. Poros dari semua itu adalah ilmu tafsir, ilmu Hadits dan ilmu Fiqh” (lihat Kitab Fathul Baari Syarah Shohih Bukhari 1/40).
Maka ilmu yang wajib kita pelajari adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah, Rasul-Nya, Agama-Nya dengan dalil-dalil (lihat kitab Al-Ushuluts Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahab bin Sulaiman Bin Ali At-Tamimi Rahimahullah hal 1-3).
Belajar ilmu yang dimaksud di atas, harus bersumber dari Al-Quran dan Hadits sesuai dengan pemahaman Salaf (para Sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Sebagian Ahlul ilmu (para ulama) sepakat : “ilmu adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya serta perkataan para sahabat tiada keraguan padanya”(lihat Bahjatunnadlirin syarah Riyadlusshalihin karya Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali Juz 2 Hal 462).
Al-Imam Al-Auza’I berkata “Ilmu adalah apa yang datang dari sahabat-sahabat Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam dan sesuatu yang tidak datang dari mereka, maka itu bukan ilmu.”(dikeluarkan oleh Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-Jaami’ 2/29)
Al-Imam Abu Muhammad Al-Barbahari rahimahullah menyatakan, "Bahwa al-haq (kebenaran) adalah apa yang datang dari sisi Allah Azza wa Jalla, as-sunnah : sunnah (hadits) Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam dan Al-Jama’ah : kesepakatan (ijma’) para sahabat-sahabat shalallahu’alaihi wasallam pada khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman." (Syarhus Sunnah hal 105 No. 105).
Kesimpulan
Tuntutlah ilmu, maka sesungguhnya ilmu sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Bersemangatlah, carilah dari ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpedoman kepada Al-Quran dan Al-Hadits dengan pemahaman salaf (para sahabat Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik). Dan hati-hatilah dari ahlul bid’ah yang memakai ro’yu (pikiran), qiyas (yang bathil), perasaan dan ta’wil dalam memahami/menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits (lihat Syarhus Sunnah dan muqodimah kitab shohih muslim). Sebagaimana himbauan seorang ulama dari kalangan Tabi’in Muhammad bin Sirrin rahimahullah : "Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian."(diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqodimah Kitab Shohihnya 1/14). Wallahu Ta’ala A’lam.
Sumber: buletin dakwah Al-Jihad edisi 5 Juli 2002
http://jogjamuslim.blogspot.com/2007/11/peran-ilmu-dalam-kehidupan.html
Tuesday, July 20, 2010
Menumbuhkan Semangat Menuntut Ilmu Pada Muslimah
Sesungguhnya, dalam menjalani berbagai perannya, peran wanita dapat dipetakan menjadi tiga peran penting yaitu sebagai sebagai pribadi muslimah, sebagai istri, dan sebagai ibu. Pada masing-masing peran, dibutuhkan ilmu yang dapat menjaganya dari berbagai bentuk penyimpangan. Berikut penjelasan ketiga hal tersebut:
1. Sebagai pribadi muslimah
Seorang muslimah akan selalu terikat dengan berbagai aturan agama yang menyangkut dirinya sebagai seorang yang beragama Islam seperti kewajiban untuk merealisasikan rukun iman dan rukun Islam serta aturan lain yang merupakan konsekuensi dari kedua hal tersebut ataupun kewajiban yang terkait dengan kedudukannya sebagai seorang wanita seperti larangan dan kewajiban pada masa haid, kewajiban menutup aurot, dan sebagainya. Seluruh hal tersebut memerlukan ilmu sehingga kewajiban menuntut ilmu juga dibebankan kepda kaum wanita sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi seorang muslim.” (Hadits shahih riwayat Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu )
Al Hafizh Al Sahawi rahimahullah berkata, “Sebagian penulis menambahkan kata-kata muslimatin pada akhir hadits. Kata-kata ini tidak pernah disebutkan satu kali pun dalam berbagai sanad hadits tersebut, sekalipun secara makna memang benar.”
Bertolak dari hal ini Ibnu Hazm rahimahullah berkomentar, “Menjadi kewajiban bagi wanita untuk pergi dalam rangka mendalami ilmu agama sebagaimana hal ini menjadi kewajiban bagi kaum laki-laki. Setiap wanita diwajibkan untuk mengetahui ketentuan-ketentuan agama berkenaan dengan permasalahan bersuci, shalat, puasa dan makanan, minuman, serta pakaian yang dihalalkan dan yang diharamkan sebagaimana kaum laki-laki, tanpa ada perbedaan sedikitpun di antara keduanya. Mereka juga harus mempelajari berbagai tutur kata dan sikap yang benar baik dengan belajar sendiri maupun dengan diperkenankan untuk bertemu seseorang yang dapat mengajarinya. Menjadi kewajiban para penguasa untuk mengharuskan rakyatnya agar menjalankan kewajiban ini”. (Al Ihkam fii Ushulil Ahkam 1/413 dalam Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 7).
Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Sering aku menganjurkan kepada manusia agar mereka menuntut ilmu syar’i karena ilmu laksana cahaya yang menyinari. Menurutku kaum wanita lebih dianjurkan dibanding kaum laki-laki karena jauhnya mereka dari ilmu agama dan hawa nafsu begitu mengakar dalam diri mereka. Kita lihat seorang putri yang tumbuh besar tidak mengerti cara bersuci dari haid, tidak bisa membaca Al Qur’an dengan baik dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau kewajiban istri terhadap suami. Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya, menipu suami dengan anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta musibah-musibah lainnya.” (Ahkamun Nisa’ hlm. 6 dalam Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII).
2. Sebagai istri
Seorang istri memiliki kewajiban untuk menaati suaminya dalam hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan terhadap Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى المْعْرُوْفِ
“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada
Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka tidaklah seorang istri dapat mengetahui apakah suatu urusan merupakan kemaksiatan atau bukan kecuali dengan ilmu syar’i.
Selain itu, di akhir zaman ini, ketika keburukan banyak bertebaran di muka bumi yang membuat banyak orang hanyut dalam lumpur dosa, maka seorang istri yang sholihah harus membekali dengan ilmu syar’i agar dapat menjaga keistiqomahan dirinya dan suaminya serta keluarganya. Dengan nasihat yang baik dan kelemahlembutan yang dimiliki seorang wanita, seorang suami akan mampu menemukan ketenangan dan kekuatan yang akan menjaga dirinya dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan dosa misalnya berbuat syirik dan bid’ah, berzina, mencari nafkah yang haram, mengambil riba, dan perkara-perkara maksiat lainnya. Karena agama adalah nasihat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الـدِيْـنُ النَصِيْحَةُ
“Agama adalah nasiha.t” (HR. Muslim)
Nasihat akan lebih dapat diterima oleh hati manusia jika diiringi dengan sikap lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka memberi perintah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan saudaranya (Harun) ketika berdakwah kepada Fir’aun,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى٭ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى٭
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Qs. Thaahaa : 43-44)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
يَا عَائِشَة إِنَّ الرِّفْقَ مَا كَانَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَنُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Wahai ‘Aisyah, tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan memburukkannya.”
3. Sebagai ibu
Sebuah syair Arab mengungkapkan hal berikut,
الأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ
“Seorang ibu tak ubahnya bagai sekolah. Bila kita mempersiapkan sekolah itu secara baik, berarti kita telah mempersiapkan suatu bangsa dengan generasi emas.”
Beban perbaikan dan pembentukan masyarakat yang Islami juga menjadi tanggung jawab wanita. Hal ini dikarenakan jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki dan seorang anak tumbuh dari bimbingan seorang wanita. Maka, tidak bisa tidak seorang wanita harus membekali dirinya dengan ilmu syar’i khususnya mengenai pendidikan anak karena pendidikan anak menjadi tugas utama yang dibebankan kepada kaum wanita.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang wanita membaguskan pendidikan anak-anaknya karena anak-anaknya adalah generasi penerus di masa yang akan datang. Dan yang mereka contoh pertama kali adalah para ibu. Jika seorang ibu mempunyai akhlak, ibadah, dan pergaulan yang bagus, mereka akan tumbuh terdidik di tangan seorang ibu yang bagus. Anak-anaknya ini akan mempunyai pengaruh positif dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajib bagi para wanita yang mempunyai anak untuk memperhatikan anak-anaknya, bersungguh-sungguh dalam mendidik mereka, memohon pertolongan jika suatu saat tidak mampu memperbaiki anaknya baik lewat bantuan bapak atau jika tidak ada bapaknya lewat bantuan saudara-saudaranya atau pamannya dan sebagainya”. (Daurul Mar’ah fi Ishlah Al Mujtama’ hlm. 25-26 dalam Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII)
Seorang ibu yang cerdas dan shalihah tentu saja akan melahirkan keturunan yang cerdas dan sholih pula, bi idzinillah. Lihatlah hal itu dalam diri seorang shahabiyah yang mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang merupakan pembantu setia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai perangainya di kemudian hari. (Ibunda Para Ulama, hlm.25)
Dengan kecerdasannya, ia ‘hanya’ meminta sebuah mahar yang ringan diucapkan namun terasa berat konsekuensinya, yaitu keislaman Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu yang meminangnya saat itu. Dengan kesabarannya pula, ia mampu menyimpan rapat-rapat kesedihannya karena kematian putranya demi menenangkan suaminya.
Potret Semangat Para Salafush Shalih dalam Menuntut Ilmu
Demikian pentingnya peran para wanita. Dalam setiap lini kehidupannya, pasti membutuhkan ilmu syar’i. Hal ini pula yang dimengerti betul oleh para shahabiyah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka meminta waktu khusus pada beliau untuk mengkaji masalah-masalah agama.
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ada seorang wanita menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah memborong waktumu. Oleh karenanya peruntukkanlah untuk kami sebuah waktu khusus yang engkau tetapkan sendiri. Pada waktu itu kami akan mendatangimu lalu engkau ajarkan kepada kami ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini di tempat ini.” Kaum wanita pun berkumpul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mendatangi mereka dan mengajari mereka ilmu yang telah Allah ajarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semangat kaum wanita muslimah dalam mencari ilmu telah mencapai puncaknya hingga mereka menuntut adanya majelis ilmu yang khusus diperuntukkan untuk mengajari mereka. Padahal sebenarnya mereka telah mendengarkan kajian Rasulullah di masjid serta nasihat-nasihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga keadaan para wanita Anshar pada masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita dari kaum Anshar. Rasa malu tidak menghalangi diri mereka untuk mendalami ilmu agama.” (HR. Muslim)
Kita jumpai pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan kaum wanita untuk menghadiri berbagai majelis ilmu guna menambah bekal keilmuan mereka.
Dari Ummu ‘Athiyah al Anshariyyah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk menghadiri sholat hari raya ‘Idul Fithri dan hari raya ‘Idul Adha, baik awatiq (gadis yang sudah baligh atau hampir baligh), maupun wanita-wanita yang sedang haid dan juga gadis-gadis pingitan. Adapun wanita yang sedang haid, mereka hendaknya tidak berada di tempat shalat. Saat itu mereka menyaksikan kebaikan dan doa yang dipanjatkan oleh kaum muslimin. Ummu Athiyah berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya muslimah yang lain meminjami jilbab untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim) (Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 8-10)
Sejarah telah mencatat, ulama tidak hanya berasal dari kalangan laki-laki saja. Ada banyak ulama wanita yang masyhur dan bahkan menjadi rujukan bagi ulama dari kalangan laki-laki. Lihat saja ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, wanita cerdas yang namanya akan terus dibaca oleh kaum muslimin dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah pula yang merupakan sebaik-baik teladan para wanita dalam menuntut ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum. Az Zuhri mengatakan, “Andai ilmu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu dikumpulkan lalu dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu yang dimiliki oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu lebih unggul”. (Al Haitsami berkata dalam al Majma’ (9/243), “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani sedangkan rawi-rawinya adalah orang yang bisa dipercaya.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Hakim 4/139. Lihat: Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 20)
Begitu juga dengan masa setelah para shahabat (yaitu masa tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya). Setiap zaman selalu menorehkan tinta emas nama-nama para ulama wanita hingga masa sekarang ini. Di antara mereka, adalah putri-putri ulama besar di jamannya. Sebut saja putri Sa’id bin Musayyib (tabi’in), putri Imam Malik, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hadi, dan lainnya.
Apakah ilmu yang mereka dapatkan itu merupakan ilmu warisan dari ayah-ayah mereka yang seorang ulama? Jawabannya, tentu tidak. Ilmu bukanlah harta benda yang dapat diwariskan begitu saja.
Alangkah bagusnya apa yang diceritakan oleh Al Farwi, “Kami pernah duduk di majelis Imam Malik. Pada saat itu putra beliau keluar masuk majelis dan tidak mau duduk untuk belajar. Maka Imam Malik menghadap kami seraya berkata, “Masih ada yang meringankan bebanku yaitu bahwa masalah ilmu ini tidak bisa diwariskan.” (Majalah al Furqon edisi 12 tahun VI)
Tentu saja ilmu yang mereka dapatkan tidak datang begitu saja. Ada usaha dan pengorbanan yang besar untuk meraihnya. Mari kita simak kegigihan para salaf dahulu dalam menuntut ilmu.
Hasan Al Bashri berkata, “Apabila engkau mendapati seseorang yang mengalahkanmu dalam urusan dunia, maka kalahkanlah dia dalam urusan akhirat.”
Imam Ahmad berwasiat kepada putranya, “Aku telah menginfakkan diriku untuk perjuangan”. Ketika Imam Ahmad ditanya kapan seseorang dapat beristirahat? Maka beliau menjawab, “Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di surga.”
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka pun menjadi terhormat dan menjadi para imam panutan. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu yang pada mulanya bukan karena Allah dan berhasil memperolehnya. Namun kembali kepada jalan yang lurus dan mengintrospeksi dirinya sendiri dan akhirnya ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana dinyatakan oleh Mujahid dan lainnya, “Dahulu kami menuntut ilmu tanpa niat yang tinggi. Namun, kemudian Allah menganugerahi niat tersebut sesudah itu.” Sebagian ulama menyatakan, “Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah. Namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah”. (Panduan Akhlak Salaf , hlm. 7)
Para salaf yang lain juga benar-benar bersemangat memperhatikan permasalahan niat ini. Sufyan Ats Tsauri berkata, “Saya tidak pernah mengobati sesuatu melebihi terapiku terhadap niat.”
Tidak hanya hati saja yang mereka jaga kesungguhan dan ketulusannya ketika menuntut ilmu, tubuh mereka pun ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi raga yang kuat menghadapi rintangan dalam perjalanan menuntut ilmunya. Perhatikanlah kisah Hajjaj bin Sya’ir ini, “Ibuku pernah menyiapkan untukku seratus roti kering dan aku menaruhnya di dalam tas. Beliau mengutusku ke Syubbanih (salah seorang ahli hadits) di Madain. Aku tinggal di sana selama seratus hari. Setiap hari aku membawa seratus roti dan mencelupkannya ke sungai Dajlah kemudian aku memakannya. Setelah roti habis aku kembali ke ibuku.” (102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, hlm. 274).
Penutup
Mungkin saja kita tidak bisa setara dengan para salafush sholih dalam semangat mereka menuntut ilmu. Akan tetapi, segala upaya harus kita kerahkan agar semangat menuntut ilmu itu selalu terhujam kuat di dalam hati kita.
Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Qs. At Taghaabun : 16)
Maka tidak ada lagi alasan “Saya cuma ibu rumah tangga” atau “Saya sudah jadi seorang istri” atau “Saya tinggal di tempat yang jauh dari majelis ilmu” untuk menghindari kewajiban menuntut ilmu. Dengan berkembangnya teknologi di masa sekarang ini –misalnya internet, radio, rekaman kajian (kaset, CD, VCD, DVD), buku-buku Islam, dan majalah Islami- cukup memudahkan kita para wanita untuk tetap dapat menuntut ilmu tanpa harus datang dan duduk langsung dalam sebuah majelis ilmu jika keadaan memang tidak memungkinkan.
Semoga dengan sedikit pemaparan di atas, semangat para wanita untuk menuntut ilmu dapat tumbuh subur, sehingga dengan ijin Allah Ta’ala kita dapat songsong kembali kejayaan umat Islam di atas manhaj salafush sholih.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Penulis: Ummu Nabiilah Siwi Nur Danayanti
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Referensi:
Abdul Azis bin Nashir Al Jalil, Panduan Akhlaq Salaf (Terjemahan dari Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf), At Tibyan, Solo.
Abu Anisah bin Luqman al Atsari, Tugas Mulia Seorang Ibu, Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII.
Abu Maryam Fathi Sayyid, Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah (Terjemahan dari Shafahat Musriqah min Sirah al ‘Alimat al Muslimat), Samodra Ilmu, Yogyakarta.
Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih Alu ‘Abdillah, 102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara (Terjemahan dari Kaifa Tatahammas fi Thalabil ‘Ilmi Syar’i Aktsar min 100 Thariqatan lit Tahammus li Thalabil ‘Ilmi Syar’i), Elba, Surabaya.
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi, 10 Faidah Seputar Dunia Wanita, Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII.
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Wanita-wanita Pengukir Sejarah Islamiah, Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VI.
Sufyan bin Fuad Baswedan, Ibunda Para Ulama, Wafa Press, Klaten.
***
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/menumbuhkan-semangat-menuntut-ilmu-pada-muslimah.html
Saturday, July 17, 2010
Mulia di Akhirat & Meraih Dunia dengan Ilmu
”Hidup bahagia,mati masuk syurga” yup,pasti setiap orang ingin seperti itu.Jadi apa yang dapat kita lakukan untuk mewujudkannya?
Allah Ta’ala telah mengajarkan sebuah doa dalam firmanNya:
”Wahai Rabb kami,berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat” (QS.Al-Baqarah : 201)
Al-Hasan rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata, ”Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah, dan kebaikan akhirat adalah Syurga ”Sedangkan Ibnu Wahb (wafat th.197 H) rahimahullah berkata, ”Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata ”Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah syurga”
Perhatikanlah bagaimana para ulama memegang ilmu sebagai sumber kebaikan di dunia,yang dengannya dapat diraih pula kebaikan di akhirat berupa syurga.Karena itu, hal utama yang harus kita lakukan untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan terus menerus mengejar ilmu dengan mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala.Ilmu yang dimaksud adlah ilmu yang bermanfaat.
Imam Ibnu Rajab (wafat th.795 H) rahimahullah mengatakan bahwa ”Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal :
Pertama,mengenal Allah Ta’ala dan segala apa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskaan adanya pengagungan, rasa takut,cinta,harap,dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan segala musibah yang Allah Ta’ala berikan.
Kedua, mengetahui segala apa yang dibenci dan dicintai Allah Azza wa Jalla dan menjauhi apa yang dibenci dan dimurkai olehNya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan bathin. Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan kedua hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat.
Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap dalam hati maka sungguh, hati itu akan tunduk dan meras patuh pada Allah Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit dari keuntungan dunia yang halal dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qanaah dan zuhud di dunia.”
Rasululah Salallahu Allaihi Wasallam mendoakan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau bersabda :
”Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadist dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun dia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih pada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang tidak dapat dipungkiri hati seorang muslim selama-lamanya: melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasehati ulul amri (penguasa) dan berpegang teguh pada jama’ah kaum muslimin,karena do’a mereka meliputi orang-orang yang berada dibelakang mereka.”
Beliau bersabda,
”Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya,menjadikan kekayaan di hatinya dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.” (Hadist Shahih diriwayatkan oleh Ahmad (V/183),ad-Darimi(I/75),Ibnu Hibban (no 72,73-Mawarid),Ibnu’Abdil Barr dalam Jaami’Bayaanil’Ilmi wa Fadhlihi(I/175-176,no.184),lafazh hadist ini milik Imam Ahmad dari Abdurrahman bin Aban bin ’Utsman radhiyallahu’anhum)
Jadi, ayo semangat menuntut ilmu..!! supaya bahagia dunia dan akhirat, insyaAllah. Jangan lupa ikhlaskan niat pada Allah Subhanahu Wata’ala.
Israil bin Yunus (wafat th.160 H) rahimahullah mengatakan,
”Barangsiapa menuntut ilmu karena Allah Ta’ala, maka ia mulia dan bahagia di dunia.Dan barangsiapa menuntut ilmu bukan karena Allah, maka ia merugi di dunia dan akhirat.”
Dan diantara doa yang Rasulullah ucapkan adalah : ”Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat,rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
Wallahu’alam bishowab
Disarikan dari buku: Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga, oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawaz
http://jilbab.or.id/archives/13-mulia-di-akhirat-meraih-dunia-dengan-ilmu/
Friday, July 16, 2010
Penghalang-Penghalang dalam Menuntut Ilmu
Ilmu adalah cahaya yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Tidak diragukan lagi kedudukan orang yang berilmu disisi Allah adalah lebih tinggi beberapa derajat. Hanya orang-orang yang berilmu & berakal lah manusia dapat memahami kebesaran Allah melalui penciptaan alam semesta beserta segala isinya.
Demikian mulia kedudukan orang yang berilmu sehingga Rasulullah meriwayatkan dalam sebuah hadist :
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu maka Allah mudahkan jalannya menuju syurga." Sesungguhnya malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar, tidak juga dirham, Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yangmengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telahmendapatkan bagian yang paling banyak.1
Siapa sih orang yang ga mau di doakan oleh malaikat dan makhluk-makhluk Allah yang ada di bumi?? Sungguh hal tersebut adalah suatu kemuliaan yang besar.
Seperti kata pepatah “No pain, no gain” (tidak ada yang akan kita dapatkan tanpa pengorbanan), maka untuk mencapai kemuliaan yang bernama ilmu itu pasti ada tantangan yang harus kita hadapi..
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat menghalangi sampainya kemuliaan ilmu kepada seseorang :
1.Niat yang rusak
Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu rusak maka rusaklah seluruh amalannya. Sebagaimana sabda Rasulullah “Amal itu tergantug niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan…”2)
Imam Malik bin Dinar (wafat th.130 H) rahimahullah mengatakan,”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.”
2. Ingin Terkenal dan Ingin Tampil
Coba kita ingat mungkin terkadang saat kita belajar terbersit di hati kita “Supaya jadi rangking 1 atau jadi juara umum dan dikenal orang?? Ya, ingin terkenal dan ingin tampil adalah penyakit kronik. Tidak seorang pun yang bisa selamat darinya kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Hal itu lebih dikeal dengan sebutan riya. Rasulullah sangat mengkhawatirkan adanya penykit ini pada umatnya. Karena seringkali penyakit itu halus hingga muncul tanpa kita sadari, hingga Rasulullah mengibaratkan bahwa penyakit riya itu seperti semut hitam, di batu hitam pada malam yang gelap. Nah lho, bayangin hampir ga keliatan khan?? So, be careful…
Rasulullah bersabda,”….sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah kesyirikan dan syahwat tersembunyi.”3
Mahmud bin Ar-Rabi berkata : “syahwat yang tersembunyi maksudnya adalah seseorang ingin / senang apabila kebaikannya dipuji oleh orang lain. Hendaknya kita behati-hati terhadap penyakit ini, karena Allah memperingatkan dalam sebuah hadist yang diampaikan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi Wassallam :
“Barangsiapa yang menyiarkan amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya. Dan banrangsiapa yang beramal karena riya maka Allah akan membuka niatnya di hadapan manusia pada hari kiamat.”4 Naudzubillahi mindzalik.
3. Lalai Menghadiri Majelis Ilmu
Jika kita tidak memanfaatkan majelis ilmu yang dibentuk dan pelajaran yang disampaikan, niscaya kita akan gigit jari sepenuh penyesalan. Kalau kebaikan yang ada di majelis ilmu hanya berupa ketenangan dan rahmat Allah yang meliputi mereka, maka dua alasan itu saja seharusnya sudah cukup sebagai pendorong untuk menghadirinya. Apalagi jika seseorang mengetahui bahwa orang yang menghadiri majelis ilmu –insyaAllah- mendapatkan dua keberuntungan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ganjaran pahala di akhirat??!
4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan
Alasan ini seringkali dijadikan syaitan sebagai alasan menjadi penghalang dalam menuntut ilmu. Coba dihitung, Allah memberikan kita 24 jam, 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk istirahat, masih sisa 8 jam lagi… apa yang selama ini telah kita lakukan untuk memanfaatkan sisa waktu itu???
5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil.
Allah Ta’ala berfirman : ”Dan beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya kematian.” (QS.Al-Hijr : 99)
Karena itu, mari kita semua para remaja, maupun orang tua, laki-laki maupun wanita, kita bertaubat pada Allah Ta’ala atas apa yang telah luput dan berlalu. Sekarang, kita mulai menuntut ilmu, menghadiri majelis ta’lim, belajar dengan benar dan sungguh-sungguh dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya sebelum ajal tiba.
Ketika ditanya pada Imam Ahmad, ”Sampai kapankah seseorang harus menuntut ilmu?” Beliau pun menjawab ”sampai meninggal dunia.”
6. Bosan dalam menuntut ilmu
Diantara penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan dan beralasan dengan berkonsentrasi mengikuti peristiwa yang sedang terjadi. Ilmu yang kita cari seharusnya mendorong kita untuk mengetahui keadaan kita sendiri. Kita tidak akan bisa mengatasi berbagai masalah dan musibah yang menimpa kecuali dengan meletakkannya pada timbangan syariat. Seorang penyair mengatakan : ” Syariat adalah timbangan semua permasalahan dan saksi ata akar masalah dan pokoknya”5
Bosan itu adalah penyakit. Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan ada obatnya. Tidaklah musibah terjadi melainkan ada penyelesaiannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, kita harus melawan rasa bosan yang terkadang timbul saat kita belajar. Belajarlah sampai Anda mendapatkan nikmatnya ilmu.
7. Menilai Baik Diri Sendiri
Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar oranglain memujinya.
Allah TA’ala berfirman : ”Maka janganlah kamu merasa dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm : 32)
8. Tidak Mengamalkan Ilmu
Tidak Mengamalkan Ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya keberkahan ilmu. Allah Ta’ala benar-benar mencela orang yang melakukan ini dalam firmanNya : ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS.Ash-Shaff : 3)
9. Putus Asa dan Rendah Diri
Allah berfirman : “Dan Allah mengeluarkankamu dari perut ibumu dlam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan danhati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl : 78)
Putus Asa dan Rendah Diri adalah salah satu penghalang ilmu. Semua manusia dicptakan dalam keadaan sama yang tidak mengetahui sesuatupun. Jangan merasa rendah diri dengan lemahnya kemampuan menghapal, lambat membaca atau cepat lupa.
Selain itu menjauhi maksiat adalah sebab paling utama dalam menguatkan hapalan dan memperoleh ilmu.
10. Terbiasa Menunda-Nunda
Yusuf bin Asbath rahimahullah mengatakan : ”Muhammad bin samurah pernah menulis surat kepadaku sebagai berikut : ” Wahai saudaraku janganlah sifat menunda-nunda menguasai jiwamu dan tertanam di hatimu karena ia membuat lesu an merusak hati. Ia memendekkan umur kita, sedangkan ajal segera tiba… Bangkitlah dari tidurmu dan sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah engkau kerjakan, engkau sepelekan, engkau sia-siakan, engkau hasilkan dan apa yang telah engkau lakukan. Sungguh semua itu akan dicatat dan dihisab sehingga seolah-olah engkau terkejut dengannya dan engkau sadar dengan apa yang telah engkau lakukan, atau menyesali apa yang telah engkau sia-siakan.”6
11. Belajar kepada Ahlul Bid’ah
Seorang penuntut ilmu tidak boleh belajar pada ahlul bid’ah karena ahlul bid’ah merasa ridha terhadap sesuatu yang menyelisishi agama Allah, seolah-olah ia mengatakan bahwa Allah Ta’ala belum menyempurnakan agama ini dan Rasulullah belum menyampaikan seluruh risalah.
12. Tergesa-gesa ingin memetik buah ilmu.
Seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa dalam usahanya memperoleh ilmu, karena belajar adalah proses seumur hidup. Terutama yang berkaitan dalam masalah agama tidak cukup dilakukan dalam waktu satu atau dua tahun belajar.
Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah mengatakan,”Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan”
Imam Ibnu Madini rahimahullah mengatakan,”Dikatakan kepada Imam As-Sya’bi ’Darimana Anda peroleh semua ilmu ini?’ Beliau menjawab,’Dengan tidak bergantung pada manusia, menjelajahi berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, dan berpagi-pagi mencarinya seperti pagi-paginya burung gagak.”
Disarikan dari : Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas (Pustaka At-Takwa : 1428 H)
Catatan Kaki:
1.Hadist Shahih, diriwayatkan oleh ahmad, abu Dawud, attirmidzi, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban [↩]
2.hadist shahih riwayat Al-Bukhari [↩]
3.hadist shahih riwayat Thabrani [↩]
4.HR.Bukhari-shahih [↩]
5.Ishlaahul Masaajid minal Bida’ wal Awaa’id hal.110, karya al-Allamah Muhammad bin Jamaluddin al-Qasimi rahimahullah [↩]
6.dari Iqtida al-Ilmi al’amal [↩]
http://jilbab.or.id/archives/16-penghalang-penghalang-dalam-menuntut-ilmu/
Wednesday, July 14, 2010
Ilmu dan Keutamaannya
Kebodohan adalah salah satu sebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan dan kefasikan, bahkan ke dalam kemusyrikan atau kekafiran.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kebaikan anak Adam adalah dengan iman dan amal shalih, dan tidaklah mengeluarkan mereka dari kebaikan, kecuali dua perkara:
Pertama: Kebodohan, kebalikan dari ilmu, sehingga orang-orangnya akan menjadi sesat.
Kedua: Mengikuti hawa-nafsu dan syahwat, yang keduanya ada di dalam jiwa. Sehingga orang-orang akan mengikuti hawa-nafsu dan dimurkai (oleh Allah)”. (Majmu’ Fatawa 15/242)
Demikian juga orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan kebodohan, maka sesungguhnya mereka lebih banyak merusak daripada membangun! Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salafush Shalih:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِجَهْلٍ , أَفْسَدَ أَكْثَرَ مِماَّ يُصْلِحُ
Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kebodohan, dia telah membuat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan. (Majmu’ Fatawa 25/281)
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Oleh karena bahaya penyakit kebodohan yang begitu besar, maka agama memberikan resep obat untuk menghilangkan penyakit tersebut. Yaitu mewajibkan para pemeluknya untuk menuntut ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Shahih Ibni Majah]
Demikian juga Alloh Ta’ala memerintahkan kepada umat untuk bertanya kepada ulama mereka. Firman Alloh:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. 21:7)
YANG DIMAKSUD DENGAN ILMU
Yang dimaksudkan ilmu di sini adalah ilmu syar’i, ilmu yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, dan diwariskan kepada para ulama pewaris para Nabi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya –dengan hal itu- Allah jalankan dia di atas jalan di antara jalan-jalan sorga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi (pencari ilmu agama). Dan sesungguhnya seorang ‘alim itu dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Baramngsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dawud no:3641, dan ini lafazhnya; Tirmidzi no:3641; Ibnu Majah no: 223; Ahmad 4/196; Darimi no: 1/98. Dihasankan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin 2/470, hadits no: 1388]
Marilah kita perhatikan hadits yang agung ini. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keutamaan menuntut ilmu pada awal kalimat, dan keutamaan ‘alim (orang yang berilmu) pada pertengahan kalimat, lalu pada akhir kalimat beliau n menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang diwariskan para Nabi, yaitu ilmu agama yang haq!
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa ilmu yang diwariskan oleh para Nabi adalah ilmu syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, bukan lainnya. Sehinga para Nabi tidaklah mewariskan ilmu tekhnologi dan yang berkaitan dengannya kepada manusia.” [Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin]
Ini bukan berarti bahwa ilmu dunia itu terlarang atau tidak berfaedah. Bahkan ilmu dunia yang dibutuhkan oleh umat juga perlu dipelajari dengan niat yang baik.
Beliau juga berkata: “Yang kami maksudkan adalah ilmu syar’i, yaitu: ilmu yang yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, yang berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk. Maka ilmu yang mendapatkan pujian dan sanjungan hanyalah ilmu wahyu, ilmu yang diturunkan oleh Allah”. [Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
Semoga Allah mengelokkan wajah seseorang yang telah mendengar perkataanku, lalu dia menyampaikannya. Terkadang orang yang membawa fiqih (ilmu; pemahaman; hadits Nabi) bukanlah ahli fiqih. Terkadang orang yang membawa fiqih membawa kepada orang yang lebih fiqih (faham) darinya. [HR. Ibnu Majah no:230, dan ini lafazhnya; Ahmad 5/183; Abu Dawud no: 3660; dan lainnya]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: “Beliau n menamakan perkataan beliau dengan nama ilmu, bagi orang yang merenungkan dan memahaminya”. [Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi]
Oleh karena itulah wahai saudara-saudaraku yang tercinta, istilah ilmu tidaklah dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya kecuali terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau kesepakatan seluruh umat terhadap suatu perkara yang menghilangkan perselisihan, dan apa-apa yang dapat mendekatkan kepadanya. [Diambil dari perkataan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam kitab Bahjatun Nazhirin 2/461]
Inilah kewajiban kita, kaum muslimin, baik terpelajar atau awam. Kita wajib mengetahui dan memahami apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan apa-apa yang Dia larang.
KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU
Sesungguhnya keutamaan menuntut ilmu sangat banyak, di sini cukuplah kami sebutkan beberapa faedah dari hadits di atas yang telah kami sampaikan:
1.Allah memudahkan jalan ke sorga bagi orang yang menuntut ilmu.
2.Malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi.
3.Seorang ‘alim dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air.
4.Keutamaan seorang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada seluruh bintang-bintang.
5.Para ulama itu pewaris para Nabi.
Semoga Alloh memberikan semangat kepada kita semua untuk menuntut ilmu agama dan mengamalkannya, sehingga meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.
Penulis: Ustadz Muslim Atsari
http://ustadzmuslim.com/
Tuesday, July 13, 2010
Aku Takkan Lupakan Ilmu...
Oleh : Ustadz Rizal Yuliar Putrananda, Lc
Merupakan nikmat dan anugerah yang besar bagi seorang muslim dapat berjalan di atas kebenaran, mencari ridha Allah dan menggapai surgaNya kelak. Dalam perjalanan seorang muslim, tak jarang dirinya lupa sehingga perlu diingatkan, kadang juga ia lalai sehingga membutuhkan teguran, belum lagi apabila ia keliru sehingga ia mencari pelita yang dapat meluruskan langkah dan arahnya. Berikut ini penulis mengajak dirinya dan ikhwah sekalian untuk merenungi lagi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan pemahaman Salafus Shalih. Menyegarkan kembali ingatan kita bersama tentang kemuliaan ibadah melalui thalabul ilmi, agar semangat tak menjadi surut, terlebih di hadapan berbagai ujian dan cobaan kehidupan duniawi. Semoga dapat bermanfaat khususnya bagi diri penulis dan bagi seluruh pembaca, amin….
Saudaraku…, Islam menjelaskan kedudukan yang tinggi nan mulia tentang keutamaan ilmu, banyak ayat dan hadits serta perkataan dan kisah teladan para ulama salaf yang menunjukkan hal ini, diantaranya adalah :
* Menggapai kemuliaan dengan ilmu syar`i
~ Allah berfirman : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”[1]
~ Ath-Thabari berkata, "Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka (jika mereka mengamalkan ilmu tersebut. pent).[2]
~ Asy-Syaukani berkata, "yaitu derajat yang tinggi dengan kemuliaan di dunia dan pahala di akherat"[3]
~ Suatu hari Nafi` bin Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Khattab) di daerah `Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi`); Umar bertanya, "Siapa yang engkau jadikan penggantimu -sementara waktu- bagi penduduk Mekah?", Nafi` menjawab "Ibnu Abza", Umar bertanya, "Siapa Ibnu Abza?", Nafi` menjawab, "Seorang budak", Umar, "Engkau telah memberikan kepercayaan kepada seorang budak?!", Nafi`, "Sesungguhnya ia hafizh Al-Qur`an dan berilmu tentang faraidh (yakni hukum-hukum islam)". Kemudian Umar berkata, "Sungguh Nabi kalian telah berkata: "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain karenanya."”[4]
~ Ibrahim Al-Harbi berkata "Seseorang bernama `Atha bin Abi Rabah adalah budak berkulit hitam milik seorang wanita penduduk Mekah. Hidung `Atha pesek seperti kacang (sangat kecil). Suatu hari Sulaiman bin Abdul Malik sang Amirul Mukminin bersama kedua anaknya mendatangi `Atha yang sedang shalat, setelah selesai dari shalatnya ia menyambut mereka. Masih saja mereka asyik bertanya kepada `Atha tentang manasik haji kemudian Sulaiman berkata kepada kedua anaknya "wahai anak-anakku, jangan kalian lalai dari menuntut ilmu, sungguh aku tidak akan lupa telah berada di hadapan seorang budak hitam (yang berilmu ini)". Dalam kisah yang lain Ibrahim Al-Harbi berkata "Muhammad bin Abdurrahman Al-Auqash adalah seorang yang lehernya sangat pendek sampai masuk ke badannya sehingga kedua bahunya menonjol keluar. Dengan penuh perhatian dan kasih sayang ibunya berpesan "wahai anakku, sungguh kelak setiap kali engkau berada di sebuah majelis engkau akan selalu ditertawakan dan direndahkan, maka hendaklah engkau menuntut ilmu karena ilmu akan mengangkat derajatmu". Ternyata (ia mematuhi pesan ibunya. pent) sehingga suatu saat dipercaya menjadi Hakim Agung di Mekah selama dua puluh tahun".[5]
~ Al-Muzani berkata, "Aku pernah mendengar Imam Syafi`i berkata: "Barangsiapa mempelajari Al-Qur`an maka akan mulia kehormatannya, barangsiapa mendalami ilmu fikih maka akan agung kedudukannya, barangsiapa mempelajari bahasa (arab) maka akan lembut tabiatnya, barangsiapa mempelajari ilmu berhitung maka akan tajam nalarnya dan banyak idenya, barangsiapa banyak menulis hadits maka akan kuat hujjahnya, barangsiapa yang tidak menjaga dirinya maka tidak akan bermanfaat ilmunya".[6]
* Menuntut ilmu adalah jalan menuju surga
~ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa menempuh sebuah jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalannya menuju surga"[7]. ~ Beliau juga bersabda "Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali"[8]
* Dengan menuntut ilmu segala pintu kebaikan dan maghfirah serta pahala akan dilimpahkan
~ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan diberikan kepahaman tentang agama."[9]
~ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, "Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka terputus semua amalannya kecuali dari tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakannnya"[10]
~ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda "…dan sesungguhnya para Malaikat akan merendahkan sayap-sayap mereka bagi penuntut ilmu sebagai tanda ridha terhadap yang dilakukannya, Sungguh seorang yang berilmu akan dimintakan ampun baginya oleh semua yang ada di langit dan bumi sampaipun ikan di lautan, keutamaan seorang yang berilmu atas seorang ahli ibadah bagaikan keistimewaan bulan di hadapan seluruh bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang dapat mengambilnya sungguh ia telah meraih bagian yang banyak"[11]
Ilmu ini adalah anugerah, mari kita bersama menjaganya dengan baik. Mengikhlaskan hati mensucikan niat agar Allah menambahnya serta melimpahkan berkah di dalamnya, وقل رب زدني علما "dan katakan, Wahai Rabb tambakanlah bagiku ilmu"[12].
Jangan sampai kemurniannya terkotori dengan bisikan ambisi materi atau buaian kemewahan duniawi. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kita dengan sebuah haditsnya "Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dicari untuk mengharapkan wajah Allah, namun ternyata ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan satu tujuan dunia, maka ia tidak akan mencium wanginya surga pada hari kiamat"[13].
Para ulama salaf menjelaskan bahwa di antara kiat menjaga kenikmatan mulia ini adalah dengan :
1. Selalu bersemangat dalam menuntut ilmu dan tidak merasa bosan; Imam Syafi`i berkata, "Tidaklah berhasil menuntut ilmu (dengan baik) bagi seorang yang mencarinya dengan cepat merasa bosan seakan tidak membutuhkannya, akan tetapi seorang akan berhasil menuntut ilmu jika melakukannya dengan perjuangan dan susah payah, penuh semangat dan hidup prihatin"[14]. Dalam Diwannya beliau juga membawakan syair
أخي لن تنال العلم إلا بستـتة # سأنبيك عن تفصيلها ببيان # ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة # وصحبة أستاذ وطول زمان
Wahai saudaraku…, engkau takan mendapatkan ilmu melainkan dengan (memperhatikan) enam hal…
Aku akan menyebutkannya dengan penjelasan… kecerdasan, semangat, kesungguh-sungguhan, biaya materi… petunjuk Ustadz, dan waktu yang panjang….[15]
2. Mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan; Amr bin Qays berkata, "Jika sampai kepadamu suatu ilmu maka amalkanlah meskipun hanya sekali… "[16], Imam Waki` berkata, "Jika engkau hendak menghafal satu ilmu (hadits) maka amalkanlah!"[17], Imam Ahmad berkata, "Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya, sehingga suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijamah (bekam) dan memeberikan upah kepada ahli bekam (Abu Thaybah) satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli bekam satu dinar pula"[18]
* Senantiasa mengingat dan mengulang-ulang ilmu;
Ali bin Abi Thalib berkata, "Ingat-ingatlah (ilmu) hadits, sungguh jika kalian tidak melakukannya maka ilmu akan hilang."[19], Ibnu Abas berkata "Mengulang-ulang ilmu di sebagian malam lebih aku cintai daripada menghidupkan malam (dengan ibadah)[20] , Az-Zuhri berkata, "Gangguan ilmu adalah lupa dan sedikitnya muraja`ah (mengulang-ulang)."[21]
Saudaraku…, kita perlu mengingat kembali sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menggambarkan bagaimana Allah akan mencabut ilmu dari kehidupan dunia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan merenggutnya dari para manusia, namun mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang alim maka manusia akan menjadikan para pembesar mereka dari kalangan orang-orang bodoh, yang ditanya (tentang agama) lantas orang-orang bodoh itu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan"[22].
Dalam hadits yang lain beliau bersabda, "Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan semakin banyak merebak, zina menjadi nampak (dimana-mana), khamr diminum, kaum pria menjadi sedikit dan kaum wanita menjadi lebih banyak…."[23]. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, "Sungguh keberadaan agama Islam dan keberlangsungan dunia ini adalah dengan keberadaan ilmu agama, dengan hilangnya ilmu akan rusaklah dunia dan agama. Maka kokohnya agama dan dunia hanyalah dengan kekokohan ilmu."[24] Al-Auza`i berkata : Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan, "Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan, sementara ilmu diangkat dengan cepat. Kekokohan ilmu adalah keteguhan bagi agama dan dunia, hilangnya ilmu adalah kehancuran bagi itu semua."[25]
Saudaraku…., yakinlah bahwa di antara kunci kebahagiaan dunia dan akherat adalah dengan menuntut ilmu syar`i, itulah yang akan menumbuhkan khasyyah dan sikap takut kepada Allah, merasa diawasi sehingga waspada terhadap semua ancaman Allah. Semua itu tidaklah didapatkan kecuali dengan ilmu syar`i, Allah berfirman, "Sesungguhnya hanyalah para ulama yang memiliki khasyyah kepada Allah"[26] Ath-Thabari berkata "Sesungguhnya yang takut kepada Allah, menjaga diri dari adzab dengan menjalankan ketaatan kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu, mereka mengetahui bahwa Allah Maha Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan yang akan menyebabkan murka dan adzab Allah…"[27]. Abdullah bin Mas`ud dan Masruq berkata, "Cukuplah ilmu untuk dapat membuat takut kepada Allah, dan cukuplah kebodohan yang menyebabkan seorang lalai tentang Allah". Al-Baghawi menyebutkan bahwa seseorang memanggil dan berkata kepada Sya`bi, “wahai "alim" berfatwalah”, Sya`bi menjawab, "Sesungguhnya seorang "alim" adalah yang memiliki khasyyah kepada Allah"[28]. Syaikh As-Sa`di berkata dalam tafsirnya (yaitu tafsir dari Surat Al-Faaathir ayat 28, ed), "Ayat ini adalah dalil keutamaan ilmu, karena ilmu akan menumbuhkan sikap khasyyah (takut) kepada Allah, orang yang takut kepada Allah adalah orang yang akan mendapatkan kemuliaan Allah sebagaimana firmanNya "Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah, itu hanya bagi orang-orang yang memiliki khasyyah kepadaNya"[29].
Dengan ilmu kita dapat menumbuhkan sikap khasyyah kepada Allah dan itulah muraqabah yang akan membimbing langkah-langkah kita menuju ridha Allah. Sufyan berkata, "Barangsiapa yang berharap (kebahagiaan) dunia dan akherat hendaklah ia menuntut ilmu syar`i". An-Nadhr bin Syumail berkata, "Barangsiapa yang ingin dimuliakan di dunia dan akherat hendaklah ia menuntut ilmu syar`i, dan cukuplah menjadi kebahagiaan bagi dirinya jika ia dipercaya dalam perkara agama Allah, serta menjadi perantara antara seorang hamba dengan Allah"[30]. Mu`adz bin Jabal berkata, "Pelajarilah ilmu syar`i karena mempelajarinya di jalan Allah adalah khasyyah, memperdalamnya adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih (memuji Allah), membahas (permasalahan-permasalahannya) adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum mengetahuinya adalah shadaqah, dengan ilmulah Allah diketahui dan disembah, dengannya Allah diesakan dalam tauhid, dan dengannya pula diketahui yang halal dan yang haram …"[31].
Seorang penyair berkata :
Ilmu adalah harta dan tabungan yang tak akan habis… Sebaik-baik teman yang bersahabat adalah ilmu…
Terkadang seseorang mengumpulkan harta kemudian kehilangannya… Tidak seberapa namun meninggalkan kehinaan dan perseteruan… Adapun penuntut ilmu, ia selalu membuat iri (ghibthah) banyak orang… namun dirinya tidak pernah merasa takut akan kehilangannya… Wahai para penuntut ilmu, betapa berharga hartamu itu… yang tak dapat dibandingkan dengan emas ataupun mutiara….[32]. Karenanya, Luqman berwasiat kepada putranya, "Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, dekatilah mereka dengan kedua lututmu, sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan pelita "hikmah" sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang gersang dengan air hujan".[33] Hikmah yang beliau maksud adalah yang Allah sebutkan dalam firmanNya (QS Al-Baqarah : 269) yang artinya, "Allah menganugerahkan "hikmah" kepada yang Allah kehendaki, barangsiapa telah diberikan hikmah maka ia telah diberikan banyak kebaikan…". Qutaibah dan Jumhur ulama berkata "hikmah adalah mengetahui yang haq[34] dengan sebenarnya serta mengamalkannya, itulah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih".[35]
Imam Ahmad berkata, "Manusia lebih membutuhkan ilmu dibandingkan makan dan minum, karena makanan dan minuman dibutuhkan manusia satu atau dua kali dalam satu hari, akan tetapi ilmu senantiasa dibutuhkan seorang manusia setiap saat (selama nafasnya berhembus)"[36]…
Saudaraku…., belum terlambat… dan tidak ada kata "malu"; `Aisyah berkata, "Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar, mereka tidak terhalangi oleh rasa malu untuk mempelajari semua perkara agama ini". Mujahid juga berkata, "Tidaklah dapat menuntut ilmu seorang pemalu atau yang sombong, yang ini terhalangi dari menuntut ilmu oleh rasa malunya, sementara yang itu terhalangi oleh kesombongannya"[37].
Mari bersama-sama kita membangkitkan semangat menuntut ilmu syar`i agar dengannya kita mendapatkan pelita nan bercahaya, menerangi setiap amalan hidup kita, membimbing setiap pola pikir dan langkah kita, memperbaiki setiap niat hati kita, membuat kita senantiasa takut karena merasa diawasi oleh Allah. Jika ilmu itu telah sampai maka jangan kita melupakannya dan mari kita berlomba untuk mengamalkannya, Ali bin Abi Thalib berkata, "Ilmu membisikkan pemiliknya untuk diamalkan, jika ia menjawab panggilan bisikan itu maka ilmu akan tetap ada, namun jika ia tidak menjawab panggilan itu maka ilmu akan pergi".[38]
Semoga Allah melimpahkan taufiqNya kepada kita untuk ikhlas dalam menuntut ilmu, beramal dan berdakwah di jalanNya. Ya Allah…., jadikanlah kami hamba-hambaMu yang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia serta akhirat dengan ilmu, amin...
--------------------------------------------------------------------------------
[1]. Qs Al-Mujadilah : 11
[2]. Tafsir Ath-Thabari ; Qs Al-Mujadilah : 11
[3]. Tafsir Asy-Syaukani ; Qs Al-Mujadilah : 11
[4]. Shahih Muslim: 817
[5]. Lihat Tarikh Baghdad 2 : 309, Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 1 : 501-502
[6]. Diriwayatkan dari Imam Syafi`i dari beberapa jalan, lihat Miftah Daris Sa`adah 1 : 503
[7]. HR. Muslim no : 2699 dari Abi Hurairah
[8]. HR Tirmidzi no : 2323, Ibnu Majah no : 4112 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no : 186 dari Anas
[9]. HR Bukhari 1 : 150-151, 6 : 152, dan Muslim 1037 dari Mu`awiyah
[10]. HR Muslim 1631 dari Abi Hurairah
[11]. HR Abu Daud no : 3641-2, At-Tirmidzi no : 2683, Ibnu Majah no : 223, dishahihkan Ibnu Hibban no : 80
[12]. QS Thoha : ayat 114
[13]. HR Abu Daud no : 3664 dengan sanad yang shahih, Ibnu Majah no : 252, Ibnu Hibban no : 89, dll
[14]. Hilayatul Auliya karya Abu Nu`aim; 9 : 119, Al-Madkhal karya Al-Baihaqi; no : 513, Tadribur Rawi karya As-Suyuthi; 2 : 584
[15]. Diwan Asy-Syafi`i hal : …
[16]. Hilayatul Auliya karya Abu Nu`aim 5 : 102
[17]. Tadribur Rawi karya As-Suyuthi 2 : 588
[18]. Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Manaqib Ahmad, hal : 232
[19]. Al-Muhadditsul Fashil karya Ar-Ramahurmuzi hal : 545
[20]. Sunan Ad-Darimi; 1 : 82 dan 149
[21]. Sunan Ad-Darimi; 1 : 150
[22]. HR Al-Bukhari : 1 : 174-175, Muslim no : 2673, At-Tirmidzi 2652
[23]. Shahih dengan beberapa jalannya, Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam Sahih : kitab "nikah" dari hadits Hafsh bin Umar dan kitab "ilmu", demikian pula halnya Muslim dalam shahihnya : 4 : 256, dan selain mereka.
[24]. Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah : 1 : 500
[25]. Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud 817, dan Ibnu `Abdil Bar dalam Al-Jami` : 1018
[26]. QS. Fathir : 28
[27]. Lihat Tafsir Ath-Thabari QS Fathir ; ayat : 28
[28]. Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud hal : 15, dan Ahmad dalam Az-Zuhud hal : 858 dan Lihat Tafsir Al-Baghawi QS Fathir ; ayat : 28
[29]. Lihat Tafsir As-Sa`di QS Fathir ; ayat : 28
[30]. Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 503-504
[31]. Hilayatul Auliya karya Abu Nu`aim 1 : 239, Al-Ajmi` oleh Ibnu `Abdil Bar 1 : 65
[32]. Diterjemahkan dari Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 507
[33]. Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa` 2 : 1002 (Cet. Daarul Kutubil `Imiyyah)
[34]. Syaikh Ali Hasan berkata "dan hikmah adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, dan tidaklah mungkin hal ini dilakukan melainkan dengan ilmu" (Lihat, Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 227)
[35]. Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 227
[36]. Thabaqat Al-Hanabilah; 1 : 146
[37]. Al-Bukhari menyebutkannya secar mu`allaq dalam shahihnya 1 : 229
[38]. Iqtidhaul `ilmil amal karya Al-Khathib: hal 41
http://pesantrenalirsyad.org/artikel/detil/4
Saturday, July 10, 2010
Agungkan Ilmu Dalam Hatimu
Dunia, memang masih menjadi orientasi utama banyak orang. Tak heran, harta yang berlimpah, jabatan, popularitas, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya menjadi buruan manusia siang malam. Padahal dunia adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan menyisakan kehampaan, kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang bisa meredam ambisi manusia terhadap sifat serakah terhadap dunia.
Siapa yang tak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya kedudukan? Sepertinya, hampir tak ada orangtua yang tak memiliki bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak mereka. Biasanya, sejak si anak masih dalam buaian, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan harapan. Pokoknya, yang terbaiklah yang ada dalam angan-angan. "Semoga anakku menjadi 'orang', semoga memiliki masa depan yang lebih baik dari pada ibu bapaknya, semoga jadi orang yang paling ini, paling itu …." dan sejuta lambungan 'semoga' yang lainnya.
Tak berhenti sampai di situ, bahkan segala yang dapat mendukung tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dini. Mulai dari tabungan biaya pendidikan, sampai prasarana yang diperkirakan menunjang pun disiapkan baik-baik. Berbagai pendidikan prasekolah pun diikuti agar melicinkan jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita orangtuanya.
Namun di balik segala cita-cita, ada sebuah kemuliaan yang seringkali justru terluputkan, bahkan diremehkan oleh banyak orangtua. Padahal inilah kemuliaan hakiki yang akan didapatkan oleh si anak jika dia benar-benar meraihnya. Kemuliaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21)
Demikianlah, dalam kalam-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang beriman lagi berilmu di atas orang yang beriman namun tidak berilmu. Ketinggian derajat akan diperolehnya di dunia berupa kedudukan yang tinggi serta reputasi yang baik, juga akan dicapai pula di akhirat berupa kedudukan yang tinggi di dalam surga. (Fathul Bari 1/186)
Mengapa tak cukup kedudukan dan kekayaan sebagai bekal? Bukankah dengan itu anak akan mendapatkan segalanya? Nampaknya benar bila kita tak mengkaji dalam-dalam. Namun sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu 'anhu:
إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِي مَالِهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ وَهُمَا فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Dunia itu diberikan kepada empat golongan:
(1) seorang hamba yang Allah anugerahi harta dan ilmu, maka dia pun bertakwa kepada Rabbnya dalam hal hartanya, menggunakan hartanya untuk menyambung tali kekerabatan dan mengetahui bahwa Allah memiliki hak dalam hartanya itu, maka dia berada pada derajat yang paling mulia di sisi Allah.
(2) Dan seorang hamba yang Allah karuniai ilmu namun tidak diberi harta, dia adalah seorang yang benar niatnya. Dia katakan, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti amalan Fulan’, maka dengan niatnya itu pahala mereka berdua sama.
(3) Juga seorang hamba yang Allah beri harta namun tidak dikaruniai ilmu, sehingga dia gunakan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya dalam hartanya itu, tidak menggunakannya untuk menyambung tali kekerabatan, dan tidak pula mengetahui ada hak Allah dalam hartanya, maka dia berada pada derajat yang paling hina di sisi Allah.
(4) Dan seorang hamba yang tidak Allah beri harta maupun ilmu, lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Fulan’, maka dengan niatnya itu dosa mereka berdua sama." (HR. At-Tirmidzi no. 2325, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)
Dengan begitu, jelaslah bahwa sekedar bekal harta takkan cukup bagi seseorang. Perlu sesuatu yang lebih penting daripada itu, yang justru nanti akan menyelamatkannya dari kerusakan dalam mengelola harta yang dimilikinya. Itulah ilmu. Akan berbeda tentunya orang yang mengetahui syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang yang tidak mengetahuinya, bagaikan perbedaan siang dan malam, sebagaimana Allah firmankan dalam Tanzil-Nya:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?”
(Az Zumar: 9)
Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah menasehatkan tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta:
العِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، العِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، العِلْمُ يَزْكُو عَلَى العَمَلِ وَالْمَالُ تُنْقِصُهُ النَّفَقَةُ، وَمَحَبَّةُ العَالِمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، العِلْمُ يُكْسِبُ العَالِمَ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَصَنِيْعَةُ الْمَالِ تَزُوْلُ بِزَوَالِهِ، مَاتَ خُزَّانُ اْلأَمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي القُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ
“Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sementara harta harus engkau jaga. Ilmu akan terus bertambah dan berkembang dengan diamalkan sementara harta akan terkurangi dengan penggunaan. Dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang dipegangi. Ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya. Sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia masih hidup. Sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati manusia." (dinukil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 13-14)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu pernah pula mengatakan:
بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Satu bab ilmu agama yang dipelajari oleh seseorang lebih baik baginya daripada dunia seisinya.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 18)
Ayat-ayat di dalam Al-Qur`an, maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan kemuliaan orang yang berilmu amat berbilang banyaknya. Ayat dalam surah Al-Mujadilah di atas adalah salah satunya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu padaku.” (Thaha: 114)
Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan kabar yang dibawanya), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang berilmu akan mendapatkan kebaikan hakiki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini disampaikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma ketika berkhutbah:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan faqihkan dia dalam agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan keutamaan ilmu dan memahami agama serta berisi anjuran untuk mendapatkannya. Karena semua ini akan menuntun seseorang untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Syarh Shahih Muslim, 7/127)
Dari sini bisa dipahami pula bahwa orang yang tidak memahami agama –dalam arti mempelajari kaidah-kaidah Islam dan segala yang berkaitan dengannya– berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dari kebaikan. (Fathul Bari, 1/217)
Inilah yang dicita-citakan oleh para pendahulu kita yang shalih. Mereka tidak bercita-cita agar anak mereka kelak menjadi hartawan atau penguasa, karena mereka sangat memahami, kemuliaan dan kebaikan mana yang hakiki. Oleh karena itu, mereka senantiasa berupaya agar anak-anak mereka menjadi anak-anak yang berhias dengan adab yang tinggi dan berbekal dengan ilmu. Mereka merasakan kebanggaan bila si anak memiliki pemahaman terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini lebih dari kebanggaan apa pun, dan merasakan penyesalan bila si anak terlewatkan dari keutamaan seperti ini.
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma untuk duduk di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang dewasa dari kalangan para sahabat. Ibnu ‘Umar adalah peserta termuda dalam majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. ‘Umar pun merasa bangga bila sang putra memiliki ilmu lebih daripada yang dimiliki orang lain yang ada di situ. Peristiwa ini dikisahkan sendiri oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:
كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاهُ، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرُ: لأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا
“Kami dulu pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan padaku tentang sebuah pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Waktu itu terlintas dalam benakku bahwa itu adalah pohon kurma. Namun aku melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan pula untuk menjawabnya. Ketika para shahabat tidak menjawab sedikit pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu pohon kurma.’ Saat kami telah bubar, kukatakan pada ayahku ‘Umar, ‘Wahai ayah, demi Allah, sesungguhnya tadi terlintas dalam benakku, itu adalah pohon kurma.’ Ayahku pun bertanya, ‘Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?’ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Aku melihat anda semua tidak berbicara sehingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu.’ Kata ‘Umar, ‘Sungguh kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!’.” (HR Al-Bukhari no. 4698)
Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki pendidik semenjak kecil dan benar-benar berpesan pada si anak agar bersemangat belajar. Mereka pun betul-betul perhatian dengan memberikan sarana yang akan digunakan anak mereka untuk menuntut ilmu. Seperti ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu yang berpesan kepada pendidik putranya: "Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan jauhkan dia dari syi’ir." (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 30)
Banyak gambaran dalam kehidupan salafush shalih yang melukiskan semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilatari dan dilandasi dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka ajarkan pada si anak tentang beratnya perjalanan menuntut ilmu dengan segala aral merintang. Bahkan mereka tak segan kehilangan harta untuk perjalanan anak-anak mereka menuntut ilmu agar kelak dapat memberikan manfaat pada diri si anak sendiri dan lebih dari itu, pada Islam dan kaum muslimin.
‘Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi rahimahullahu menceritakan tentang kesungguhan pengorbanan ayahnya, “Ayahku pernah memberiku uang seratus ribu dirham sambil berkata, 'Pergilah untuk menuntut ilmu, dan aku tak ingin melihat wajahmu kecuali setelah engkau menghapal seratus ribu hadits!’.” ‘Ali pun pergi jauh untuk menuntut ilmu, kemudian pulang untuk mengajarkan ilmu yang didapatkannya, sampai-sampai yang hadir di majelisnya lebih dari tigapuluh ribu orang. (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)
Begitu pula Al-Mu’tamir bin Sulaiman mengisahkan tentang pesan sang ayah, “Ayahku pernah menulis surat padaku saat aku berada di Kufah, ‘Belilah buku dan catatlah ilmu, karena harta itu akan musnah, sementara ilmu itu akan kekal’.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)
Bila ilmu dimiliki oleh seseorang, maka kehormatan dan kemuliaan akan datang tanpa diundang dan dicari-cari.Tak memandang apakah dia keturunan bangsawan atau seorang budak, ataukah dia seorang rupawan atau tidak. Memang, bila akhirat menjadi tujuan seseorang, maka dunia pun akan Allah Subhanahu wa Ta’ala datangkan kepadanya. Sebaliknya, bila dunia yang menjadi cita-citanya, maka kehinaan semata yang akan dia dapatkan. Demikian dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتِ اْلآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah akan jadikan kekayaan dalam hatinya, dan Allah kumpulkan baginya urusannya yang tercerai-berai, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tidak suka kepadanya. Dan barangsiapa yang dunia menjadi cita-citanya, Allah akan jadikan kefakiran di depan matanya, Dia cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali hanya apa yang telah ditentukan baginya." (HR. At-Tirmidzi no. 2465, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)
Ibnul Jauzi rahimahullahu pernah menasihati putranya dan menganjurkannya untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Beliau berkata, “Ketahuilah, ilmu itu akan mengangkat orang yang hina. Banyak kalangan ulama yang tidak memiliki nasab yang bisa dibanggakan dan tidak punya wajah yang rupawan.”
Bahkan ‘Atha` bin Abi Rabah rahimahullahu adalah seorang yang berkulit hitam dan berwajah jelek, namun didatangi oleh Khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua orang putranya. Mereka duduk di hadapan ‘Atha` untuk bertanya masalah manasik haji. ‘Atha` pun menjelaskan pada mereka bertiga sambil memalingkan wajahnya dari mereka. Sang Khalifah berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah, dan jangan lalai dan malas untuk mencari ilmu. Aku tidak akan pernah melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 33)
Kalau demikian kenyataannya, tentunya orangtua tak akan membiarkan angan-angannya melambung tanpa arah. Mengantarkan anak menjadi seorang yang mengerti tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala seluk-beluknya berarti mengantarkan anak menjadi seorang yang akan dimuliakan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, hendaknya orangtua selalu berusaha membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu, menekankannya, dan menyemangati mereka agar bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih. Karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berujung jannah-Nya yang kekal abadi. Benarlah janji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu tersebut, jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=475
Thursday, July 8, 2010
Pengertian Ilmu Yang Bermanfaat
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Di dalam Al-Qur-an terkadang Allah Ta’ala menyebutkan ilmu pada kedudukan yang terpuji, yaitu ilmu yang bermanfaat. Dan terkadang Dia menyebutkan ilmu pada kedudukan yang tercela, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun yang pertama, seperti firman Allah Ta’ala,
“... Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’...” [Az-Zumar: 9]
Firman Allah Ta’ala,
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]
Firman Allah Ta’ala.
“... Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” [Thaahaa: 114]
Firman Allah Ta’ala.
“... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]
Firman Allah Ta’ala tentang kisah Adam dan pelajaran yang didapatkannya dari Allah tentang nama-nama segala sesuatu, dan memberitahukannya kepada para Malaikat. Para Malaikat pun berkata,
"Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” [Al-Baqarah: 32]
Dan firman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir. Nabi Musa berkata kepadanya,
"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’” [Al-Kahfi: 66]
Ini semua adalah ilmu yang bermanfaat.
Dan terkadang Allah Ta’ala mengabarkan keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, namun ilmu yang ada pada mereka tidak bermanfaat. Ini adalah ilmu yang bermanfaat pada hakikatnya, namun pemiliknya tidak mengambil manfaat dari ilmunya itu. Allah Ta’ala berfirman,
"Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [Al-Jumu’ah: 5]
Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan tercela, yaitu ilmu sihir seperti firman-Nya,
"... Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka sudah tahu barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” [Al-Baqarah: 102]
Dan firman Allah Ta’ala,
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” [Ar-Ruum: 7]
Karena itulah As-Sunnah membagi ilmu menjadi ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, juga menganjurkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat. [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [2]
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal.
Pertama, mengenal Allah Ta’ala dan segala apa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah Ta’ala berikan.
Kedua, mengetahui segala apa yang diridhai dan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan bathin serta ucapan. Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.” [3]
Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.” [4]
Perkataan beliau rahimahullaah menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka...” [5]
Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah berkata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adapun yang datang dari selain mereka bukanlah ilmu.” [6]
Beliau juga mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka...” [7]
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaah mengatakan,
Seluruh ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan,
kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, had-datsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’.
Adapun selain itu hanyalah waswas (bisikan) syaitan. [8]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan kepada kita mengenai orang yang faham tentang agama Allah Ta’ala, ia memperoleh manfaat dari ilmunya dan memberikan manfaat kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan perumpamaan orang yang tidak menaruh perhatian pada ilmu agama, dengan kelalaiannya itu mereka menjadi orang yang merugi dan bangkrut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” [9]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang membawa ajaran agama Islam, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang dibutuhkan manusia. Kondisi manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti tanah yang kering, gersang dan tandus. Kemudian kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membawa ilmu yang bermanfaat menghidupkan hati-hati yang mati sebagaimana hujan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai tanah yang terkena air hujan, di antara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Di antara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengamalkannya, akan tetapi dia mengajarkannya untuk orang lain. Maka, dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengajarkannya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang mendengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak menyampaikannya kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah yang berair atau tanah yang gersang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.
Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua disebabkan keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga disebabkan tercela dan tidak bermanfaat.
Jadi, perumpamaan hadits di atas terdiri dari 2 (dua) kelompok. Perumpamaan pertama telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama Islam namun tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” Atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tetapi ia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir di atasnya, tetapi tidak dapat memanfaatkannya.
Hal ini diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Dan tidak peduli dengan petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”
Ath-Thibi berkata, “Manusia terbagi menjadi dua".
Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain.
Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan ilmu bagi dirinya, namun ia mengajarkan kepada orang lain.”
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kategori pertama masuk dalam kelompok pertama. Sebab, secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatannya berbeda. Begitu juga dengan tanaman yang tumbuh, di antaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk kelompok kedua seperti yang telah kami jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya.
Orang semacam ini termasuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” [10]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 11-13), karya Imam Ibnu Rajab rahimahullaah, ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid, cet. I, Daar ‘Ammar, th. 1406 H.
[2]. Majmuu’ al-Fataawaa (VI/388, XIII/136) dan Madaarijus Saalikiin (II/488)
[3]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 47).
[4]. Al-Bidaayah wan Nihaayah (V/237).
[5]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).
[6]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/769, no. 1421) dan Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 42).
[7]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).
[8]. Diiwaan Imam asy-Syafi’i (hal. 388, no. 206), dikumpulkan dan disyarah oleh Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Daarul Fikr, th. 1415 H.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari.
[10]. Lihat Fat-hul Baari (I/177).
[ww.almanhaj.or.id]
Penuntut Ilmu tidak Boleh Futur, Tidak Boleh Putus Asan dan Waspada Terhadap Bosan
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.
Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.
Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:
1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.
2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.
3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]
Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.
Di antara sebab-sebab itu adalah.
1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu syar’i.
3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11). Lemahnya pendidikan. [2]
Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.
Di antara obat penyakit futur adalah.
1). Memperbaharui keimanan.
Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3). Ikhlas dan takwa.
4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7). Mencari teman yang baik (shalih).
8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
9). Sabar dan belajar untuk sabar.
10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]
PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN
Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”
Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.
‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?
Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”
Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.
Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal.
Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]
Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i. Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
__________
Foote Notes
[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).
[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).
[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.
[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279
www.almanhaj.or.id
Subscribe to:
Posts (Atom)