MusicPlaylistRingtones

Wednesday, December 8, 2010

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu 1/5


Seorang pencari ilmu harus memiliki beberapa adab sebagai berikut :

Pertama : Niat yang ikhlas karena Allah.

Dengan cara memaksudkan mencari ilmunya untuk mendapatkan Wajah Allah dan negeri akhirat, karena Allah mndorong dan menekankan hal itu kepada manusia. Allah berfirman:
” Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.”
(QS. Muhammad : 19). Dan pujian kepada para ulama amat dikenal dan apabila Allah memuji kepada sesuatu atau memerintahkan sesuatu maja sesuatu itu menjadi ibadah.

Dengan demikian maka wajiblah ikhlas karena Allah dalam hal ini dengan cara meniyatkan mencari ilmunya untuk memperoleh Wajah Allah. Dan apabila seseorang meniyatkan mencari ilmu syar’i untuk memperoleh ijazah agar dengan ijazah itu dia mendapatkan kedudukan atau penghasilan maka tentang hal ini Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam telah bersabda :” Barang siapa yang mencari ilmu yang diridhai oleh Allah Azza Wajalla, dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mencari keuntungan dunia maka dia tidak akan mencium baunya surga.”[1] Ini adalah ancaman yang keras.

Akan tetapi kalau seorang penuntut ilmu mengatakan bahwa saya ingin memperoleh ijazah bukan karena untuk kepentingan dunia akan tetapi karena sistem yang berlaku menjadikan orang alim diukur dengan ijazahnya. Maka kita katakan bahwa apabila niyta seseorang memperoleh ijazah dalam rangka agar bisa memberi manfaat kepada orang lain dengan cara mengajar, atau administrasi atau semisalnya maka ini adalah niyat yang selamat yang tidak madharat sedikitpun karena ini adalah niyat yang benar.

Kita sebutkan ikhlas di awal penjelasan tantang adab mencari ilmu karena ikhlas merupakan dasar, maka seorang pencari ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya unruk melaksanakan perintah Allah karena Allah memerintahkan untuk berilmu. Allah berfirman :” Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah.” Dalam ayat ini Allah memerintahkan berilmu, maka apabila engkau belajar ilmu berarti engkau melaksanakan perintah Allah Azza Wajalla.

Kedua : Menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.

Seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain karena pada asalnya manusia itu bodoh. Dalil tentang hal itu adalah firman Allah :” Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan kalian tidak tahu apa-apa dan Allah menjadikan pendengaran, pengalihatan dan hati bagi kalian agar kalian bersyukur.” (QS. An Nahl : 78).

Kenyataan memperkuat akan hal itu, oleh karena itu engkau harus meniyatkan mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu agar engaku bisa mencapai rasa takut kepada Allah.. “ Hanyalah orang-orang yang takut kepada Allah dikalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”(QS. Fathir : 28). Engkau meniyatkan menghilangkan kebodohan dari dirimu karena pada asalnya engkau adalah bodoh, maka apabila engkau belajar dan engkau menjadi ulama maka hilanglah kebodohan dari dirimu, demikian pula engkau harus meniyatkan menghilangkan kebodohan dari ummat dengan cara mengajari mereka dengan bebagai cara agar manusia bisa mengambil manfaat dari ilmumu.

Apakah syarat memanfaatkan ilmu itu harus duduik di masjid dalam suatu halaqah ? Atau mungkin manusia bisa mengambikl manfaat dari ilmumu dalam setiap keadaan ? Jawabnya adalah yang kedua, karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Sampaikanlah apa-apa yang kalian terima dariku walaupun satu ayat.”[2]
Karena apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang, lalu orang itu mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang lain maka engkau akan memperoleh pahala dua orang, kalau dia mengajarkan lagi ilmu ini kepada orang yang ketiga maka engkau akan memperoleh pahala tiga orang, dan begitulah seterusnya. Dari sini maka termasuk kebid’ahan apabila seseorang berkata ketika melakukan suatu ibadah :” Ya Allah jadikanlah pahala dari amal ini untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Karena Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam lah yang mengajarkan hal ini kepadamu, beliaulah yang menunjukkanmu kepada amalan itu maka beliaupun akan mendapat pahala dari amalanmu.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata :” Ilmu itu tidak ada bandingannya bagi orang yang benar niyatnya.” Beliau ditanya :” Bagaimana mewujudkan hal itu ?” Beliau menjawab :” Dia harus meniyatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.” Karena asalnya mereka adalah bodoh sebagaimana dirimupun pada asalnya bodoh, maka apabila engkau belajar untuk menghilangkan kebodohan dari ummat ini maka engkau akan termasuk diantara para mujahidin di jalan Allah yang menyebarkan agama Allah.

Ketiga : Membela syariat.

Yaitu meniyatkan mencari ilmu untuk membela syariat, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa membela syariat. Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali pembawa syariat. Kalau seseorang dari kalangan ahli bid’ah datang ke sebuah perpustakaan yang dipenuhi oleh kitab-kitab syariat sengan jumlah yang tak terhitung, lalu dia merbicara dengan kebid’ahannya dan memperkuat omongannya maka saya yakin bahwa tak ada satu kitabpun yang akan membantah omongannya. Akan tetapi apabila dia berbicara tentang kebid’ahannya di hadapan seorang ahli ilmu untuk menguatkan kebid’ahannya maka penuntut ilmu itu akan membantah orang itu dan mematahkan omongannya dengan Quran dan sunnah.

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus meniyatkan mencari ilmunya untuk membela syariat karena membela syariat tidak bisa dilakukan kecuali oleh manusia persisi seperti senjata. Kalau kita punya senjata yang penuh dengan peluru, apakah senjata ini mampu beroperasi sendiri untuk memuntahkan pelurunya ke arah musuh ? Ataukah tidak bisa apa-apa kecuali dioperasikan oleh manusia ? Jawabnya adalah : Tidak bisa jalan sendiri kecuali dijalankan oleh manusia. Demikian pula dengan ilmu.

Selain itu bid’ah selalu tampil dalam bentuk baru. Kadang ada kebid’ahan tertentu yang muncul pada zaman awal dan tidak ada di dalam kitab-kitab, maka tidak mungkin ada yang bisa membantahnya kecuali penuntut ilmu, oleh karena itu saya katakan :

Sesungguhnya diantara hal yang wajib dipelihara oleh penuntut ilmu adalah membela syariat, dengan demikian maka manusia amat sangat membutuhkan para ulama untuk membantah tipu daya para ahli bid’ah dan semua musuh Allah Azza Wajalla. Dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu syar’i yang diambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Keempat : Berlapang dada dalam masalah yang diperselisihkan.

Penuntut ilmu dadanya harus lapang dalam permasalahan yang diperselisihkan yang bersumber dari hasil ijtihad karena masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama bisa terjadi dalam masalah-masalah yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya dan masalahnya sudah amat jelas,maka dalam masalah ini tak seorangpun boleh berselisih, atau bisa juga dalam masalah dibolehkan di dalamnya ijtihad maka dalam masalah ini orang boleh berselisih pendapat. Dan argumentasimu dalam masalah ini tidak bisa membatalkan argumen orang yang berbeda pendapat denganmu karena kalau kita terima hal ini maka bisa juga terjadi sebaliknya yaitu argumen dia bisa membatalkan argumenmu.

Maksud saya dengan penjelasan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan itu adalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya dan memungkinkan manusia berselisih dalam masalah itu. Adapun orang yang menyelisihi metoda salaf seperti masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini tak bisa diterima seseorang yang menyelisihi aqidah yang di yakini oleh salafus shalih, akan tetapi dalam masalah-masalah lain yang diperbolehkan bagi pikiran kita untuk terlibat maka tidak boleh perbedaan pendapat dalam masalah ini dijadikan sebagai alasan untuk mencela fihak lain atau dijadikan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian.

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum sering berbeda pendapat dalam banyak masalah, barang siapa yang ingin meneliti perselisihan pendapat diantara mereka maka hendaklah dia merujuk kepada atsar-atsar yang ada tentang mereka maka dia akan menemukan ikhtilaf dalam banyak masalah dan lebih besar dari masalah yang pada zaman sekarang ini dijadikan oleh orang sekarang sebagai adat (kebiasaan untuk berselisih sehingga orang-orang menjadikan hal itu sebagai penyebab timbulnya kelompok-kelompok dengan mengatakan : Saya beserta si Fulan dan saya bersama si Fulan ! Seolah-olah masalah ini adalah masalah kelompok. Ini adalah salah.

Contoh tentang hal itu seperti seseorang yang berkata : Apabila engkau bangkit dari ruku maka janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kiri tapi ulurkanlah ke samping dua pahamu, kalau tidak begitu maka engkau adalah mubtadi’ (ahli bid’ah).

Kata mubtadi’ (ahli bid’ah) bukanlah kata yang ringan bagi jiwa. Bila dia mengatakan hal itu kepada saya maka dada saya akan merasakan satu ketidak sukaan karena orang itu adalah manusia biasa. Kita katakan bahwa di dalam masalah ini ada kelapangan baik mau sedekap atau mau mengulurkan. Oleh karena itu Imam Ahmad menyatakan bahwa orang boleh memilih antara sedekap dengan mengulurkan ke bawah karena dalam urusan ini ada kelapangan. Akan tetapi bagaimanakah sunnahnya dalam urusan ini ?

Jawabnya adalah :

Sunnahnya adalah engkau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri apabila engkau bangkit dari ruku sebagaimana engkau lakukan hal itu ketika engkau berdiri sebelum ruku. Dalilnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary dari Sahl Bin Sa’d, dia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta kiri di dalam shalat.”[3] Perhatikanlah apakah ini maksudnya perintah ketika bersujud atau dalam keadaan ruku, atau maksudnya dalam keadaan duduk ? Tidak ! Tapi maksudnya dalam keadaan berdiri yang mencakup berdiri sebelum ruku dan berdiri setelah ruku. Jadi kita tidak boleh menjadikan perbedaan dalam hal ini sebagai sebab untuk perselisihan dan persengketaan, karena semua kita menginginkan kebenaran dan setiap kita melakukakan hasil ijtihadnya, maka selama demikian maka hal ini tidak boleh kita jadikan penyebab permusuhan dan perpecahan antara ahli ilmu karena para ulama pun selalu ikhtilaf sekalipun di zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Dengan demikian setia penuntut ilmu wajib bersatu padu dan tidak boleh menjadikan ikhtilaf seperti ini sebagai sebab untuk bermusuhan dan saling membenci, bahkan bila engkau ikhtilaf dengan sahabatmu didasarkan pada dalil yang engkau miliki dan sahabatmu berbeda denganmu juga berdasarkan kandungan dalil yang dia miliki maka wajib kamu jadikan diri mu dan dia di atas satu jalan (yaitu dalil) dan mestinya menambah rasa cinta diantara kalian berdua.

Oleh karena itu kita menyukai dan menyambut baik para pemuda kita yang mempunyai visi yang kuat untuk menyandingkan semua masalah dengan dalil dan membangun ilmu mereka di atas kitab dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, kita melihat bahwa ini termasuk kebaikan dan dia akan gembira dengan akan dibukakannya pintu-pintu ilmu dari caranya yang benar. Kita tidak menginginkan dari mereka sikapnya ini menjadi sebab munculnya sikap tahazzub (berkelompok) dan saling kebencian. Allah berfirman kepada nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi golongan-golongan, tak ada tanggung jawabmu sedikitpun dari mereka.” (QS Al An’am 159). Maka orang-orang yang menjadikan diri-diri mereka sebagai golongan-golonga tidak kita setujui karena golongan Allah itu satu. Kita lihat bahwa perbedaan faham tidak harus menyebabkan manusia saling membenci dan saling mencela kehormatan saudaranya.

Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi saudara sehingga sekalipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah furu’. Setiap orang harus memanggil fihak lain dengan lembut dan berdialog yang ditujukan untuk menggapai wajah Allah dan mencapai ilmu, dengan cara ini akan terjalinlah sikap kelembutan dan hilanglah sikap kasar dan keras yang dimiliki oleh beberapa gelintir manusia sehingga kadang-kadang sikap itu menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Hal ini tidak diragukan lagi akan menggembirakan musuh-musuh Islam, dan perselisihan di kalangan ummat merupakan bahaya terbesar yang terjadi. Allah berfirman :” Dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih maka kalian akan lemah dan akan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah karena sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar.” ( Al Anfal : 46).

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum pun suka ikhtilaf dalam masalah seperti ini akan tetapi mereka berada di atas satu hati, di atas kecintaan dan persatuan,bahkan saya akan katakan dengan jelas bahwa jika seseorang berbeda pendapat denganmu berdasarkan dalil yang dia miliki maka sebenarnya dia bersepakat denganmu, karena masing-masing kalian adalah pencari kebenaran oleh karena itu tujuan kalian adalah sama yaitu menuju kebenaran dengan dalil, dengan demikian dia tidak berselisih denganmu selama engkau mengakui bahwa dia berbeda denganmu hanya karena berdasarkan dalil yang dia miliki, lalu di manakah letak perselisihannya ? Dengan cara seperti ini maka tetaplah ummat di atas persatuan sekalipun mereka kadang berbeda di dalam beberapa masalah untuk melaksanakan dalil yang dimiliki. Adapun orang yang menentang dan takabbur setelah nampak kebenaran maka tidak diragukan lagi bahwa dia wajib diperlakukan dengan perlakuan yang layak (bagi orang seperti itu) setelah dia menentang dan menyelisihi. Setiap kondisi ada penjelasannya yang sesuai. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh
http://www.abuhaidar.web.id/2010/10/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-1/

Footnote:
—————————————-
[1] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 2 hal 338. Abu Dawud, kitab ilmu, bab mencari ilmu selain karena Allah. Ibnu Majah, muqoddimah, bab memanfaatkan ilmu dan mengamalkannya. Hakim dalam Al Mustadrak, juz 1 hala 160. Ibnu Abi Syaibah dalam AL Mushonnaf, juz 8 hal 543. Al Ajury dalam Akhlaq ulama hal 142 dan di dalam Akhlaq ahli Quran hal 128 nomor 57. Berkata Al Hakim : Hadis ini sahih, sanadnya terpercaya.
[2] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab para nabi, bab kisah Bani Israil
[3] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab sifat shalat,bab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Dan lafazh dari Sahl Bin Sa’d mengatakan : Adalah manusia diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas hasta yang kiri di dalam shalat.

No comments:

Post a Comment