Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama ISLAM. [QS: Ali 'Imran:102] Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya JALAN MENUJU SYURGA. [HR Al-Bukhari & Muslim]
Thursday, November 25, 2010
Imam-Imam Ahli Hadits
Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan orang-orang yang bathil dan dari takwilnya orang-orang yang bodoh .
Oleh karena itu mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap firqaah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap jaman dan setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela….”
Beliau pun akhirnya menyebut mereka dengan sebutan golongan yang selamat (Firqatun Naajiyah) yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Thaifah Manshurah) kemudian berkata : “Mereka setelah sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan pimpinan mereka, Al Khulafaur Rasyidin, adalah para tabi’in. Diantara tokoh-tokoh mereka adalah :
1. Sa’id bin Musayyab (wafat setelah 90 H)
2. Urwah bin Zubair(wafat 94 H)
3. Ali bin Husain Zainal Abidin (wafat93 H)
4. Muhammad Ibnul Hanafiyyah (wafat80 H0
5. Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H)
6. Al Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin abu bakar Ash Shiddiq (wafat 106 H)
7. Al Hasan Al Bashri (wafat 110 h)
8. Muhammad bin Sirrin (wafat 110 H)
9. Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H0
10. Muhammad bin Syihab Az Zuhri (wafat 125 H) dan lain lain
Kemudian diantara tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in) tokoh-tokoh mereka adalah :
1. Imam Malik (wafat 179 H)
2. Al Auza’i (wafat 198 H)
3. Sufyan Ats Tsauri (wafat 161 H)
4. Sufyan bin Uyainah (wafat198 H)
5. Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H)
6. Al Laits bin Sa’d (wafat 175 H)
7. Abu Hanifah An Nu’man (wafat 150 H) dan lain-lain.
Setelah tabiut tabi’in adalah pengikut mereka, diantaranya :
1. Abdullah ibnu mubarak (wafat 181 H)
2. Waqi’ bin Jarrah (wafat 197 H)
3. Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (wafat 204 H)
4. Abdurrahman bin Mahdi (198 H)
5. Yahya bin Said Al Qattan (wafat 198 H)
6. Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain.
Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka diantaranya :
1. Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H)
2. Yahya bin Main (wafat 233 H)
3. Ali Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain.
Kemudian murid-murid mereka seperti :
1. Al Bukhari (wafat 256 H)
2. Muslim (wafat 261 H)
3. Abu Hatim (wafat 277 H)
4. Abu Zur’ah (wafat 264 H)
5. Abu Dawud (wafat 275 H)
6. At Tirmidzi (wafat 279 H)
7. An Nasa’I (wafat 303 H), dan lain-lain.
Setelah itu orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah :
1. Ibnu Jarir At Thabari (wafat 310 H)
2. Ibnul Khuzaimah (wafat 311 H)
3. Ad Daruquthni (wafat 385 H)
4. Ibnul Abdil Barr (wafat 463 H)
5. Abdul Ghani Al Maqdisi sdan Ibnul Qudamah (wafat 620 H)
6. Ibnu Shalih (wafat 743 H)
7. Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)
8. Al Muzzi (wafat 743 H)
9. Adz Dzahabi (wafat 748 H)
10. Ibnu Katsir (wafat 774 H)
Dan ulama yang seangkatan di zaman mereka.
Kemudian yang setelahnya yang mengikuti jejak mereka dalam berpegang dengan kitab dan sunnah sampai hari ini. Mereka itulah yang kita sebut dengan Ashabul Hadits.
PEMBELAAN MEREKA TERHADAP AQIDAH
Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan dan takwil-takwil ahli bid’ah
Maka, ketika muncul ahli bid’ah yang pertama, yaitu Khawarij, Ali dan para Sahabat radhiallahu anhum bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan mengambil dari Rasululah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat-riwayat yang menyuruh unntuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Lihat Mawaqifush Shahabah fi Fitnah Bab 3 Juz 2 hal 191 oleh Dr. Muhammad Ahmazun)
Ketika Syiah muncul, Ali Radhiallahu ‘Anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim di kalangan mereka yang mengangkat Ali Radhiallahu ‘Anhu sampai kepada tingkatan Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar deengan api. (Lihat Fatawa Syaikhul Islam)
Demikian pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu berita tentang suatu kaum yang menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut : “Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara’) dari meerka dan mereka berlepas diri dariku ! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dedngan taqdir baik dan buruknya.” (H.R. Muslim 1/36)
Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud Al Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga atas sunnah Nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal.
Ditegaskan oleh Imam Ats Tsauri Rahimahullah : “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zura’i juga mengatakan : “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ashabul Hadits).”
Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah yang dan sesat, baik itu fuqaha’ (ahli fikih) mereka, mufassir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari ini dirasakan manfaatnya oleh kaum Muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.
Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini : “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka seakan-akan aku melihat Nabi hidup kembali.” (Syaraf Ashabul Hadits hal. 26)
Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah Engkau jadikan di hati kami kebencian atau kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesunggguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Amien Ya Rabbal ‘Alamin.
Diringkas dari http://www.salafy.or.id
Dari artikel yang berjudul : Biografi_Ulama Mengenal Para Imam Ahlussunnah (Ahli Hadits)
Tanggal Posting : Sabtu, 28 Juni 2003 – 10:52:41
Yang ditulis oleh : Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Wednesday, November 24, 2010
Nasihat Ulama Bagi Penuntut Ilmu
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah sampai kepadaku suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan aku pasti beramal dengannya.”
Amr bin Qais al-Mala’i rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beramallah dengannya meskipun hanya sekali agar kamu termasuk penganutnya.” Syaikh Abdurrazzaq berkata, “Maksud ucapan beliau; beramallah dengannya meskipun hanya sekali, adalah dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan sedangkan dalam perkara wajib maka tidak cukup mengamalkannya sekali kemudian bisa disebut sebagai penganutnya.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 27)
Jangan tertipu dengan amalmu!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia pun menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, meskipun demikian engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)
Jadilah contoh yang baik!
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37). Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kamipun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).
Bukankah tolabul ilmi amalan yang utama?
Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata, “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).
Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami….
Oleh: Ari Wahyudi
http://abumushlih.com/nasehat-ulama-bagi-penuntut-ilmu.html/
Monday, November 15, 2010
Sejarah Hidup Al-Imam al-Bukhari
Mutiara Berkilau dari Bukhara
Bukhara merupakan sebuah daerah di belahan Asia Tengah. Daerah ini memang pernah menjadi jajahan negara Rusia dan dimasukkan dalam sebuah persekutuan dengan negara - negara di sekitarnya yang lebih dikenal dengan sebutan Uni Sovyet dengan faham komunisnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman dimana faham komunis tidak bisa lagi diterima oleh masyarakat maka tumbanglah kekuatan raksasa Uni Sovyet dan menjadilah negara - negara persekutuan tersebut menjadi negara - negara yang merdeka, yang memiliki kedaulatan penuh dan terlepas dari kontrol pusat Rezim Kremlin, Rusia.
Dan siapa yang menyangka, bahwa dahulu pernah terlahir disana seorang manusia yang bakal menghebohkan dunia dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang luar biasa.
Nama Lengkap dan Tanggal Lahir :
Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi , yang lebih dikenal dengan Imam Al Bukhori penulis kitab Shahih Al Bukhari.
Beliau dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal th 194 Hijriah setelah shalat Jum’at di daerah Bukhoro. Oleh sebab itulah beliau dinisbahkan dengan Al Bukhari karena asal tanah kelahiran beliau adalah dari daerah Bukhoro.
Kakek beliau yang bernama Bardizbah adalah berasal dari suku Persia yang menganut agama Majusi ( Penyembah Api ).
Kemudian anak Bardizbah yang bernama Al Mughiroh masuk Islam, yang mengislamkannya adalah seorang yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Oleh karena itulah beliau juga dinisbahkan dengan Al Ju’fi.
Bapak beliau yaitu Ismail meninggal, dalam keadaan beliau masih kecil. Dan beliau juga mengalami kebutaan semasa kecilnya. Namun ibunya terus menerus berdoa kepada Allah Ta’ala mengharapkan kesembuhan terhadap musibah kebutaan yang menimpa putra tercintanya.
Dan Allah Ta’ala pun mengabulkan permintaan dari sang hamba yang shalehah dengan memberikan kesembuhan kepada sang putra tercinta. Maka sejak saat itu sang putra tercinta dapat menikmati indahnya karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana manusia yang lain.
Perjalanan Menuntut Ilmu :
Beliau mulai menghafal hadits pada usia sekitar 10 tahun dan ketika itu beliau belajar di sebuah Madrasah.
Ketika usia beliau menginjak 16 tahun, beliau telah menghafal kitab - kitab karya 2 orang tokoh Tabi’ut Tabi’in yaitu Abdullah ibnul Mubarak dan Waki’ ibnul Jarrah. Pada usia tersebut pula tepatnya pada tahun 120 H, beliau bersama ibu dan saudara laki - lakinya yang bernama Ahmad pergi menunaikan Haji ke Baitullah Al Haram di Mekkah. Dan setelah selesai menunaikan haji, beliau tetap tinggal di Mekkah dalam rangka menuntut ilmu. Sementara saudara laki - lakinya yang bernama Ahmad, kembali ke tempat asalnya di Bukhara. Ketika usia beliau mencapai 18 tahun, beliau menulis kitab ” Qodhoya Shohabah wa Tabi’in ” dan kitab ” At Tarikh “.
Beliau telah menuntut ilmu kepada 1080 masyaikh ( guru ) Ahlus Sunnah. Beliau telah melakukan rihlah ( perjalanan menuntut ilmu ) ke berbagai negeri seperti Balkh, Maru, Naisabur, Ray ( sekarang Teheran - Iran ), Baghdad, Basrah, Kufah, Makkah, Mesir, Syam, Hijaz dll.
Guru - guru ( Masyaikh ) beliau :
Telah disebutkan diatas bahwa beliau memiliki 1080 masyaikh ( guru ). Diantaranya adalah :
1. Di Negeri Balkh belajar kepada :
- Maky bin Ibrahim
2. Di Negeri Maru belajar kepada :
A. Abdan bin Musa
B. Ali bin Hasan bin Syaqiq
C. Shadaqoh bin Al Fadhal
3. Di Negeri Naisabur belajar kepada :
- Yahya bin Yahya
4. Di Negeri Ray ( Teheran - Iran ) belajar kepada :
- Ibrahim bin Musa
5. Di Negeri Baghdad belajar kepada :
A. Muhammad bin Isa Ath Thaba’
B. Suraij bin An Nu’man
C. Muhammad bin Sabiq
D. ‘Affan
6. Di Negeri Basrah belajar kepada :
A. Abu Ashim An Nabil
B. Al Anshory
C. Abdurrahman bin Hammad
D. Muhammad bin ‘Ar’ur
E. Hajjaj bin Minhal
F. Badl bin Al Mihbar
G. Abdullah bin Raja’
7. Di Negeri Kufah belajar kepada :
A. Ubaidullah bin Musa
B. Abu Nu’aim
C. Khalid bin Al Makhlad
D. Thalq bin Ghanam
E. Kholid bin Yazid Al Muqri
8. Di Negeri Mekkah belajar kepada :
A. Abu Abdurrahman Al Muqri
B. Khalad bin Yahya
C. Hisan bin Hisan Al Bashri
D. Abul Walid Ahmad bin Muhammad Al Azraqi
E. Al Humaidy
9. Di Negeri Madinah belajar kepada :
A. Abdul ‘Aziz Al ‘Uwaisy
B. Ayyub bin Sulaiman bin Bilal
C. Ismail bin Abi Uwais
10. Di Negeri Mesir belajar kepada :
A. Sa’id bin Abi Maryam
B. Ahmad bin Iskab
C. Abdullah bin Yusuf
D. Asbagh bin Al Faraj
11. Di Negeri Syam belajar kepada :
A. Abul Yaman Al Hakam bin Nafi’
B. Adam bin Abi Iyas
C. Ali bin ‘Ayyas
D. Bisyr bin Syu’aib
Dan juga para tokoh - tokoh ulama besar yang lain semisal Ishaq bin Rahuyah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al Madini, Nu’aim bin Hammad, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli dll.
Murid - Murid Beliau :
1. Imam Muslim bin Al Hajjaj
2. Imam At Tirmidzi
3. Imam Ibnu Khuzaimah
4. Abu Hatim dll.
Akhlak dan Ibadah beliau :
Beliau pernah mengatakan :Aku berharap untuk bisa bertemu Allah. Dan aku berharap ketika nanti berada di Hari Perhitungan amalan, aku dalam keadaan tidak berbuat Ghibah ( suatu perbuatan yang menyebutkan saudaranya sesama muslim dengan apa - apa yang tidak disukainya jikalau ia mendengarnya ) kepada seorang pun.
Hal ini menunjukkan akan takutnya beliau terhadap perbuatan Ghibah.
Al kisah suatu hari beliau sedang melaksanakan shalat. Tiba - tiba datang seekor kumbang besar datang menyengat beliau yang sedang shalat sebanyak 17 kali sengatan. Maka tatkala selesai dari menunaikan shalatnya, dia bertanya kepada orang - orang yang ada di sekitarnya : ” tolong lihatlah ! apa yang telah membuatku sakit ini “. Maka merekapun mendapati seekor kumbang besar telah menyengat beliau sebanyak 17 sengatan dalam keadaan beliau tidak membatalkan shalatnya.
Beliau berkata : Tidaklah aku letakkan sebuah hadits di kitab shahihku ini kecuali aku mandi terlebih dahulu dan shalat 2 rakaat.
Wafat Beliau :
Beliau mengalami fitnah yang sangat dahsyat yang dihembuskan oleh orang - orang yang merasa iri terhadap keutamaan dari Allah yang diberikan kepada beliau. Dan tidaklah beliau menginjakkan kaki ke suatu negeri kecuali penduduk negeri tersebut mengusirnya sebagai akibat dari hembusan angin fitnah yang disebarkan oleh orang - orang yang iri. Karena beliau mengalami pengusiran beberapa kali, maka beliau memilih untuk kembali ke daerah Khartanka yaitu sebuah wilayah bagian dari negeri Samarkand (sekarang menjadi ibukota negara Uzbekistan di Asia Tengah ). Beliau pergi ke daerah tersebut karena banyak dari karib kerabatnya yang tinggal di daerah tersebut. Beliau merasakan bahwa hidup ini terasa berat sekali, dan bumi yang luas terasa sempit bagi beliau. Hingga pada suatu malam tatkala beliau selesai menunaikan shalat malam (Tahajud ), beliau berdoa kepada Allah agar diberikan jalan yang terbaik baginya. Kemudian beberapa hari setelah itu beliau mengalami sakit yang cukup keras. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui betapa berat penderitaan yang dialami oleh salah seorang hamba-Nya yang sholeh ini, maka sebagai bentuk Maha Belas Kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya tersebut, beliau dipanggil oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang pada hari Sabtu malam ‘Idul Fitri, pada tahun 256 Hijriah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=331#more-331
Sunday, November 14, 2010
Keutamaan Ilmu
Pertama :Ilmu Meningkatkan derajat
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Allah akan mengangkat kedorang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat. Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al Mujadilah [58] : 11).
Al Hafizh menjelaskan, “Ada yang mengatakan tentang tafsirannya adalah : Allah akan mengangkat kedudukan orang beriman yang berilmu dibandingkan orang beriman yang tidak berilmu. Dan pengangkatan derajat ini menunjukkan adanya sebuah keutamaan…” (Fathul Bari, 1/172). Beliau juga meriwayatkan sebuah ucapan Zaid bin Aslam mengenai ayat yang artinya, “Kami akan mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf [12] : 76). Zaid mengatakan, “Yaitu dengan sebab ilmu.” (Fathul Bari, 1/172).
Ibnu Katsir menyebutkan di dalam tafsirnya sebuah riwayat dari Abu Thufail Amir bin Watsilah yang menceritakan bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah bertemu dengan Umar bin Khattab di ‘Isfan (nama sebuah tempat, pen). Ketika itu Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Umar pun berkata kepadanya, “Siapakah orang yang kamu serahi urusan untuk memimpin penduduk lembah itu?”. Dia mengatakan, “Orang yang saya angkat sebagai pemimpin mereka adalah Ibnu Abza; salah seorang bekas budak kami.” Maka Umar mengatakan, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Dia pun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia adalah orang yang pandai memahami Kitabullah, mendalami ilmu waris, dan juga seorang hakim.” Umar radhiyallahu’anhu menimpali ucapannya, “Adapun Nabi kalian, sesungguhnya dia memang pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan sebab Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian lainnya karena kitab ini pula.’ (HR. Muslim).
Kedua :Nabi diperintahkan untuk berdoa untuk mendapatkan tambahan ilmu
Di dalam Kitabul Ilmi Bukhari membawakan sebuah ayat yang artinya, “Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha [20] : 114). Kemudian Al Hafizh menjelaskan, “Ucapan beliau : Firman-Nya ‘azza wa jalla, ‘Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu’. Memiliki penunjukan yang sangat jelas terhadap keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan untuk apapun kecuali tambahan ilmu. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i; yang dengan ilmu itu akan diketahui kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf untuk menjalankan ajaran agamanya dalam hal ibadah ataupun muamalahnya, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, dan hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, menyucikan-Nya dari segenap sifat tercela dan kekurangan. Dan poros semua ilmu tersebut ada pada ilmu tafsir, hadits dan fiqih…” (Fathul Bari, 1/172).
Ketiga :Perintah bertanya kepada ahli ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci memerintahkan untuk bertanya kepada mereka (ahli ilmu) dan merujuk kepada pendapat-pendapat mereka. Allah juga menjadikannya sebagaimana layaknya persaksian dari mereka. Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu kecuali para lelaki yang Kami wahyukan kepada mereka : bertanyalah kepada ahli dzikir apabila kalian tidak mempunyai ilmu.’ (QS. An Nahl [16] : 43). Sehingga makna ahli dzikir adalah ahli ilmu yang memahami wahyu yang diturunkan Allah kepada para nabi.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24).
Keempat :Kebenaran akan tampak bagi ahli ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah Yang Maha Suci memberitakan mengenai keadaan orang-orang yang berilmu; bahwa merekalah orang-orang yang bisa memandang bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi dari Rabbnya adalah sebuah kebenaran. Allah menjadikan hal ini sebagai pujian atas mereka dan permintaan persaksian untuk mereka. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa wahyu yang diturunkan dari Rabbmu itulah yang benar.(QS. Saba’ [34] : 6).” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24).
Kelima :Segala sifat terpuji bersumber dari ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam Al Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Dan tidaklah diragukan bahwasanya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Dan semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 101).
Kebahagiaan ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Adapun kebahagiaan ilmu, maka hal itu tidak dapat kamu rasakan kecuali dengan cara mengerahkan segenap kemampuan, keseriusan dalam belajar, dan niat yang benar. Sungguh indah ucapan seorang penyair yang mengungkapkan hal itu,
Katakanlah kepada orang yang mendambakan
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia
Tanpa mengerahkan kesungguhan
Berarti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada
Penyair yang lain mengatakan,
Kalau bukan karena faktor kesulitan
Tentunya semua orang bisa menjadi pimpinan
Sifat dermawan membawa resiko kemiskinan
Sebagaimana sifat berani membawa resiko kematian
(Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 111).
Beliau juga mengatakan, “Berbagai kemuliaan berkaitan erat dengan hal-hal yang tidak disenangi (oleh hawa nafsu, pen). Sedangkan kebahagiaan tidak akan bisa dilalui kecuali dengan meniti jembatan kesulitan. Dan tidak akan terputus jauhnya jarak perjalanan kecuali dengan menaiki bahtera keseriusan dan kesungguh-sungguhan. Muslim mengatakan di dalam Sahihnya, ‘Yahya bin Abi Katsir berkata : Ilmu tidak akan diraih dengan tubuh yang banyak bersantai-santai.’ Dahulu ada yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang menginginkan hidup santai (di masa depan, pen) maka dia akan meninggalkan banyak bersantai-santai.’.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 112).
Inilah sekelumit pelajaran dan motivasi bagi para penuntut ilmu. Semoga yang sedikit ini bisa menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agama-Nya dari serangan musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya pada masa yang penuh dengan fitnah semacam ini kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangat dinanti-nanti. Para penuntut ilmu yang berhias diri dengan adab-adab islami, yang tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana. Para penuntut ilmu yang bisa merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al Qur’an sebagaimana seorang yang lapar menyantap makanan. Para penuntut ilmu yang senantiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya. Para penuntut ilmu yang bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas. Para penuntut ilmu yang mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas kecintaannya kepada segala sesuatu.
Disusun oleh Ari Wahyudi
http://abumushlih.com/buku-tamu/keutamaan-ilmu/
Thursday, November 11, 2010
Sejarah Hidup Al-Imam as-Syafi'i
Pelajaran Berharga dari Sisi Kehidupan
AL-IMAM ASY-SYAFI’I Rahimahullah
Sejarah para ulama salaf merupakan salah satu tentara dari tentara-tentara Allah subhanahu wata’ala . Begitu seorang muslim mempelajarinya, ia akan bisa mengambil pelajaran darinya, kemudian bersegera untuk mengamalkannya. (Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah)
Biografi beliau rahimahullah
Beliau adalah seorang imam, ‘alim di zamannya, seorang penolong sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , dan orang yang faqih.
Nama dan Nasab beliau rahimahullah
Nama beliau rahimahullah adalah Muhammad, dan kunyahnya Abu ‘Abdillah. Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin ‘Ubaid bin Abdi Yazid bin Hisyam bin Al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Muththalibi Asy-Syafi’i Al-Makki Al-Ghazi.
Tempat dan tanggal lahir beliau rahimahullah
Beliau rahimahullah dilahirkan pada hari Jum’at siang, di hari terakhir bulan Rajab, pada tahun 150 H, di desa Ghaza (disini lebih dikenal dengan sebutan Gaza). Sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Palestina, dan berbatasan dengan negeri Syam (sekarang Libanon) dari arah Mesir. Tidak lama kemudian, ibunya membawanya ke kota ‘Asqalan, sebuah kota yang terletak tidak jauh dari Ghaza dan terhitung masih satu propinsi.
Hubungan kekerabatan beliau dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kakek Al-Imam Asy-Syafi’i, yang bernama Al-Muththalib, adalah saudara laki-laki Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan: “Sesungguhnya antara Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib satu kesatuan yang tidak akan ada yang bisa memisahkan antara kita, baik di zaman jahiliyah maupun di zaman islam.”
(HR. Al-Bukhari).
Pindah ke kota Makkah
Beliau adalah anak yatim dibawah asuhan ibunya di Mesir. Kemudian, pada usia 2 tahun, dibawa oleh ibunya untuk pindah ke kota Makkah. Semenjak kecil beliau telah berlatih memanah dan melempar, sehingga menjadi orang yang paling unggul diantara teman-temannya di bidang olahraga tersebut.
Pendidikan dan Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i dalam menuntut ilmu rahimahullah
- Pendidikan beliau rahimahullah selama di Makkah
Beliau menjalani pendidikan masa kecilnya di sebuah kuttab (madrasah anak-anak). Beliau bercerita: “Dahulu aku di madrasah anak-anak. Aku mendengarkan seorang guru sedang menalqinkan (mendiktekan) ayat kepada seorang anak, maka aku menghapalkannya. Dan sungguh aku telah menghapal semua yang ia diktekan.”
Pada usia 7 tahun, beliau rahimahullah telah hapal Al-Qur’an. Kemudian setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat madrasah (sekolah dasar), beliau belajar di Masjidil Haram. Belajar kepada para ahli fiqih dan para ahli hadits yang ada disana, sehingga beliau menjadi orang yang paling unggul dalam masalah fiqih.
Pada usia 10 tahun, beliau rahimahullah telah hapal kitab Al-Muwaththo’, karya Al-Imam Malik rahimahullah, sebelum beliau belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullah.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga pergi ke perkampungan arab badui dari Bani Hudzail untuk mempelajari bahasa arab yang masih asli, dan juga belajar balaghah (ilmu sastra dalam Bahasa Arab), kemudian menjadi orang yang pandai dalam dua bidang tersebut. Setelah itu, beliau rahimahullah kembali ke kota Makkah, melanjutkan belajar kepada para ulama yang berada di kota tersebut.
Beliau rahimahullah menuntut ilmu kepada para ulama terkemuka yang ada di kota Makkah, seperti Muslim bin Khalid Az-Zanji rahimahullah, Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, dan lain-lain.
Bahkan, di usia 15 tahun, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah memiliki kemampuan untuk memberikan fatwa. Salah satu guru beliau di kota Makkah, yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji, berkata kepada beliau: “Berfatwalah, wahai Abu ‘Abdillah! Sungguh, demi Allah, sudah saatnya bagimu sekarang untuk berfatwa!”
Saat itu beliau rahimahullah baru berusia 15 tahun.
- Pendidikan beliau rahimahullah di luar Makkah
Pada usia 20 tahun, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengadakan rihlah (perjalanan menuntut ilmu) keluar kota Makkah, dan belajar kepada para ulama di berbagai negeri. Di kota Madinah, beliau belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullah dan menyetorkan hapalan kitab “Al-Muwaththo’ ” karya Al-Imam Malik sendiri. Beliau rahimahullah telah hapal kitab “Al- Muwaththo’ ” sebelum mencapai usia baligh.
Di negeri Yaman, beliau belajar kepada Muthorrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qodhiy, dan lain-lain.
Di kota Baghdad, beliau belajar kepada Muhammad bin Al-Hasan, Isma’il bin ‘Ulayyah, dan lain-lain.
Murid-murid beliau rahimahullah
Diantara para ulama terkemuka yang pernah duduk belajar di hadapan beliau adalah seperti: Al-Humaidi, Ahmad bin Hanbal, Harmalah bin Yahya, Abdul ‘Aziz Al-Kinani Al-Makki, Ishaq bin Rahuyah, ‘Amr bin Sawwad, dan lain-lain.
Beliau cukup lama tinggal di kota Baghdad sampai akhirnya beliau pindah ke negeri Mesir.
Beliau meninggal di negeri Mesir pada malam Jum’at, setelah shalat ‘Isya di akhir bulan Rajab, saat mulai munculnya hilal di bulan Sya’ban, tahun 204 H, pada usia 54 tahun setelah mengalami sakit bawasir.
Keteladanan Beliau rahimahullah
- Kesungguhan dan semangat beliau rahimahullah dalam menuntut ilmu
Pada suatu hari, ibunya mengantarkannya kepada seorang guru, agar ia bisa belajar. Akan tetapi, ibunya tidak punya uang untuk membayar guru tersebut yang mengajar anaknya. Akhirnya, guru tersebut rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan cepatnya hapalan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Setelah selesai menghapal Al-Qur’an, beliau masuk ke dalam masjid duduk bersama para ulama. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mendengarkan satu permasalahan atau satu hadits, lalu menghapalkannya. Ibunya tidak mempunyai harta untuk diberikan kepada beliau untuk membeli lembaran atau kertas sebagai tempat beliau menulis. Beliaupun mencari tulang, tembikar, tulang pundak unta, dan pelepah kurma, lalu menulis hadits padanya. Bila sudah penuh, beliau menaruhnya dalam tempayan yang ada di rumahnya, sehingga tempayan-tempayan yang ada di rumah beliau pun menjadi banyak. Ibunya berkata kepada beliau: “Sesungguhnya tempayan-tempayan ini telah menjadikan rumah kita sempit.” Maka beliau pun mendatangi tempayan-tempayan ini, menghapal apa yang ada padanya, kemudian membuangnya. Setelah itu, Allah subhanahu wata’ala memudahkan beliau untuk melakukan safar ke negeri Yaman.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana ambisi anda untuk mendapatkan ilmu?”
Beliau menjawab, “Seperti ambisi orang yang tamak terhadap dunia dan bakhil ketika memperoleh kelezatan harta.”
Lalu ditanyakan kepada beliau, “Seperti apakah anda didalam mencari ilmu?”
Beliau menjawab, “Seperti pencarian seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya.”
Ketika Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Al-Imam Malik rahimahullah dan belajar kepadanya, ia membuat Al-Imam Malik kagum akan kecerdasan, kejelian dan kesempurnaan pemahamannya. Al-Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku melihat Allah subhanahu wata’ala telah memberikan cahaya atas hatimu. Maka janganlah kamu padamkan cahaya itu dengan gelapnya perbuatan maksiat.”
- Ketawadhu’an beliau rahimahullah
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah seorang yang rendah hati (tawadhu’). Beliau pernah berkata, “Aku ingin, apabila manusia mempelajari ilmu ini -maksudnya kitab-kitab beliau-, hendaklah mereka tidak menyandarkan sesuatu pun dari kitab-kitab tersebut kepadaku.”
Beliau rahimahullah pernah berkata kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah -salah satu murid beliau-, “Kamu lebih berilmu tentang hadits yang shahih dibanding aku. Maka apabila engkau mengetahui tentang sebuah hadits yang shahih, maka beritahukanlah kepadaku hingga aku berpegang dengan pendapat tersebut. Baik hadits tersebut datang dari penduduk Kufah, Bashrah (nama kota di Iraq), maupun Syam.
- Kewibawaan beliau rahimahullah
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah seorang yang memiliki kewibawaan di hadapan manusia, sampai dikatakan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman (teman dan murid beliau rahimahullah) berkata, “Demi Allah, aku tidak berani untuk meminum air tatkala Asy-Syafi’i melihat kepadaku, karena segan kepadanya.”
Adalah Sufyan bin ‘Uyainah -salah satu guru beliau rahimahullah- apabila mendapati sebuah permasalahan dalam masalah fatwa dan tafsir, beliau melihat kepada pendapat Asy-Syafi’i, dan berkata kepada orang-orang: “Tanyakanlah kepadanya.”
- Keteladanan beliau rahimahullah dalam membagi waktu malam
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah membagi waktu malamnya menjadi 3 bagian, sepertiga malam yang pertama untuk menulis, sepertiga malam yang kedua untuk shalat dan sepertiga malam yang ketiga untuk tidur.
Pujian para Ulama
1. Yahya bin Sa’id Al-Qoththon rahimahullah:
“Aku selalu mendoakan kebaikan kepada Asy-Syafi’i, dan aku mengkhususkan doa tersebut baginya.”
2. Qutaibah bin Sa’id rahimahullah:
“Telah meninggal Sufyan Ats-Tsauri maka hilanglah sifat Al-Wara’, dan telah meninggal Asy-Syafi’i maka matilah sunnah dan telah meninggal Ahmad bin Hanbal maka tersebarlah kebid’ahan.”
3. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
“Sesungguhnya Allah membangkitkan kepada manusia di penghujung setiap seratus tahun, seorang yang mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menghilangkan kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .” kemudian beliau berkata, ‘maka kami melihat ternyata di penghujung seratus tahun pertama, orang tersebut adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan di penghujung seratus tahun kedua,orang tersebut adalah Asy-Syafi’i.”
Dan beliau (Al-Imam Ahmad) selalu mengulang-ngulang di dalam majelis beliau perkataan: “Telah berkata Abu ‘Abdillah Asy-Syafi’i.” Kemudian beliau mengatakan, “Tidaklah aku melihat seorangpun yang lebih kuat dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , dibanding Asy-Syafi’i.”
Dan beliau (Al-Imam Ahmad) juga selalu mendoakan dengan kebaikan kepada gurunya (Al-Imam Asy-Syafi’i) di dalam doa-doa beliau.
Karya tulis beliau rahimahullah
Al-Imam Al-Marwazi rahimahullah mengatakan:” Sesungguhnya Asy-Syafi’i telah menulis karya tulis sebanyak 113 kitab baik dalam bidang tafsir, fiqih, adab (akhlaq), dan lain-lain.” Dan ada yang mengatakan bahwa karya tulis beliau mencapai 147 judul. Dan ada pula yang mengatakan bahwa karya tulis beliau mencapai 200 judul.
Diantara karya tulis beliau yang terkenal adalah “Al-Umm“, kitab yang membahas tentang masalah fiqih. Kemudian juga kitab yang berjudul “Ar-Risalah“, yang membahas tentang ushul fiqh. Beliau rahimahullah juga memiliki kumpulan sya’ir yang terkumpul dalam sebuah kitab yang dinamakan dengan “Diwan Asy-Syafi’i“
Mutiara hikmah beliau rahimahullah
1. Beliau pernah bersyair:
Aku mengadukan kepada Waki’ (guru beliau) tentang jeleknya hapalan
Maka beliau membimbingku untuk meninggalkan perbuatan maksiat
Dan berkata, ‘Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat’
2. Barangsiapa ingin agar Allah membukakan hatinya atau meneranginya, maka dia harus meninggalkan pembicaraan yang tidak bermanfaat, meninggalkan dosa-dosa, menghindari perbuatan-perbuatan maksiat dan menyembunyikan amalan yang dikerjakan antara dia dan Allah. Jika dia mengerjakan hal tersebut, maka Allah akan membukakan ilmu baginya yang akan menyibukkan dia dari yang lainnya. Sesungguhnya dalam kematian terdapat perkara yang menyibukkan.”
3. Berdebat di dalam masalah agama akan mengeraskan hati dan menimbulkan kedengkian.
4. Beliau pernah bersyair:
Bersabarlah atas pahitnya kekerasan seorang guru
Sesungguhnya kegagalan ilmu jika lari darinya
Barangsiapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat
Akan mereguk hinanya kebodohan sepanjang hidupnya
Barangsiapa luput darinya belajar pada waktu mudanya
Maka bertakbirlah atasnya empat kali atas kematiannya
5. Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , maka berpeganglah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, dan buanglah ucapanku.
6. Jika ada sebuah hadits yang shahih, maka itulah madzhabku.
7. Keridhoan manusia adalah sesuatu yang tidak akan pernah tercapai, dan tidak ada jalan menuju keselamatan dari mereka, maka wajib bagimu melakukan sesuatu yang bisa memberi kemanfaatan kepadamu dan berpegang teguhlah dengannya.
8. Yang dinamakan dengan ilmu itu adalah sesuatu yang bisa memberi kemanfaatan dan tidaklah yang dinamakan dengan ilmu itu adalah sesuatu yang sekedar dihapal.
Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=488
Monday, November 8, 2010
Sejarah Hidup Al-Imam Ahmad bin Hanbal
AL-IMAM AHMAD BIN HANBAL
Tauladan dalam Semangat dan Kesabaran
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.
Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.
Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:
1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.
2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.
3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.
4. Abdurrahman bin Mahdi.
5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.
Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin Ma’in.
Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”
Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”
Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan akhlaknya.
Beliau melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.
Pada umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.
Guru-guru beliau
Beliau menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats, Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.
Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.
Murid-murid beliau
Para ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah, Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.
Bahkan yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam Asy-Syafi’i.
Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).
Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.
Akhlak dan Ibadah Beliau rahimahullah
Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian bagaimana dia!”
Beliau adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan bulu tubuhnya.
Orang-orang yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.
Majelis yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara agama) beliau.
Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”
Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”
Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”
Beliau adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”
Abdullah mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.
Suatu hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”
Beliau telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.
Ujian yang menimpa beliau
Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.
Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.
Wafat beliau rahimahullah
Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.
Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.
Maraji’:
1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.
2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39
4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.
5. Siyar A’lamin Nubala
6. Al-Bidayah wan Nihayah
7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad
http://www.assalafy.org/mahad/?p=518#more-518
Subscribe to:
Posts (Atom)