Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama ISLAM. [QS: Ali 'Imran:102] Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya JALAN MENUJU SYURGA. [HR Al-Bukhari & Muslim]
Tuesday, December 7, 2010
Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu 3/5
Ketujuh : Hikmat.
Penuntut ilmu harus menjadi orang yang dihiasi dengan sifat hikmah, karena Allah berfirman : “Allah memberi hikmah kepada orang yang dikehendaki, dan barang siapa orang yang diberi hikmah maka berarti dia sudah diberi kebaikan yang banyak.” (Qs. AL Baqarah 269).
Hikmah berarti seorang penuntut ilmu harus mendidik orang lain dengan akhlak yang di milikinya dan dengan ajaran yang dida’wahkannya dari agama ini dengan cara berbicara dengan setiap orang dengan cara yang sesuai dengan keadaan orang tersebut. Bila kita menempuh cara ini maka kita akan memperoleh kebaikan yang banyak sebagaiman firman Allah :” Barang siapa yang telah diberi hikmah maka sungguh dia telah mendapatkan kebaikan yang banyak.” ( (QS Al Baqarah : 269).
Orang yang hikmah adalah orang yang mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya karena hikmah diambil dari kata ihkam yang artinya itqon, sedangkan itqon artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi orang yang hikmah dalam da’wahnya.
Allah telah menerangkan tentang tingkatan da’wah dalam firman-Nya :” Serulah manusia ke jalan Rabbmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baikserta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An Nahl 125). Allahpun menerangkan tingkatan keempat dalam berdebat dengan ahli kitab. Dia berfirman :” Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang yang dhalim diantara mereka.” (Al Ankabut : 46).
Seorang penuntut ilmu harus memilih cara da’wah yang yang lebih dekat untuk diterima. Contoh hal itu adalah dalam da’wah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Ada seorang Arab Badui datang ke mesjid dan dia kencing di salah satu pojok mesjid. Para sahabatpun bangkit untuk mencegahnya, tapi mereka dilarang oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabipun memanggil dia dan berkata kepadanya :” Sesungguhnya masjid ini tidaklah pantas untuk sesuatupun dari kencing atauu kotoran, hanyalah mesjid itu untuk dzikir kepada Allah Azza wajalla, shalat, dan membaca AL Quran.”[1] Atau seperti yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Apakah kalian melihat hal yang lebih hikmah dari hal ini ? Maka orang Arab Badui inipun lapang dadanya dan rela sehingga dia berdoa :” Ya Allah,berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad saja dan janganlah Engkau berikan rahmat kepada seorangpun selain kami.”
Kisah lainnya dari Muawiyah Bin Hakm As Sulamy, dia berkata :” Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tiba-tiba salah seorang ada yang bersin, lalu aku berkata :” Semoga Allah merahmatimu.” Maka orang-orangpun menunjukan pandangan mereka kepadaku, lalu aku berkata :” Ada apa dengan kalian ? Kenapa kalian memandang kepadaku ?” Maka orang-orangpun memukul-mukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Maka ketika aku melihat bahwa mereka bermaksud mendiamkanku maka akupun diam. Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam selesai shalatnya maka demi bapakku,dia, dan ibuku, aku tidak pernah melihat seorang yang lebih baik mengajarnya dari pada beliau, beliau tidak membenciku, mumukulku atau mencelaku, beliau hanya berkata :” Sesungguhnya shalat ini tidaklah pantas di dalamnya ada perkataan manuisa sedikitpun, sebab shalat itu hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al Quran.”[2] Dari sini kita temukan bahwa mengajak kepada Allah wajib dengan cara yang hikmah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wajalla.
Contoh lain bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam melihat seorang laki-laki sedang memakai cincin dari emas di tangannya, sedangkan cincin emas haram bagi laki-laki. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam mencabut emas itu dari tangannya dan melemparkannya sambil berkata :” Salah seorang diantara kalian bersandar kepada bara api neraka lalu menyimpannya di tangannya ?”[3] Setelah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam pergi, maka ada yang berkata kepada laki-laki itu : “ Ambil cincinmu dan manfaatkanlah !” Diapun berkata :” Demi Allah, aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasuluillah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Cara memberi bimbingan dalam kasus ini lebih keras karena bagi setiap kasus ada caranya tersendiri. Demikianlah setiap orang yang mengajak kepada Allah hendaklah menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan janganlah menempatkan manusia pada level yang sama. Yang menjadi maksud utama adalah teraihnya manfaat.
Kalau kita perhatikan apa yang banyak dilakukan oleh para da’I sekarang maka akan kita temukan bahwa sebagian dari mereka lebih didominasi oleh perasaan ghirah sehingga membuat manusia lari dari da’wahnya. Dan kalau dia melihat orang lain melakukan sesuatu yang haram maka akan engkau dapatkan bahwa dia akan menegurnya dengan keras dan kasar dengan mengatakan :” Kamu tidak takut kepada Allah ?” Dan perkataan yang semisal itu sehingga membuat orang itu lari dari dia. Ini tidaklah baik karena hal ini kontra produktif. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengutip perkataan Imam Syafi’I tentang pendapat beliau terhadap ahli kalam ketika mengatakan :” Ketetapanku tentang ahlu kalam hendaklah mereka dipukul dengan pelepah kurma dan sendal lalu diarak berkeliling di jalan-jalan sambil dikatakan kepadanya : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan kitab dan sunnah dan memperhatikan ilmu kalam..”
Berkata Syaikhul Islam :” Sesungguhnya manusia apabila melihat kepada mereka (ahli kalam) maka akan mereka temukan bahwa mereka berhak menerima hukuman seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’I dari satu segi akan tetapi apabila menusia melihat mereka dengan kacamata taqdir, bagaimana kebingungan telah menguasai mereka, dan syetan telah mendominasi mereka maka manusia akan merasa kasian kepada mereka dan mengasihi mereka dan akan bersyukur kepada Allah karena Allah telah menyelamatkan dirinya dari musibah yang Allah timpakan kepada mereka. Mereka diberi kecerdasan tetapi tidak diberi kesucian, mereka diberi pemahaman tetapi tidak diberi pengetahuan, mereka diberi pendengaran, penglihatan, dan hati tetapi semua itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka“.
Demikianlah wahai saudaraku, hendaklah kita melihat kepada ahli maksiyat dengan dua jenis pandangan. Pandangan syar’i dan pandangan taqdir. Pandangan taqdir artinya kita tidak boleh mempedulikan celaan orang yang mencela dalam menjalankan hukum Allah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang wanita dan laki-laki pezina :” Maka jilidlah mereka berdua masing-masing seratus kali dan janganlah kalian merasa kasian kepada keduanya dalam melaksanakan agama Allah.” (QS. An Nur : 2).
Kalau kita memandang mereka dengan pandangan taqdir maka kita akan mengasihani mereka dan iba kepada mereka serta bermuamalah dengan mereka dengan cara yang kira-kira lebih dekat kepada tercapainya tujuan dan terkikisnya hal yang tidak disukai. Inilah sikap seorang penuntut ilmu, berbeda dengan orang yang bodoh yang memiliki ghirah akan tetapi dia tidak memiliki ilmu. Maka seorang penuntut ilmu yang sekaligus sebagai da’I yang selalu mengajak kepada Allah wajib menerapkan pola hikmah.
Kedelapan : Seorang penuntut ilmu harus sabar dalam belajar.
Artinya ulet dalam mencari ilmu, tidak putus di tengah jalan, dan tidak bosan, tapi harus kontinyu dalam belajar semampu mungkin hendaklah dia fokuskan perhatian kepada ilmu dan tidak bosan karena seorang manusia apabila dihinggapi dengan bosan maka dia akan cepat lelah lalu akan meninggalkan belajarnya, akan tetapi apabila dia ulet di atas ilmu maka dia akan memperoleh pahala orang-orang yang sabar dari satu sisi dan dia akan memetik hasil dari sisi lain. Dengarlah firman Allah Azza wajalla ketika Dia berfirman kepada nabi-Nya :” Itulah diantara berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu yang sebelumnya kamu tidak ketahui juga tidak diketahui oleh kaummu, maka bersabarlah, sesungguhnya hasil yang baik diperuntukkan bagi orang-orang yang taqwa.” (QS. Hud : 49).
Kesembilan : Menghormati ulama dan memulyakan mereka.
Setiap penuntut ilmu wajib menghormati ulama dan memulyakan mereka serta berlapang dada ketika terjadi ikhtilaf antara ulama dengan selain mereka dan memaklumi orang yang menempuh jalan yang salah dalam i’tikad mereka. Ini point yang penting sekali karena sebagaian manusia ada yang memperhatikan kesalahan orang lain untuk disikapi dengan sikap yang tidak layak tentang mereka dan menyebarkan berita mereka di kalangan manusia. Ini merupakan kesalahan terbesar karena apabila mengghibahi manusia biasa sudah termasuk dosa besar maka mengghibahi seorang berilmu lebih besar lagi dosanya karena mengghibahi seorang yang berilmu madharatnya tidak hanya terbatas kepada pribadi yang bersangkutan saja tetapi juga terhadap ilmu syar’i yang dibawanya.
Apabila manusia menganggap enteng kepada seorang yang berilmu atau harga dirinya jatuh dalam pandangan mereka maka perkataannyapun akan jatuh pula. Bila dia (orang yang berilmu) mengatakan kebenaran dan menuntyun kepada kebenaran maka ghibah manusia kepada orang yang berilmu ini akan menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu syar’i yang dibawanya. Dan bahaya tentang hal ini besar sekali.
Aku katakan bahwa para pemuda wajib menanggapi ikhtilaf yang terjadi diantara ulama dengan niyat yang baik dan didasari dengan sikap ijtihad dan memaafkan mereka dalam kesalahan mereka. Tidak ada halangan untuk berbicara dengan mereka dalam hal yang mereka yakini bahwa hal itu salah untuk menjelaskan kepada mereka apakah kesalahan itu datang dari mereka atau dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka salah ? Karena kadang-kadang manusia menganggap bahwa pendapat seorang alim itu salah kemudian setelah terjadi diskusi jelaslah baginya bahwa dia adalah benar. Manusia itu orang biasa :” Setiap anak Adam suka melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.”[4]
Adapun bergembira dengan kesalahan dan penyimpangan seorang alim untuk disebarkan di kalangan manusia sehingga terjadi perpecahan maka hal ini bukanlah jalan hidup salaf.
Demikian pula kesalahan yang terjadi di kalangan umaro. Tidak boleh kita menjadikan kesalahan mereka sebagai tangga untuk mencaci mereka dalam segala hal tanpa memandang amal-amal baik mereka, karena Allah berfirman :” Hai orang-orang yang beriman jadilah kalian saksi-saksi yang adil karena Allah dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabn\kan kalian tidak berbuat adil.” ( Al Maidah : 8). Artinya Kebencian terhadap suatu kaum jangan sampai menyebabkan kalian berbuat tidak adil. Adil itu wajib. Tidaklah halal bagi seseorang untuk mengambil kesalahan umaro atau ulama atau selain mereka lalu disebarkan diantara manusia sementara dia diam dari kebaikan-kebaikan mereka. Ini tidaklah adil.
Analogikanlah ini dengan dirimu. Seandainya seseorang berbuat lancang kepadamu dan menyebarkan kesalahan serta peyimpanganmu dan menyembunyikan kebaikan dan kebenaran yang ada padamu, maka engkau akan menganggap hal itu sebagai pengkhianatan dia kepadamu. Kalau engkau melihat hal itu pada dirimu maka wajib pula engkau berpandangan seperti itu pula terhadap orang lain. Sebagaimana yang telah aku isyaratkan tadi bahwa obat bagi apa yang engkau anggap salah hendaklah engkau menghubungi orang yang engkau anggap salah tersebut lalu berdiskusi maka akan jelaslah sikap setelah berdiskusi.
Betapa banyak orang yang setelah berdiskusi lalu dia rujuk dari pendapatnya kepada pendapat yang benar. Dan betapa banyak manusia setelah berdiskusi ternyata pendapatnya benar padahal tadinya kita mengira bahwa dia salah. “ Orang mukmin dengan orang mukmin itu seperti bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.”[5]
Nabi bersabda :” Siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah dia berbuat kepada manusia sebagaimana dia suka apabila manusia berbuat seperti itu terhadapnya.”[6] Inilah sikap adil dan istiqamah. (Bersambung)
Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh
Footnote
—————————————-
[1]Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab wudhu, bab menuangkan air ke atas kencing di masjid.Muslim, kitab thoharaoh, bab wajibnya membasuh air kencing.
[2]Dikeluarkan oleh Muslim, kitab masjid dan tempat-tempat shalat, bab haramnya berbicara di dalam shalat.
[3]Dikeluarkan oleh Muslim, kitab pakaian, bab haramnya cincin emas bagi laki-laki.
[4]Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 3 hal 198. Tirmidzi, kitab sifat hari kiamat, juz 4 hal 569 nomor 2499. Ibnu Majah , kitab Zuhud, bab keterangan tobat. Ad Darimi, kitab riqoq, bab tobat. Al Baghowy dalam syarah as sunnah juz 5 hal 92. Abu Na’im dalam Al Hilyah juz 6 hal 332. Hakim dalam Mustadrak juz 4 hal 273 Ai Ajuly dalam Kasyful Khufa juz 2 hal 120. Berkata Hakim :” Hadis sahih sanadnya tapi keduanya tidak mengeluarkannya. Mustadrak juz 4 hal 273. Kata Al ‘Ajuly sanadnya kuat. Juz 2 hal 120.
[5]Diriwaytkan oleh Bukhori, kitab masjid, bab menganyam jari-jari di masjid dan di tempat lain. Muslim, kitab kebaikan dan silaturrahmi, bab saling menyayangi, mengasihi , dan membantu dengan sesama mukmin.
[6]Takhrij hadis ini telah diterangkan pada halama yang lalu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment