MusicPlaylistRingtones

Tuesday, August 24, 2010

Pokok-Pokok Dalam Ilmu Tafsir


USHULUN FII AT TAFSIIRI
(Pokok-Pokok dalam Ilmu Tafsir)
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah

BAB
ALQUR-AANUL KARIIM


PENGERTIAN ALQUR-AN
(Sub Judul dari Abu Ahmad ‘Abdul ‘Alim)
(Pengertian) al Qur-aan dalam bahasa : (Al Qur-an adalah bentuk) masdar (dari) Qoro-a dengan makna membaca atau dengan makna mengumpulkan. Anda mengatakan Qoro-a Qur-an wa Qur-aanan seperti (halnya jika) anda mengatakan Ghofaro Ghufron wa Ghufroonan . Makna pertama [membaca] (adalah bentuk) masdar dengan makna isim maf’ul, yaitu dengan makna yang dibaca. (Sedangkan) makna kedua [mengumpulkan] (adalah bentuk) masdar dengan makna isim fa’il, yaitu dengan makna pengumpul untuk menghimpun khabar khabar dan hukum hukum [1]

(Pengertian) Alqur-an dalam syari’at : (Al Qur-an adalah) ucapan ( kalam ) Allah ta’alaa yang diturunkan kepada Rosul-Nya dan Penutup para nabi-Nya, (yaitu) Muhammad shalallahu’alaihi wa salam , dimulai dengan surat Al Faatihah, dan diakhiri dengan surat An Naas.. Allah ta’ala berfirman:

(إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلاً) (الانسان:23)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” . (Al Insaan: 23)

(إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ) (يوسف:2)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”. (Yusuf: 2)

PENJAGAAN ALLAH TERHADAP ALQUR-AN
(Sub Judul dari Abu Ahmad ‘Abdul ‘Alim)
Allah ta’alaa benar benar telah melindungi Al Qur-aan yang agung dari perubahan, tambahan, pengurangan dan penggantian. (Allah) ‘azza wa jalla menjamin dengan pemeliharaan-Nya (sebagaimana) Allah berfirman:

(إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ) (الحجر:9)

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9)

Karena itu telah berlaku pada banyak masa, tidak ada seorangpun dari (orang orang) yang memusuhi Al Qur-an mencoba (untuk) melakukan perubahan dalam Al Qur-an, atau menambah atau mengurangi atau mengganti kecuali Allah ta’ala membongkar aibnya, dan membuka kejelekan kejelekan perkaranya.

SIFAT SIFAT AGUNG ALQUR-AN
(Sub Judul dari Abu Ahmad ‘Abdul ‘Alim)
Allah mensifatinya (Al Qur-an) dengan sifat yang banyak. (Hal ini) menunjukkan kepada keagungannya, barokahnya, pengaruhnya dan kandungannya. Al Qur-an adalah sebagai hakim bagi segala (yang datang) sebelumnya dari kitab kitab (yang diturunkan Allah ta’alaa).

Allah ta’ala berfirman:

(وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ) (الحجر:87)

“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.” (Al Hijr: 87)

( وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ)(قّ: من الآية 1)

“ Demi Al Quran yang sangat mulia.” (Qoof: bagian dari ayat 1)

Allah juga berfirman:

(كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ) (صّ:29)

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shaad: 29)

(وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ) (الأنعام:155)

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. “ (Al An’am: 155)

(إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ) (الواقعة:77)

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia” (Al Waaqi’ah: 77)

(إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ ) (الإسراء : من الآية 9)

” Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (Al Israa’: bagian ayat 9)

Dan Allah ta’ala berfirman:

(لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعاً مُتَصَدِّعاً مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ) (الحشر:21)

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al Hasyr: 21)

(وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (24 1 ) وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُون(25 1 َ) (التوبة: 124-125)

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. (124) Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (125) (At Taubah: 124 – 125)

( وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ)(الأنعام: من الآية 19)

“Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)” (Al An’aam: bagian ayat 19)

(فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَاداً كَبِيراً) (الفرقان:52)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (Al Furqaan: 52)

Dan Allah ta’ala berfirman

(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ)(النحل: من الآية 89)

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (An Nahl: bagian dari ayat 89)

(وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ )(المائدة: من الآية 48)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan” (Al Maa-idah: bagian ayat 48)

ALQUR-AN DAN AS SUNNAH ADALAH SUMBER SYARIAT ISLAM
(Sub Judul dari Abu Ahmad ‘Abdul ‘Alim)
Al Qur-anul Karim adalah sumber dari syari’at islam yang Muhammad shalallahu’alaihi wa salam diutus dengannya kepada seluruh manusia. Allah berfirman:

(تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً) (الفرقان:1)

“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,” (Al Furqoon: 1)

(الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ(1 )اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيد(2ٍ) (ابراهيم: 1-2)

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.(1) Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih,(2)” (Ibrahiim: 1 – 2)

Sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa salam (adalah sebagai) sumber syari’at juga seperti yang (telah ditetapkan) Al Qur-aan. Allah ta’alaa berfirman:

يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً) (النساء:80)

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An Nisa-a: 80)

(وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً)(الأحزاب:من الآية 36)

“ Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: bagian dari ayat 36)

(وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ)(الحشر:من الآية 7)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Al Hasyr: bagian dari ayat 7)

(قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌرَحِيمٌ) (آل عمران:31)

“ Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imron: 31)

____________________

Catatan Kaki

[1] Catatan kaki dari kitab Ushulun fii At Tafsiir: “

Dimungkinkan (juga makna kedua [mengumpulkan] adalah bentuk masdar) dengan makna isim maf’ul, yaitu dengan makna yang dikumpulkan, karena dia (Al Qur-an) dikumpulkan dalam lembaran lembaran dan hati hati (manusia).

(Diterjemahkan oleh Abu Ahmad Abdul ‘Alim Ricki Kurniawan Al Mutafaqqih)
Selesai penerjemahan Rabu, 31 Januari 2007
http://alwajiz.wordpress.com/2007/02/02/ushulun-fii-at-tafsiiri/

Friday, August 20, 2010

Tidak Boleh Berbuat Sesuatu Yang Membahayakan


لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan

Asal Kaedah
Lafadz kaedah ini terambil dari sabda Rosululloh yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2/784, Baihaqi 10/133, Ahmad 1/313, Daruquthni 4/228, Hakim 2/57 dan beliau mengatakan shohih menurut syarat Imam Bukhori Muslim dan disepakati oleh Imam Dzahabi, Malik 2/745, Abu Dawud dalam Marosil hal : 44 dan lainnya dengan sanad hasan dari jalan beberapa sahabat Rosululloh diantaranya adalah Ubadah bin Shomith, Ibnu Abbas, Abu Sa’id al Khudri, Abu Huroiroh, Jabir bin Abdillah, Aisyah, Tsa’labah bin Abi Malik al Qurodli dan Abu Lubabah Rodliyallohu anhum ajma’in. (Lihat Takhrij hadits ini secara lengkap dalam Jami’ Ulum wal Hikam oleh Imam Ibnu Rojab hadits no : 32)
Dalam sebagian kitab yang membahas kaedah fiqhiyyah, kaedah ini diungkapkan dengan lafadl :
الضَرَرُ يُزَالُ
“Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan.”

Namun ungkapan kaedah ini dengan lafadl diatas lebih baik, karena beberapa sebab yang sudah saya katakan pada kaedah pertama, yang intinya adalah :

1. Bahwa lafadl
“لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ“
adalah nash Rosululloh, dan bagaimanapun juga nash dari Rosululloh lebih diutamakan daripada lainnya.

2. Kaedah diatas mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu menghilangkan kemadlorotan yang berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan orang lain.

3. Kekuatan dalil kaedah fiqhiyah yang terambil langsung dari nash Rosululloh jauh diatas kekuatan sebuah kaedah fiqhiyyah yang bukan diambil langsung dari sabda beliau. (Lihat Al Wajiz fi Idlohi qowaid Fiqhil Kulliyah oleh DR. Muhamad Shidqi al Ghozzi hal : 251)

Makna kaedah
Para ulama berbeda pandangan saat menerangkan sabda Rosululloh yang menjadi sebuah kaedah fiqhiyyah diatas. Namun apapun perbedaan itu, semuanya tetap menuju pada sebuah tujuan yang sama yaitu bahwasannya sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan secara hukum syar’i. (Lihat Bada’i Shona’i oleh Imam Al Kasani 5/136)
Cukuplah disini saya paparkan sebagian perkataan para ulama tentang hadits ini, yang insya Alloh bisa mewakili yang lainnya :
Imam Ibnu Abdil Bar berkata :

“Adapun sabda Rosululloh :
“لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ“
ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua lafadl tapi mengandung arti yang sama, Rosululloh mengungkapkan keduanya itu hanya untuk semakin menguatkan pembicaraan”.

Ibnu Habib berkata :
“Lafadl “ضَرَرَ” menurut para pakar bahasa arab adalah nama dari sesuatu yang membahayakan, sedangkan “ضِرَارَ ” adalah perbuatan yang membahayakan itu sendiri.” Beliau juga mengatakan bahwa makna ضَرَرَ adalah janganlah seseorang itu berbuat sesuatu yang dia tidak melakukannya untuk dirinya sendiri, sedangkan arti ضِرَارَ adalah janganlah seseorang itu membahayakan orang lain.”
Inilah yang dinukil oleh Ibnu Habib.

Al Khusyani berkata :
“ضَرَرَ adalah sesuatu yang membayakan yang engkau bisa memetik manfaatnya tapi bisa membahayakan orang lain, sedangkan adl dliror adalah perbuatan yang engkau sama sekali tidak bisa memetik manfaatnya namun bisa membahayakan orang lain”.
Sedangkan para ulama’ lainnya juga berkata :
“Lafadl :
لا ضرر و لا ضرار
mirip dengan lafadl : القتل yang artinya membunuh dan lafadl القتال yang berarti memerangi, maksudnya adalah bahwasanya makna adl dloror adalah berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia tidak berbuat yang membahayakan dirinya, sedangkan makna adl dliror adalah berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia berbuat jahat kepadanya kalau hal itu tidak diilakukan untuk membela sebuah kebenaran.” (Lihat At Tamhid 20/158)

Syaikh Ahmad Az Zarqo berkata :
“Para ulama’ berselisih tentang perbedaan antara kedua lafadl ini menjadi banyak pendapat, namun telah disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al Haitsami dalam syarah Arba’in Nawawi bahwa yang paling bagus adalah bahwa makna لا ضرر adalah larangan berbuat yang membahayakan orang lain secara muthlak, sedangkan makna لا ضرار adalah jangan berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain meskipun untuk membalas perbuatan jahatnya.”( Lihat Syarah Qowa’id Fiqhiyyah hal : 140)

Hadits ini menunjukkan bahwa semua bentuk perbuatan yang membahayakan harus dihilangkan dan tidak boleh di kerjakan, karena Rosululloh mengungkapkannya dengan bentuk penafian, yang mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan. (Lihat Al Wajiz hal : 252)
Al Munawi berkata :
“Hadits ini mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan, karena kalimat dengan bentuk nakiroh kalau jatuh setelah lafadl penafian menunjukkan keumuman.”
(Lihat Faidlul Qodir 6/431)

Semua keterangan ini adalah tertuju pada larangan untuk berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain kalau tanpa ada sebab yang membenarkan perbuatan tersebut, namun kalau ada sebab yang membenarkannya secara syar’i, maka itu diperbolehkan. Misalnya memotong tangan seorang yang mencuri, merajam orang yang berzina muhson dan lainnya, karena meskipun semua ini ada sisi kemadlorotannya, namun hal itu diperbolehkan karena dilakukan dengan cara yang benar, dan madlorot yang ditimbulkannya tidak sebanding dengan manfaat yang dihasilkannya.

Dan kalau dicermati, bahwa perbuatan yang membahayakan orang lain tanpa ada sebab yang membolehkannya secara syar’i itu ada dua kemungkinan, yaitu :

1. Perbuatan yang memang dilakukan dengan tujuan membahayakan orang lain dan sama sekali tidak bermanfaat bagi pelakunya kecuali hanya untuk membahayakan orang lain saja. Maka perbuatan ini jelas-jelas terlarang. Banyak sekali dalil yang menunjukkan akan hal ini.

2. Perbuatan yang membahayakan orang lain namun ada manfaatnya bagi pelaku, seperti kalau seseorang berbuat sesuatu dalam miliknya sendiri namun mengakibatkan bahaya bagi orang lain, maka hukumnya ada dua kemungkinan :
o Yang pertama : kalau hal itu dilakukan dengan cara yang tidak wajar, maka dia harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain tersebut, seperti kalau dia membakar sampah miliknya ditanahnya sendiri pada saat terik matahari yang sangat menyengat dan angin sedang berhembus kencang, lalu tidak dia jaga menjalarnya api dan selanjutnya api tersebut membakar benda milik tetangganya maka dia wajib mengantinya.

o Yang kedua : Kalau hal itu dilakukan dengan cara yang wajar, maka para ulama’ berselisih pendapat akan boleh dan tidaknya. Namun yang rajih bahwa hal tersebut juga dilarang. seperti seseorang yang memelihara ayam ditengah-tengah perkampungan yang baunya sangat mengganggu masyarakat sekitar, membuat bangunan yang tinggi sehingga bisa melihat aurot tetangganya, mengunakan bahan peledak untuk mengambil batu di gunung kalau hal itu bisa merobohkan atau meretakkan bangunan rumah yang ada disekitarnya dan beberapa contoh yang semisalnya (Lihat Al Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah 7/52, Jami’ lum wal hikam dengan sedikit perubahan dan tambahan)

Kedudukan kaedah ini
Kaedah ini mempunyai kedudukan yang sangat agung dalam syariat agama islam, bahkan bukan berlebihan kalau saya katakan bahwasanya kaedah ini mencakup separoh agama islam, karena syariat islam dibangun atas dua hal yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadlorotan, dan kaedah ini mencakup semua bentuk kemadlorotan harus dihilangkan (Lihat Syarah Kaukab Munir oleh Ibnu Najjar Al Hanbali 4/443)

Kaedah ini juga merupakan salah satu rukun syariat islam yang agung, yang mana kandunganya dikuatkan oleh banyak sekali dalil dari al Qur’an adan As sunnah. Kaedah ini merupakan pondasi untuk mencegah perbuatan yang membahayakan, juga pondasi untuk mengganti kerugian perbuatan yang membahayakan tersebut baik secara perdata maupun pidana, kaedah ini merupakan dasar bagi para fuqoha’ dalam menentukan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan banyak kejadian. (Lihat Al Madkhol Al Fiqh al ‘Am oleh Az Zarqo 2/977)

Dalil-dalil Kaedah
Banyak sekali dalil yang menguatkan kandungan dari kaedah ini, selain hadits diatas yang merupakan pokok kaedah ini, yang intinya adalah tentang menghilangkan sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain dengan cara apapun, diantaranya adalah :

1. Firman Alloh tentang larangan wasiat yang membahayakan :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
“Setelah ditunaikan wasiat yang dibuat olehnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madhorot kepada ahli waris.”(QS. An An Nisa’ : 12)

2. Firman Alloh tetang larangan ruju’ kepada istri untuk tujuan membahayakannya :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahnya, maka rujuklah kepada mereka dengan cara yang bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula, janganlah kamu rujuk pada mereka untuk memberi kemudhorotan, karena dengan demikian kamu telah berbuat yang menganiaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian maka berarti dia telah berbuat dholim kepada dirinya sendiri.”
(QS. Al Baqoroh : 231)

3. Firman Alloh tentang masalah menyusui anak :
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
“Janganlah seorang ibu mendapatkan kemudhorotan disebabkan oleh anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya.”(QS. Al Baqoroh : 233)

4. Firman Alloh Ta’ala :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”
(QS. Ath Tholaq : 6)

5. Firman Alloh dalam hadits Qudsi :
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
“Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kedholiman atas diriKu, maka janganlah kalian saling mendholimi.”(HR. Muslim 4/1994)dan masih banyak lagi dalil lainya.

Penerapan kaedah
Kayaknya tidak mungkin untuk menyebutkan semua penerapan kaedah ini, namun kita isyaratkan pada sebagiannya saja, adapun yang lainnya silahkan untuk di qiaskan sendiri dengan yang sudah ada.

Diantara penerapan kaedah ini, ada yang terambil dari atsar para sahabat ataupun yang ditegaskan oleh para ulama’. Diantaranya adalah :

1. Barang siapa yang barangnya dirusak oleh orang lain, maka dia tidak boleh merusak barang milik orang lain tersebut, karena itu akan memperluas kemadhorotan tanpa ada faedah yang berarti, namun cukup dengan meminta ganti rugi.

2. Seandainya ada seseorang yang menyewa tanah orang lain untuk ditanami padi atau tanaman lainnya, lalu habis masa sewa padahal padi masih belum waktunya panen, maka tanah itu masih berada dalam genggaman yang menyewa sampai masa panen dengan membayar sewa tanah tambahan sesuai adat yang berlaku di masyarakat, itu demi menghilangkan kemadhorotan kalau tanaman harus di panen sebelum waktunya.

3. Haram merokok, karena itu akan membahayakan diri pelaku dan orang yang ada disekitarnya.

4. Boleh bagi pemerintah untuk melarang para pedagang dari mengimport barang dari luar negeri kalau hal itu akan membahayakan perkonomian dalam negeri, begitu pula sebaliknya boleh bagi pemerintah untuk melarang eksport barang keluar negri kalau barang tersebut sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan penduduk negeri tersebut.

5. Dilarang menimbun makanan atau benda lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena itu akan membahayakan mereka.

6. Kalau ada seseorang yang pesan kepada tukang kayu untuk dibuatkan lemari, maka dia wajib untuk menerimanya kalau si tukang telah membuatkan sesuai dengan kriteria yang disepakati, karena kalau tidak maka akan memadhorotkan tukang kayu tersebut.

Cabang-cabang kaedah لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ
Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan

Ada beberapa kaedah yang merupakan cabang dari kaedah besar ini. Diantaranya adalah :
Kaedah pertama :

الضَرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
(Sesuatu yang membahayakan harus diantisipasi semampunya)

Makna kaedah
Bahwa secara hukum syar’i, sesuatu yang membahayakan itu harus diantisipasi semampunya jangan sampai terjadi, kalau hal itu bisa dilakukan dengan tanpa menimbulkan bahaya lainnya, maka itulah yang sebenarnya harus dilakukan. Namun jika tidak memungkinkan, maka dilakukan semampunya meskipun menimbulkan bahaya yang lebih kecil.

Kaedah ini memberikan sebuah faedah untuk menggunakan segala cara yang memungkinkan demi sebuah tindakan preventif atau antisipasi jangan sampai ada sebuah bahaya yang akan datang, sebagaimana ungkapan yang masyhur “menjaga itu lebih baik daripada mengobati”. Dan untuk melakukan hal ini maka dengan batas kemampuan yang ada.

Dalil kaedah :
Diantara yang mendasari kaedah ini adalah firman Alloh :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”(QS. An Anfal : 60)

Sisi pengambilan dalil dari ayat ini bahwa Alloh memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan kekuatan diri untuk mencegah bahaya yang akan datang dari musuh. Hal itu untuk menakut nakuti mereka, sehingga mereka tidak akan menyerang kaum muslimin, dan seandainya mereka menyerang, maka kaum muslimin sudah punya persiapan diri.

Contoh penerapan kaedah :
• Disyariatkan jihad untuk menolak bahaya yang datang dari musuh islam
• Adanya syariat hukuman bagi para pelaku tindakan kriminal untuk menjaga jangan sampai orang dengan mudah berbuat kejahatan, karena kalau seseorang mengetahui bahwa kalau dia berbuat jahat akan mendapatkan hukuman yang setimpal maka itu kan menyurutkan niatnya.
• Boleh untuk menolak transaksi dari seorang yang safih (orang tidak mengerti mengatur keuangan dengan baik) juga dari seorang yang muflis (orang bangkrut dan mempunyai banyak hutang) untuk menahan bahaya yang akan muncul pada hartanya safih maupun orang yang menghutangi muflis tersebut.

Kaedah kedua :
الضَرَرُ يُزَالُ
(Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan)


Makna kaedah :
Makna kaedah ini hampir mirip dengan kaedah pokok, yaitu setiap yang membahayakan itu harus atau boleh dihilangkan.

Contoh penerapan kaedah :
• Apabila ada seseorang yang mengalirkan air bekas mandi maupun cuci dari rumahnya ke jalan sehingga mengotori dan membuat banjirnya jalanan dan mengganggu orang yang lewat dijalan tersebut, maka pemilik rumah tersebut harus membuntunya atau mengalirkan ke arah lainnya.
• Jika ada seseorang yang membuat bangunan sampai ke arah jalan umum sehingga mengganggu orang atau kendaraan yang lewat, maka harus di robohkan bangunan yang mengganggu tersebut
• Jika ada pohon milik seseorang yang tinggi dan besar sehingga dahannya mengganggu tetangga, maka harus dipoting dahan tersebut.

Kaedah ketiga :
الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ
(Sesuatu yang membahayakan itu tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang membahayakan juga.)


Makna kaedah :
Bahwa kewajiban untuk menghilangkan sesuatu yang membahayakan itu harus jangan sampai menimbulkan kemadhorotan lain yang semisalnya, jadi syarat menghilangkan kemadhorotan adalah dengan sesuatu yang tanpa adanya kemadhorotan yang lain atau dengan kemadhorotan yang lebih kecil.
Jadi sebenarnya kaedah ini adalah pengkhususan dari kaedah yang sebelumnya.

Contoh penerapan kaedah :
• Kalau ada seseorang yang dipaksa membunuh orang lain, jika tidak membunuh maka dia akan dibunuh, maka tidak boleh dia membunuh, karena madhorot yang akan ditimbulkannya sepadan dengan madhorot yang sekarang ada.
• Kalau ada seseorang yang merusak benda milik orang lain, maka tidak boleh bagi yang dirusak untuk membalas merusak merusak benda orang yang merusak tadi. Tapi dia berhak untuk meminta ganti rugi.
Kaedah keempat :
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
(Apabila berbenturan antara dua hal yang membahayakan, maka harus dihilangkan madhorot yang paling besar meskipun harus mengerjakan madhorot yang lebih kecil)

Makna kaedah :
Kalau sebuah perkara itu dilakukan ataupun tidak dilakukan akan menimbulkan kemadhorotan, maka harus ditimbang antara madhorot yang besar dengan yang kecil, dan boleh mengerjakan madhorot yang kecil demi menghilangkan madhorot yang besar.

Dalil kaedah :
Kaedah ini didasari oleh banyak dalil, diantaranya :

Dalil al Qur’an
Kisah Nabi Musa dengan Khidr. Alloh berfirman :
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku” Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan udzur padaku”. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
(QS. Al Kahfi : 71-81)

Sisi pengambilan dalil dari kisah ini, bahwa tatkala benturan antara dua mafsadah, yaitu merusak perahu dengan mafsadah akan dirampas oleh raja yang dholim, maka nab Khidhr memilih merusak, karena mafsadahnya lebih kecil. Begitu juga dengan perbuatan beliau membunuh anak kecil yang dengan wahyu dari Alloh beliau mengetahui bahwa dia akan memaksa orang tuanya menjadi kafir, maka beliau membunuhnya karena pembunuhan anak kecil itu lebih kecil mafsadahnya dibandingkan kekufuran, karena orang tua mereka masih mungkin mendapatkan anak lainnya.

Dalil as Sunnah :
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا « أَلَمْ تَرَىْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوُا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ » . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ . قَالَ « لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ

Dari Aisyah bahwasannya Rosululloh berkata kepadanya : “Tidakkah engkau mengetahui bahwa kaummu (Quraisy) tatkala membangun ka’bah kurang dari pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim ? maka saya berkata : “Ya Rosululloh, kenapa tidak engkau kembalikan kepada pondasinya Nabi Ibrohim ? maka Rosululloh menjawab : “Seandainya bukan karena kaummu masih baru keluar dari kekufuran niscaya akan aku lakukan.”
(HR. Bukhori Muslim)

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini sangat jelas, yaitu tatkala benturan antara salahnya bangunan ka’bah yang tidak sesuai dengan pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim dengan mafsadah fitnah yang akan muncul seandainya Rosululloh membongkar ka’bah padahal orang-orang Quraisy masih baru masuk islam, maka beliau memilih mafsadah membiarkan ka’bah apa adanya karena mafsadahnya lebih kecil.
Dan masih banyak hadits-hadist yang menunjukkan atas hal ini.

Contoh penerapan kaedah :
• Seandainya orang yang sholat seandainya dia berdiri akan terbuka aurotnya, sedangkan kalau sambil duduk tidak terbuka, maka dia sholat sambil duduk, karena mafsadah terbuka aurot lebih besar dibandingkan mafsadah sholat sambil duduk.
• Apabila seorang wanita meninggal dunia dalam keadaan di perutnya ada janin yang masih hidup dan kalau dikeluarkan dengan bedah akan bisa menyelamatkan jiwanya, maka boleh membedah perut mayit demi keselamatan bayinya.

Kaedah kelima :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(Menghilangkan kemadhorotan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemashlahatan)

Makna kaedah :
Maksudnya adalah kalau berbenturan antara menghilangkan sebuah kemadhorotan dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan maka di dahulukan menghilangkan kemadlorotan, kecuali kalau madhorot itu lebih kecil dibandingkan dengan mashlahat yang akan ditimbulkan.

Dalil kaedah :
Firman Alloh :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
(QS. Al An’am : 108)

Sisi pengambilan dalil dari ayat ini bahwa memaki sesembahan orang kafir ada sebuah manfaat yaitu merendahkan agama dan sesembahan mereka, namun tatkala maslahat itu berdampak mereka akan mencela dan memaki Alloh, maka Alloh melarang mencela sesembahan mereka.

Timbangan maslahat dan mafsadah

Meskipun demikian, kaedah ini tidaklah berlaku secara mutlak, namun perlu untuk diperinci dengan melihat besar kecilnya maslahat dan mafsadah, yaitu :

1. Jika mafsadahnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka menghindari mafsadah itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut.

2. Jika maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadah yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadahnya.Oleh karena itu jihad berperang melawan orang kafir disyariatkan, karena meskipun ada mafsadahnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat menegakkan kalimat Alloh dimuka bumi jauh lebih utama dan lebih besar.

3. Apabila maslahat dan mafsadah seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadah lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada

Contoh penerapan kaedah :
• Dilarang jual beli khomer, babi dan lainnya meskipun ada maslahat dari sisi ekonomi
• Jika bercampur antara daging yang halal dan yang haram dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, maka semuanya tidak boleh dimakan, karena menolak mafsadah makan daging haram lebih dikedepankan daripada maslahat daging yang halal.
• Larangan membuat jendela rumah kalau dengannya bisa melihta aurot tetangganya, meskipun itu ada maslahat baginya.
http://ahmadsabiq.com/

Thursday, August 5, 2010

Kesulitan Membawa Kemudahan


المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Kesulitan membawa kemudahan

Makna Kaedah
المَشَقَّةُ berarti kepayahan, kesulitan dan kerepotan.
التَّيْسِيْرَ artinya adalah kemudahan dan keringanan.

Dari sini maka secara bahasa kaedah ini mempunyai pengertian bahwa sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.

Adapun secara istilah para ulama’, maka kaedah ini berarti :
Hukum-hukum syar’i yang dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan bagi seorang mukallaf (orang yang diberi beban syar’i) maka syariat islam meringankanya agar bisa dilakukan dengan mudah dan ringan.
(Lihat Al Wajiz Fi Idlohi Qowa’id Fiqh Kulliyah oleh DR. Muhammad Shidqi al Burnu hal : 218)

Dalil Kaedah
Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan pada kaedah ini, yang bisa kita ringkaskan menjadi sebagai berikut :

Dalil Al Qur’an Al Karim
• Alloh berfirman :
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Alloh menginginkan bagi kalian kemudahan dan tidak mengiginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. Al Baqoroh : 185)
• Alloh berfirman :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Alloh tidak membebani seorang jiwa kecuali sesuai kemampuannya.”
(QS. Al Baqoroh : 286)
• Alloh juga berfirman :
رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآإِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَطَاقَةَ لَنَا بِهِ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami, Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.”
(QS. Al Baqoroh : 286)
• Alloh Ta’ala berfirman :
يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنكُمْ
“Alloh menginginkan untuk meringankan atas kalian.”(QS. An Nisa’ : 28)
• Firman Alloh :
مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ
“Alloh tidak hendak menyulitkan kalian.”(QS. Al Ma’idah : 6)
• Alloh berfirman :
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Alloh sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS. Al Hajj : 78)
Dalil as Sunnah :
• Hadits Abu Umamah
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلَا بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Dari Abu Umamah berkata : Rosululloh bersabda : “Saya tidak diutus dengan membawa agama Yahudi dan Nashroni namun saya diutus membawa agama yang lurus lagi mudah.”
(HR. Ahmad 5/266 (21788)
• Hadits Abu Huroiroh :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Dari Abu Huroiroh berkata : “Ada seorang Arab Badui yang kencing dimasjid, lalu para sahabat memarahinya, maka Rosululloh bersabda : “Biarkan dia, tuangkan saja pada kencingnya air satu timba, sesunguhnya kalian diutus untuk membawa kemudahan dan bukan diutus untuk menyulitkan.”(HR. Bukhori 220, Muslim)
• Hadits Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّه عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
Dari Aisyah berkata : “Tidaklah Rosululloh diberi pilihan untuk memilih antara dua perkara kecuali beliau akan memilih yang paling mudah, selagi hal itu bukan perbuatan dosa. Namun jika itu perbuatan dosa maka Rosululloh adalah orang yang paling jauh darinya” (HR. Bukhori 3560 Muslim 2327)

Semua ayat dan hadits ini memberikan sebuah faedah bahwa agama islam tidak datang untuk membawa kesulitan akan tetapi datang dengan membawa kemudahan.

Syaikh Abdur Rohman As Sa’di berkata :
“Seluruh syariat islam ini lurus dan mudah, Lurus dalam masalah tauhid yang dibangun atas dasar beribadah hanya kepada Alloh saja yang tiada sekutu bagiNya, serta mudah dalam hal hukum dan amal perbuatan. Lihatlah !!! sholat lima waktu yang wajib dikerjakan dalam satu hari satu malam tidaklah mengambil waktu kecuali hanya sedikit sekali, begitu pula zakat, itu hanya sebagian kecil dari seluruh harta dan itupun harta yang berkembang bukan harta yang tidak berkembang, serta setiap tahun hanya wajib sekali. Begitu juga dengan puasa cuma satu bulan dalam satu tahun. Adapun masalah haji, maka itu hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu melaksanakanya. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka hanyalah dilakukan kalau ada sebabnya, semuanya amatlah mudah. Alloh juga mensyariatkan banyak sebab yang bisa membantu seseorang agar giat dalam menjalankan semua ibadah tersebut.”
(Al Qowa’id wal Ushul Jami’ah oleh Syaikh As Sa’di hal : 20)

Kalau engkau cermati maka engkau akan mengetahui bahwa tidak ada yang berat dan membawa masyaqoh dalam syariat islam, sebagaimana firman Alloh diatas, namun perlu diketahui bahwa sesuatu yang berat dalam syariat itu ada tiga macam :

Macam-macam masyaqqoh :
• Masyaqqoh yang diluar kemapuan manusia
Maka ini tidak mungkin terdapat dalam syariat islam.
Misalkan : berpuasa sepuluh hari berturut turut siang dan malam, berjalan diatas air, terbang tanpa alat dan lainnya. Ini semua tidak mungin disyariatkan oleh Alloh dan Rosul Nya.
• Masyaqqoh yang biasa.
Masyaqqoh model ini mesti ada dalam semua beban syari, karena semua perintah dan larangan pasti akan membawa sedikit beban pada jiwa yang diberi beban tersebut. Maka masyaqqoh model ini terdapat dalam syariat islam dan bukan yang dimaksud dengan ayat dan hadits diatas.
Misal :
Puasa sehari dari terbit fajar sampai terbenam matahari, ini pasti ada masyaqohnya akan tetapi dalam kadar yang wajar.
Sholat shubuh, ini juga ada sedikit masyaqqoh, karena harus bangun dan berwudlu disaat mungkin masih ngantuk atau udara dingin. Namun semua ini masyaqoh dalam batas yang wajar
Begitu juga mengeluarkan zakat dari sebagian harta dan lainnya.
• Masyaqqoh yang sangat amat berat meskipun sebenarnya mampu dilakukan oleh manusia.
Masyaqqoh yang ini juga tidak terdapat dalam syariat islam, karena keutaman Alloh yang diberikan kepada hamba Nya.
Misalnya : Sholat lima puluh kali sehari semalam, seandainya Alloh memerintahkannya kepada manusia maka hal ini bisa dilakukan oleh mereka, namun dengan sebuah masyaqqoh yang sangat berat sekali. Oleh karena itu Alloh tidak mensyariatkan hal ini pada ummat islam.

Namun jika masyaqqoh yang terdapat dalam syariat islam yang sebenarnya adalah masyaqoh yang wajar, namun suatu ketika menjadi sulit dan berat karena ada sebab tertentu maka Alloh memberikan keringanan dan keluasan kepada hambaNya. Misalkan puasa pada siang hari bulan Romadhon yang asalnya adalah sebuah masyaqqoh yang ringan, namun saat sakit atau safar akan menjadi berat, maka dari itu Alloh memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak berpuasa saat itu dan wajib menggantinya pada saat lain, sebagaimana firman Nya :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqoroh : 185)

Begitu pula harus difahami, bahwa jika Alloh dan Rosul Nya mensyariatkan sesuatu yang kelihatannya sangat berat, maka harus difahami dengan dua kemungkinan :
• Kita harus meyakini bahwa dibalik syariat yang berat tersebut ada hikmah dan tujuan yang jauh lebih besar.
Misalnya : Syariat jihad berperang dijalan Alloh melawan orang kafir. Syariat ini kelihatan berat karena harus mengorbankan harta benda, keluarga bahkan jiwa. Mungkin dengan jihad ini seorang wanita kehilangan suaminya dan seorang anak kehilangan ayahnya. Namun dibalik itu semua ada hikmah berharga yaitu meninggikan kalimat Alloh dimuka bumi dan Alloh menyediakan pahala yang sangat besar bagi para mujahid fisabilillah.
• Kalau tidak demikian, maka harus kita sadari bahwa apa yang dianggap berat itu sebenarnya bukan sebuah keberatan, namun karena jiwa manusia yang kotorlah yang menganggap itu berat. Bukankah kalau seseorang sedang sakit maka makanan yang sebenarnya tidak keras pun terasa keras, bukanlah kalau sedang sakit makanan yang sebenarnya manis pun terasa pahit. Sadarilah !!!
Sebab-sebab keringanan

Kalau kita cermati tentang sebab-sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan keringanan syar’i adalah :
1. Safar
Safar adalah sepotong adzab, karena banyak kesulitan dan kerepotan saat dalam sebuah perjalanan jauh, oleh karena itu Alloh memberikan beberapa keringanan dalam menjalankan sebuah syariat saat safar.
Diantaranya adalah mengqoshor dan menjama’ sholat, boleh tidak berpuasa pada bulan Romadhon namun harus mengganti pada bulan lainnya, bolehnya mengusap sepatu tiga hari tiga malam sedangkan kalau tidak safar hanya boleh sehari semalam, boleh tidak berjamaah juga tidak sholat jum’at dan lainnya.
2. Sakit
Keringanan yang didapatkan karena sakit misalnya bolehnya bertayamum sebagai ganti dari berwudlu, boleh tidak berpuasa pada bulan Romadhon namun menggantinya pada bulan lain, bolehnya sholat dengan duduk atau berbaring dan lainnya.
3. Terpaksa
Contoh keringanan karena sebab terpaksa adalah bolehnya mengucapkan kalimat kufur dengan syarat hatinya masih teguh diatas keimanan, sebagaiman kisah Ammar bin Yasir yang dipaksa kufur dengan siksaaan yang sangat berat, maka beliau mengucapkan kalimat kufur namun hatinya tetap teguh diatas keimanannya. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ
“Barangsiapa yang kafir kepada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Alloh menimpanya dan baginya azab yang besar.(QS. An Nahl : 106)
4. Lupa
Orang yang lupa makan dan minum siang hari bulan Romadhon tidak batal puasanya, juga tidak berdosa orang yang lupa tidak sholat sampai keluar waktunya, hanya saja kalau dia ingat maka wajib melaksanakannya saat itu juga.

Sebagaimana sabda Rosululloh :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Dari Anas berkata : Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang lupa sholat atau ketiduran belum mengerjakannya, maka kaffarohnya adalah mengerjakannya saat dia ingat.” (HR. Bukhori 597, Muslim 684)
5. Bodoh
Terkadang bodoh adalah sebuah sebab seseorang mendapatkan keringanan, misalnya orang yang baru masuk islam dan belum mengetahui bahwa khomer itu hukumnya haram, lalu dia meminumnya maka tidak ada dosa atasnya dan tidak ada hukuman akhirat.
6. Sulit menghindarinya
Dalam keadaan-keadaan tertentu, manusia sulit sekali menghindari sesuatu yang pada dasarnya adalah tidak boleh, maka hal itu bisa diberi keringanan karena kesulitan tersebut.
Misalnya : Tidak dinajiskanya kucing karena binatang ini sangat sering bergaul dengan manusia, keluar masuk rumah dan lainnya, maka seandainya dinajiskan maka akan sangat memberatkan.
Oleh Karena itu tatkala Rosululloh ditanya tentang najisnya kucing beliau menjawab :
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
“Sesungguhnya dia tidak najis, karena dia binatang yang selalu keliling pada kalian.”
(Shohih HR. Abu Dawud : 75, Nasa’i 1/55, Tirmidzi : 92, Ibnu Majah 367)
7. Kekurangan
Ada beberapa kekurangan yang terdapat pada seseorang, baik kekurangan dalam fisik, akal ataupun lainnya, maka semua kekurangan tersebut bisa menjadi sebab mendapatkan keringanan.
Misalnya orang yang kurang fisiknya maka tidak wajib jihad, contohnya orang yang buta atau pincang yang parah. Adapun kekurangan umur atau belum baligh dan kurang akal, maka orang yang belum baligh dan kurang waras tidak diberi kewajiban syar’i.

Macam-macam keringanan
Kalau kita cermati beberapa misal diatas, maka akan dapat kita simpulkan bahwa keringanan yang diberikan oleh Alloh dan Rosul Nya meliputi beberapa macam :
• Digugurkan kewajiban
Misalnya orang yang haidl dan nifas tidak boleh sholat dan tidak wajib mengqodlo’
• Dikurangi dari aslinya
Misalnya sholat dhuhur yang asalnya empat rokaat, namun bagi musafir hanya dikerjakan dengan dua rokaat
Diganti dengan yang lain
Semacam mengganti wudlu dan mandi junub dengan bertayammum saja kalau terdapat sebab yang membolehkan tayammum
Memajukan dari waktu yang sebenarnya
Misalnya orang boleh untuk mengerjakan waktu ashar diwaktu dhuhur, karena sedang bepergian atau sedang ada keperluan yang mendesak. Juga bolehnya membayar zakat fithri maupun zakat mal sebelum waktu wajibnya.
Mengakhirkan dari waktu yang sebenarnya
Misalnya bolehnya mengerjakan shoat dhuhur di waktu ashar serta waktu maghrib di waktu isya’ saat sedang safar atau ada sebuah keperluan yang mendesak
Saat terpaksa yang haram jadi boleh
Orang yang sangat kelaparan, maka dia boleh memakan bangkai bahkan terkadang jadi wajib memakan bangkai tersebut kalau seandainya tidak memakanya akan mengakibatkannya meninggal dunia.
Merubah
Seperti perubahan tatacara sholat saat berada dikancah medan pertempuran, yang disebut dengan sholat khouf.
(Lihat Al Wajiz hal : 227-229)

Penerapan kaedah
Banyak sekali cabang-cabang fiqh yang tercakup dalam kaedah ini, saya sebut beberapa diantaranya :
• Pada dasarnya bangkai adalah haram, namun kalau seseorang dalam keadaan terpaksa maka diperbolehkan baginya makan bangkai tersebut bahkan mungkin menjadi wajib
• Aruransi konvensional itu hukumnya haram, karena banyak mengandung unsur kedholiman, riba serta lainnya. Namun pada zaman sekarang ini sistem asuransi ini hampir ada disemua sektor kehidupan, misalnya kalau masuk terminal harus membayar peron yang disitu mesti ada sebagian uangnya untuk PT Asuransi dan lainnya, maka diperbolehkan membayar uang peron tersebut meskipun mengandung unsur asuransi karena akan sangat sulit sekali menghindarinya.
• Kalau sulit mendapatkan sesuatu dengan cara yang meyakinkan, maka diperbolehkan menggunakan dhon (persangkaan) yang kuat meskpun tidak sampai yakin. Dan ini banyak kita dapatkan dalam fiqh islami. Misalkan Orang yang tidak mengetahui arah kibat lalu sudah berusaha mencarinya namun tidak mendapatkanya, maka dia bisa menggunakan berbagai macam qorinah untuk menguatkan arah kiblat lalu sholat mengarah kesana meskipun dia sendiri belum yakin bahwa itulah arah kiblat.
• Pada dasanya tidak boleh menjual barang yang tidak diketahui bendanya secara langsung, namun karena banyak keperluan akan hal ini, maka diperbolehkan jual beli pesanan, dengan cara pembeli barang bayar kontan duluan, namun barangnya akan di terima belakangan dengan menyebutkan kretria tertentu, begitu juga diperbolehkannya jual beli biji-bijian yang masih dalam tanah serta menjual buah yang masih dalam pohonnya karena keperluan yang mendesak akan hal itu.
• Pada dasanya benda najis harus dihilangkan bendanya, namun karena kesulitan maka diperbolehkan untuk mensucikan benda najis yang menempel di sandal dan pakaian wanita yang dipakai berjalan pada jalanan yang najis, hanya sekedar dipakai berjalan dijalan setelahnya yang suci.
http://ahmadsabiq.com/

Wednesday, August 4, 2010

Sesuatu Yang Yakin Tidak Bisa Hilang Dengan Keraguan


Makna Kaedah

اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ : yang artinya air itu tenang dikolam.

Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ

Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
• اليَقِيْنُ: keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
• الظَنُّ : persangkaan kuat
Contoh : apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
• الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
• الوَهْمُ : Persangkaan lemah
Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ
Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali , maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam :
• الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
• الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui.
(Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi makna kaedah diatas adalah :
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.”(Lihat Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169)

Dalil KaedahKaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh, diantaranya :
Firman Alloh Ta’ala :

وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(QS. Yunus : 36)

Hadits Rosululloh :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”(HR. Muslim : 362)

Imam Nawawi berkata:
“Hadits ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam masalah fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada hukum asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.”(Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)

عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata : “Bahwasannya ada seseorang yang mengadu kepada Rosululloh bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh bersabda : “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”(HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)

Imam Al Khothobi berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang yakin.”(Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”(HR. Muslim : 571)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Dari Abdur Rohman bin Auf berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.”
(HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdulloh bin Umar berkata : “ Rosululloh bersabda : “Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon, juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.”(HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)

Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh hari.”

Kedudukan Kaedah
Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam islam, baik yang berhubungan dengan fiqh maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencakup tiga perempat masalah fiqh atau mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal : 51)

Imam Nawawi berkata :
“Kaedah ini adalah adalah sebuah kaedah pokok yang mencakup semua permasalahan,dan tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.”
(Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 1/205)

Imam Ibnu Abdil Bar berkata :
“Para ulama’ telah sepakat bahwa bahwa orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? bahwasannya keraguannya ini tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini adalah sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqh.”(Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27)

Imam Al Qorrofi berkata:
“Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasanya sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.”(Al Furuq 1/111)

Imam Ibnu Najjar berkata :
“Kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqh saja, bahkan bisa dijadikan dalil bahwasanya semua perkara yang baru itu pada dasarnya dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaannya, sehingga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasaranya sebuah perkataan itu dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukan pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukan pada keharaman serta masalah lainnya.”(Lihat Syarah al Kaukab al Munir 4/443)

Penerapan Kaedah
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua permasalahan syar’i, maka cukup disini disebutkan sebagainnya saja sebagai sebuah contoh :
• Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
• Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
• Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
• Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
• Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
• Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
• Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
• Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telah lunas.
Wallohu a’lam
http://ahmadsabiq.com/

Monday, August 2, 2010

Kaidah Fiqh: Amal itu Tergantung Niatnya


Studi Kaidah Fiqh (Bag. II)
KAIDAH BESAR

Kaedah Pertama

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

AmalPerbuatan Itu Tergantung pada Niatnya

I. Asal Kaedah
Lafadz diatas adalah petikan dari sebuah hadits Rosululloh yang sangat masyhur dari Umar bin Khothob

عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Umar bin Khothob berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang hijrohnya untuk Alloh dan Rosul Nya maka hijrohnya itu untuk Alloh dan Rosul Nya, dan barangsiapa yang hijrohnya untuk mendapatkan dunia maka dia akan mendapatkannya atau hijrohnya untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya, maka hijrohnya itu tergantung pada apa yang dia hijroh untuknya.”(HR. Bukhori 1, Muslim 1907)

Kaedah dengan lafadl diatas lebih saya utamakan untuk dijadikan sebagai sebuah kaedah daripada lafadl yang sangat masyhur yaitu :

الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

“Semua perkara itu tergantung pada tujuannya.”

Hal ini minimalnya disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1. Lafadl diatas adalah lafadl syar’i, dan bagaimanapun juga sebuah lafadl yang terdapat dalam al Kitab dan as Sunnah itu lebih dikedepankan serta diutamakan daripada lainnya.
Sebagai sebuah contoh adalah apa yang ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin bahwa menggunakan lafadl tamtsil itu lebih bagus daripada lafadl tasybih 1, hal ini dikarenakan lafadl yang terdapat dalam al Qur’an adalah tamtsil, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tiada sesuatupun yang serupa dengan Alloh.” (QS. Asy Syuro : 11)
(Lihat Syarah Qowaid Mutsla hal : 66)

Oleh karena itu para ulama’ faroidl saat mengungkapkan adanya orang yang meninggal dunia dengan lafadl : “إِذَا هَلَكَ هَالِكٌ “ yang secara leterlek bahasa Indonesia berarti : Apabila ada orang yang binasa, dan mereka tidak menggunakan bahasa yang kedengarannya lebih halus misalkan : “ إِذَا تُوُفِّيَ رَجُلٌ “ yang artinya adalah : “Apabila ada seseorang yang wafat.” Hal ini disebabkan karena bahasa al Qur’an menggunakan ungkapan yang pertama, sebagaimana firman Nya :

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“Jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut setengah dari harta yang ditinggalkannya.”(QS. An Nisa’ : 176)

2. Lafadl tersebut diatas adalah apa yang diungkapkan oleh Rosululloh, sedangkan beliau adalah seseorang yang diberikan oleh Alloh Jawami’ul kalim yaitu sebuah ucapan yang pendek lafadlnya namun mengandung makna yang sangat banyak. Sebagaimana sabdanya Rosululloh :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ : فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ : أُعْطِيْتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ ….”
Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rosululloh bersabda : “Saya diberi keutamaan diatas para nabi dengan enam perkara, yaitu : Saya diberi jawami’ul kalim,…”
(HR. Muslim 523)
Oleh karena itulah maka Imam As Subki berkata saat menerangkan kaedah : “الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا “ : “Dan yang lebih bagus daripada lafadl ini adalah ucapan seseorang yang diberi jawami’ul kalim yaitu : “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “ (Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh As Subki 1/54)
.
II. Urgensi kaedah ini

Kaedah ini adalah sebuah kaedah yang sangat penting, masuk didalamnya semua permasalahan agama.
• Imam Ibnu Rojab saat menerangkan hadits Umar diatas berkata:
“Dua kalimat ini adalah dua kalimat yang mencakup semua hal, dan merupakan sebuah kaedah yang universal, tidak ada sesuatupun yang keluar darinya.”
(Lihat Jami’ Ulum wal Hikam hal : 12)
• Cukuplah untuk mengetahui pentingnya kaedah ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Asy Syathibi :
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun adat 2, dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa terhitung, dan cukuplah bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan adat ataupun ibadah, niat juga yang membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah bukan wajib, juga dalam masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib ataukah sunnah, mubah, makruh ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan tidaknya serta hukum-hukum lainnya yang berhubungan dengan hal ini.” (Lihat Al Muwafaqot 2/323)
• Imam Al Khothobi saat menerangkan hadits Umar diatas pun berkata:
“Hadits ini adalah salah satu dasar pokok dalam agama, banyak hukum yang tergabung didalamnya. Maknanya adalah bahwasannya sah tidaknya amal perbuatan dalam agama ini tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya niat itulah yang membedakan mana yang sah dengan yang tidak sah dalam sebuah amal perbuatan.”
(I’lamul Hadits oleh Imam Al Khothobi 1/112)

III. Beberapa masalah yang berhubungan dengan niat

A. Pengertian niat
Secara bahasa, niat adalah bentuk mashdar dari akar kata نَوَى يَنْوِيْ yang maknanya adalah bermaksud atau bertekad untuk melakukan sesuatu. (Lihat Lisanul Arob Ibnu Ibnu Mandhur bab نوى)
Sedangkan secara istilah, makna niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan kepada Alloh dengan melakukan atau meninggalkan sesuatu. (Lihat Asybah wan Nadzo’ir oleh Ibnu Nujaim hlm : 29)

B. Tempat niat
Tidak ada perselisihan dikalangan para ulama’ bahwa tempatnya niat adalah didalam hati.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata :
• “Tempat niat itu di hati, bukan di lisan berdasarkan kesepakatan para ulama’.”
• “Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya.”
(Majmu’ Rosa’il Kubro 1/243)

Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Demikianlah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata :
“Seandainya seseorang mengucapkan dengan lisannya berbeda dengan apa yang dia niatkan dalam hatinya, maka yang dianggap adalah yang dia niatkan bukan yang dia ucapkan, dan seandainya seseorang mengucapkan dengan lisannya namun tidak ada niat dalam hatinya maka niat tersebut tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.”

Untuk sedikit meluaskan masalah ini silahkan lihat:
1. Zadul Ma’ad 1/196,
2. Ighotsatul Lahfan 1/134,
3. Syarhul Mumti’ 1/159, dan lainnya

C. Fungsi niat
<em>Fungsi niat ada dua :Pertama : Membedakan antara adat dengan ibadah
Karena hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang berupa adat. Misalnya :
Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta semua yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi juga mungkin dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani operasi atau sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus dibedakan dengan niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah, sedangkan kalau diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.
Contoh lain berwudlu, yang hakekatnya membasuh dan mengusap anggota badan tertentu dengan cara tertentu. Perbuatan semacam ini bisa dilakukan seseorang karena akan menjalankan sholat, namun bisa juga dilakukan oleh seseorang hanya karena ingin mendinginkan badan. Maka yang pertama menjadi ibadah dan yang keduanya hanyalah adat belaka dan bukan ibadah.

Kedua :Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya
Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam. Ambil misal tentang sholat, sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan yang wajib ada berbagai macam begitu pula dengan yang sunnah, maka untuk membedakan antara keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.
Begitu pula masalah puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada seseorang yang puasa pada hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu puasa hari Senin, atau puasa enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo Romadhon atau mungkin puasa kaffaroh dan masih ada kemungkinan lainnya, maka untuk menentukan salah satunya harus dengan niat.

D. Macam-macam niat
Niat ada dua macam:
1. Niat amal
• Yang dimaksud dengan niat amal adalah bahwasannya dalam mengerjakan sebuah amal perbuatan harus diniati dengan niat tertentu tentang apa jenis dan macam dari ibadah tersebut. Yang atas dasar inilah, maka tidak akan sah sebuah jenis cara bersuci, sholat, zakat dan ibadah lainnya kecuali dengan adanya niat, seseorang harus meniatkan ibadah tersebut, dan jika ibadah itu terdapat berbagai jenis dan macamnya, maka harus menentukan macam dan jenis apa ibadah tersebut. Sebagai sebuah contoh adalah sholat, maka seseorang harus menentukan dengan niatnya apakah dia sholat wajib ataukah sunnah, dan jika sholat itu wajib maka harus ditentukan apakah itu sholat dhuhur ataukah ashar dan seterusnya.
• Niat inilah yang juga membedakan antara adat dengan ibadah. Sebagai sebuah contoh bahwasannya mandi itu bisa cuma berfungsi untuk membersihkan badan saja, namun bisa juga untuk menghilangkan hadats besar, itu semua tergantung pada niatnya.
• Fungsi niat amal ini untuk menentukan apakah amal perbuatan ini sah ataukah tidak.

2. Niat ma’mul lahu (untuk siapakah amal perbuatan tersebut ditujukan ?)
• Dan inilah yang kita sebut dengan ikhlas, yaitu harus meniatkan semua amal perbuatan itu hanya untuk Alloh Ta’ala saja bukan lainnya. Alloh berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Alloh dengan mengikhlaskan agama hanya kepada Nya.” (QS. Al Bayyinah : 5)
• Dan niat yang ini untuk menentukan apakah amal perbuatan itu diterima oleh Alloh ataukah tidak. (Lihat Bahjah Qulubil Abror oleh Syaikh Abdur Rohman As Sa’di hal : 6,7)

IV. Contoh penerapan kaedah

Kaedah ini mencakup semua permasalahan hukum syar’i, namun cukuplah sebagai sebuah gambaran, saya sebutkan beberapa contoh penerapannya, yaitu :
1. Barang siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang membolehkannya, maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri, sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
2. Barang siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosib (orang yang mengambil harta orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda), maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali kalau sengaja dia merusaknya. (Lihat Al Wajiz Fi Idlohi Qowaidil Fiqh oleh DR. Muhammad Shidqi hal : 124)
3. Orang yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah kepada Alloh, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya mubah. (Lihat Bahjah Qulubil Abror hal : 14)
4. Barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal
5. Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia memakainya, maka berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut, yang mana dia harus menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya. Namun kalau setelah dia pakai itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
6. Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu siang, namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.

Faedah :
Sebagian orang ada yang menyalahgunakan kaedah ini, mereka mengatakan bahwa semua amal perbuatan itu tergantung niatnya, baik amal tersebut baik ataupun jelek. Yang atas dasar ini mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan perayaan maulid nabi misalnya, akan mendapatkan pahala karena niatnya untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rosululloh, juga orang yang mencuri bisa saja mendapatkan pahala kalau dia berniat untuk membantu orang yang faqir dengan hasil curiannya. Dan masih banyak gambaran salah lainnya dari kaedah ini.

Untuk menjawab hal ini cukup, saya katakan beberapa point berikut :
1. Wajib bagi seorang muslim kalau ingin menghukumi sebuah masalah, jangan hanya mengambil satu atau dua buah dalil serta meninggalkan lainnya, namun hendaklah dia melihat semua dalil syar’i yang berhubungan dengan masalahnya lalu baru dia hukumi.
2. Berdalil dengan kaedah ini untuk hal diatas adalah sebuah kesalahan fatal, karena kaedah ini cuma untuk menjelaskan salah satu pokok dan dasar bisa diterimanya sebuah amal, yaitu masalah ikhlash kepada Alloh Ta’ala dalam semua amal perbuatan yang dilakukannya. Dan masih ada satu pokok lagi yang harus dipenuhi, yaitu mengikuti sunnah Rosululloh dalam apa yang dia kerjakan. Berdasarkan sabda Rosululloh :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah berkata : “Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang melakukan sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka amal perbuatan itu tertolak.” (HR. Muslim : 1718)
• Kaedah diatas adalah timbangan amalan bathin sedangkan hadits Aisyah adalah timbangan amal perbuatan dhohir. (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali bin Hasan hal : 59 dan Bahjah Qulubil Abror hal : 10)
Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim : “Sebagian ulama’ salaf berkata :
“Tidak ada satupun amal perbuatan kecuali akan dipertanyakan dua hal, yaitu (1) kenapa dan untuk siapa engkau lakukan amal perbuatan ini, serta (2) bagaimana engkau melakukannya ?
(Lihat Mawaridul Aman min Muntaqo Ighitsatyul Lahfan hal : 35)
• Pertanyaan kenapa, adalah untuk menanyakan masalah niat.
• Sedangkan pertanyaan bagaimana, adalah untuk menanyakan sesuai dan tidaknya amal perbuatan tersebut dengan sunnah Rosululloh.

V. Pengecualian dari kaedah ini


Ada beberapa permasalahan fiqhiyah yang keluar dari kaedah diatas, diantaranya adalah :
1. Kalau ada seseorang yang membunuh orang yang dia akan mewarisi hartanya dengan niat supaya bisa cepat mendapatkan harta warisan, maka dia tidak bisa mendapatkannya, sebagai hukuman atas perbuatannya.
2. Kalau ada seorang suami yang menceraikan istrinya saat sakit menjelang kematian dengan niat agar istrinya tersebut tidak mewarisi hartanya, maka si istri tetap mewarisinya.
3. Dan beberapa masalah lain yang mirip dengan ini.
Maka masalah ini tidak dilihat niatnya, bahkan dihukumi dengan kebalikan dari niatnya yang jelek tersebut.

Namun kalau kita cermati, sebenarnya masalah yang saya katakan pengecualian ini tercakup dalam sebuah kaedah fiqhiyyah lainnya yaitu :

مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka dia diharamkan untuk mendapatkannya.”

Yang insya Alloh penjelasan mengenai kaedah ini kita bahas pada bab tersendiri.
Wallahu a’lam
CATATAN KAKI:
________________________________________
1 Maksudnya adalah dalam masalah tauhid asma’ dan sifat, dimana ahlus sunnah sepakat mengatakan menetapkan nama dan sifat Alloh tanpa tahrif, takyif, ta’thil dan tamtsil.
2 Yang dimaksud dengan adat disini adalah semua yang diluar ibadah, maka masuk didalamnya bab akad, seluruh permasalahan muamalat sampaipun masalah jinayat. (Lihat Jamharoh Al Qowaid fiqhiyyah oleh DR. Ali Ahmad An Nadawi 1/130)
http://ahmadsabiq.com/

Studi Kaidah-Kaidah Fiqh


Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

Bagian I:
Muqoddimah
بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Alloh, kita memujiNya, mohon pertolongan serta ampunanNya, dan kita berlindung kepada Alloh dari kejelekan diri dan amal perbuatan kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Alloh maka tiada yang mampu menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan oleh Alloh maka tidak akan ada yang bisa memberikan hidayah kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Alloh yang tiada sekutu bagiNya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Nya
Alloh Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya takwa kepada Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.”(QS. Ali Imron [3] : 102)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Alloh menciptakan istrinya, dan dari keduanya Alloh memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama Nya kamu saling meminta satu sama lainnya, dan (peliharalah) hubungan silaturrohim. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kamu.(QS. An Nisa’ [4] : 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menta’ati Alloh dan RosulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar.”(QS. Al Ahzab [33] : 70,71)
Amma Ba’du

Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah kitab Alloh dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuknya Rosululloh, sejelek-jelek perkara adalah perkara baru yang ada-adakan dan setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat adalah di neraka.

Kalau kita menelaah muqoddimah beberapa kitab yang ditulis oleh para ulama’, niscaya kita akan menemukan bahwa mereka selalu mengatakan bahwa kemuliaan suatu ilmu tergantung dengan kemuliaan apa yang akan diketahui dengan ilmu tersebut.
Dengan ini maka ilmu syar’i adalah ilmu yang paling mulia, karena dengannya akan diketahui syariat yang diturunkan oleh Alloh dan diajarkan oleh Rosululloh serta dengannya akan diketahui ibadah yang benar yang merupakan tujuan diciptakannya jin dan manusia.

Alloh berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada Ku.”
(QS. Adz Dzariyat : 56)

Setelah itu, ketahuilah –Barokalloh fikum-:
• Bahwa jika pokok dari keselamatan seorang hamba tidak akan dia dapatkan kecuali dengan murninya tauhid dan bebasnya dari polusi syirik, maka kesempurnaan keselamatan tidak akan diraih melainkan dengan kemurnian ibadah dan bebasnya dari bid’ah.
• Jika yang masalah yang pertama diketahui dengan mempelajari ilmu tauhid, maka bagian yang kedua diketahui dengan ilmu fiqh.
Ilmu fiqh juga memiliki keutamaan lainnya yang tidak bisa digambarkan hanya dengan rangkaian kata-kata dilembaran kertas ini,sebab :

1. Dengannyalah diketahui bagaimana cara beribadah kepada Alloh dengan cara yang benar, mulai dari masalah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji dan lainnya.
2. Dengannya dikibarkan bendera islam, dan itu diketahui dalam fiqh jihad, jizyah, fai’ dan lainnya
3. Dengannya pula diketahui bagaimana cara mencari rizqi yang halal dan menghindari cara mencari yang haram, hal itu dalam fiqh mu’amalat, jual beli, riba, sewa-menyewa dan lainnya
4. Dengannya diketahui bagaimana cara membangun bahtera keluarga yang bahagia, diketahui hak-hak suami istri serta anak. Hal ini dalam fiqh pernikahan
5. Dengan ilmu fiqh pula diketahui bagaimana harta seseorang akan dibagi sepeninggalnya, yang dibahas dalam ilmu faro’idl
6. Dengannya akan diketahui balasan bagi orang yang berbuat kriminal, hal ini dalam fiqh jinayat dan lainnya.
7. Serta masih banyak hal lain yang diketahui dengan mempelajari ilmu fiqh.
Namun tatkala masalah fiqh adalah masalah yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman, sedangkan nash al Qur’an dan as Sunnah ash Shohihah yang menjadi dasar hukum masalah fiqh terbatas, karena keduanya terputus dan tidak berkembang lagi dengan wafatnya Rosululloh, sedangkan sudah dimaklumi bersama bahwa sesuatu yang terbatas tidak mungkin bisa mengiringi sesuatu yang tak terbatas dan selalu berkembang, maka para ulama’ berjuang dan berusaha keras untuk merumuskan berbagai kaedah yang terambil dari kedua wahyu tersebut untuk bisa digunakan sepanjang masa, sampaipun terhadap masalah-masalah yang belum pernah ada wujudnya pada zaman turunnya wahyu.

Dan kaedah ini terbagi menjadi dua macam:
• Pertama : kaedah yang berhubungan dengan dalil, maksudnya adalah bagaimana cara memahami dan mengambil faedah dari sebuah dalil, yang kemudian dikenal dengan istilah ilmu ushul fiqh
• Kedua : Kaedah yang berhubungan langsung dengan amal perbuatan hamba, yang kemudian disebut dengan ilmu qowa’id fiqhiyyah.

Dari sini, diketahuilah bahwa betapa pentingnya ilmu qowa’id fiqhiyyah ini.
Imam Al Qorrofi berkata :
“Barang siapa yang menguasai fiqh lewat penguasaan kaedah-kaedahnya, maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercakup dalam keumuman kaedah tersebut.(Lihat Al Furuq Al Qorrofi 2/115)

Ini semua menjadi salah satu bukti akan kesempurnaan syariat islam, yang ditegaskan oleh Alloh dalam firman Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”(QS. Al Maidah : 3)

Setelah beberapa lama menerjuni dunia ilmiyyah dan dakwah di bumi Nusantara ini, maka semakin nampaklah betapa penting ilmu qowa’id fiqhiyah ini untuk dipelajari. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah :

1. Fenomena banyaknya orang yang tidak memahami kaedah-kaedah dasar dalam memahami fiqh islam padahal masalah ini selalu mereka dapatkan setiap harinya.
• Ambil contoh : banyaknya pertanyaan seputar apakah seseorang yang sudah berwudlu lalu dia ragu-ragu, apakah sudah batal ataukah belum, maka apakah dia wajib mengulangi wudlunya ataukah tidak ? begitu juga tentang seseorang yang selesai kecing lalu merasa ragu-ragu apakah dia meneteskan air kencing lagi ataukah tidak ? padahal masalah semacam ini sangat jelas yang tercakup dalam sebuah kaedah fiqhiyyah :

اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

“Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.”

2. Banyaknya orang yang menggunakan sebuah kaedah fiqhiyah bukan pada tempatnya.
Ambil contoh mudah yang sering terjadi :
• Tatkala ada seseorang yang menambahi sebuah ibadah dengan cara yang tidak ada contohnya, lalu ada orang lain yang melarangnya, maka dengan serta merta dia akan mengatakan : “Tunjukkan kepada kami sebuah dalil yang melarangnya, karena pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya.”
Begitulah orang semacam ini berdalih dengan sebuah kaedah fiqhiyyah yang masyhur yaitu :

الأَ صْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ

“Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya mubah.”

Hampir sama dengan contoh ini adalah apa yang digemborkan oleh sebagian kaum muslimin yang melegalkan demokrasi produk barat kafir yang kemudian mereka poles sedemikian rupa dan akhirnya mereka namakan dengan demokrasi islami, padahal sudah amat sangat nyata bagi yang mempunyai akal yang jernih kerusakan sistem ini dan bertentangannya dengan syariat islam, namun tatkala mereka memasukinya mereka mengatakan:
“Bukankah itu cuma wasilah dan cara, kan semuanya tergantung kepada tujuannya, kalau tujuanya baik yaitu untuk berdakwah maka cara apapun akan jadi baik.”
Begitulah dia berkata dengan menyitir sebuah kaedah fiqhiyyah yang masyhur yaitu:

الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ

“Wasilah itu sama dengan hukum tujuanya.”
Dan masih banyak beberapa contoh lainnya.

Akhirnya kita mohon keada Alloh untuk menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholih yang akan berbuahkan keselamatan dan kebahagian hidup dunia akhirat. Amin.
Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat serta siapa saja yang mengikuti beliau hingga hari kemudian.
http://ahmadsabiq.com/