Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama ISLAM. [QS: Ali 'Imran:102] Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya JALAN MENUJU SYURGA. [HR Al-Bukhari & Muslim]
Thursday, October 6, 2011
Bahaya "Jaringan Islam Liberal (JIL)" bhg 1
(BAGIAN-1)
I. SIAPA JARINGAN ISLAM LIBERAL
A. Latar Belakang Lahirnya Jaringan Islam Liberal
Istilah Islam Liberal disusun dari dua kata, yaitu Islam dan Liberal.
Islam maksudnya adalah dienul Islam, yang diturunkan oleh Allooh سبحانه وتعالى kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم. Dan Liberal artinya adalah kebebasan.
Setelah dua kata ini disusun, kata Liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga secara singkat bisa dikatakan Islam yang Liberal atau Bebas.
Gerakan Islam Liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
Dalam konteks global, Islam Liberal muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan yang mereka anggap sebagai permurnian, kembali kepada al-Qur`an dan sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal paham Liberal awal melalui Syah Waliyulloh (India, 1703-1762 M), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris.
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis. Ia menggagas tafsir al-Qur`an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern.
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur`an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur`an adalah ideal moralnya, karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.
Adapun dalam konteks regional Indonesia, wacana meliberalkan Islam pertama kali dipelopori oleh Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago), dan Harun Nasution (lulusan Mc Gill University Kanada), disamping terdapat juga tokoh-tokoh lain saat itu, seperti Djohan Efendi, dan Ahmad Wahib. Nurcholis Madjis telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun 1970-an.
Pada saat itu, Nurcholis Madjid telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini, dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama”. Nurcholis mempromosikan gagasan-gagasanya ke masyarakat kelas menengah ke atas lewat Paramadina-nya.
Sedangkan Harun Nasution berhasil mempengaruhi institusi perguruan tinggi Islam, setelah pada tahun 1973, bukunya “Islam ditinjau dari Berbagai Aspek” ditetapkan sebagai buku utama mahasiswa IAIN se-Indonesia. Buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1974 itu, dijadikan bahan bacaan pokok untuk mata kuliah “Pengantar Ilmu Agama Islam”, melalui rapat kerja Rektor IAIN se-Indonesia di Ciumbuluit Bandung tahun 1973.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nurcholis Madjid dan Harun Nasution merupakan “pioner” pertama dalam melahirkan faham Islam Liberal di Indonesia, karena melalui keduanyalah wacana meliberalkan Islam dikenal di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, ide-ide Nurcholis dan Harun selanjutnya dikembangkan oleh kader-kader godokan keduanya, sehingga pada akhir tahun 1990 muncullah sekelompok anak muda yang menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong beberapa aktivis muda untuk melakukan berbagai diskusi di Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur. Kemudian dengan merujuk kepada tempat itulah maka beberapa tokoh muda Islam mendirikan Komunitas Islam Utan Kayu yang merupakan cikal bakal berdirinya JIL. Beberapa nama yang terlibat untuk membentuk Komunitas Utan Kayu itu dan kemudian mendirikan JIL antara lain Ulil Abshar-Abdalla, Nong Darol Mahmada, Burhanuddin, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufiq Adnan Amal, Saiful Mujani, dan Luthfi Assaukanie.
Beberapa tema yang menjadi bahan diskusi di antara aktivis tersebut antara lain: maraknya kekerasan atas nama agama (dien), gencarnya tuntutan penerapan syariat Islam, serta tidak adanya gerakan pembaruan pemikiran Islam yang sebelumnya dirintis oleh Nurcholish Madjid dan Harun Nasution.
Selanjutnya secara lebih nyata para anak-anak muda tersebut mendirikan sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis (Islamliberal@yahoo.com).
Sejak saat itulah mereka menamakan diri dengan sebutan Jaringan Islam Liberal. Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, Negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik.
Pengelolaan JIL ini dipimpin oleh beberapa pemikir muda seperti Luthfi Assyaukani (Universitas Paramadina), Ulil Abshar Abdala (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (Jurnal Kalam). Untuk memusatkan organisasi, para pemimipin JIL mendirikan markas yang terletak di jalan Utan Kayu Jakarta, serta menetapkan Ulil Abshar Abdala sebagai kordinator.
B. AD/ART Jaringan Islam Liberal
Dalam websitenya www.islamlib.com/id/, disebutkan bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
Lebih lanjut, terdapat tiga misi yang diemban oleh JIL, yaitu:
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Untuk memuluskan misinya, JIL melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia sekaligus membuka pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis. Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:
Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender;
Membentuk intellectual community yang bersifat organik dan responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia;
Menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.
Ditempat lain, Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL menyebutkan, ada tiga kaedah yang hendak dilakukan oleh JIL, yaitu:
Pertama, membuka ruang diskusi, meningkatkan daya kritis masyarakat dan memberikan alternatif pandangan yang berbeda.
Kedua, ingin merangsang penerbitan buku yang bagus dan riset-riset.
Ketiga, dalam jangka panjang ingin membangun semacam lembaga pendidikan yang sesuai dengan visi JIL mengenai Islam.
Adapun mengenai tujuan, mereka merumuskannya ke dalam empat hal, yaitu:
Pertama, memperkokoh landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme, dan humanisme.
Kedua, membangun kehidupan keberagaman yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.
Ketiga, mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya: Islam) yang pluralis, terbuka, dan humanis.
Keempat, mencegah agar pandangan-pandangan keagamaan yang militan dan pro kekerasan tidak menguasai wacana publik.
Bila diteliti lebih jauh, sebenarnya wacana-wacana dan konsep-konsep yang dikumandangkan oleh para aktivis JIL, telah pernah dikembangkan sebelumnya oleh kalangan Orientalis Barat dan Misionaris Kristen dalam proses Sekularisasi dan Liberalisasi Islam. Atas dasar ini, maka sekilas sudah terlihat persamaan gagasan antara Orientalis Barat dengan apa yang sedang diusung JIL. Hal ini menimbulkan kecurigaan tentang misi yang sedang diperjuangkan JIL, apakah misi tersebut murni untuk merubah wajah islam, atau misi ini hanya sebuah pesanan.
Apalagi tokoh-tokoh yang sering dibanggakan oleh JIL adalah orang-orang yang telah mencatat sejarah hitam dalam Islam dengan menjadi perpanjangan tangan dari kaum Orientalis dalam upaya menggeroti Islam dari dalam. Oleh karena itu sangat wajar bila mayoritas Muslim Indonesia menyambut gerakan JIL dengan sikap yang kontra.
C. Realitas Perkembangan Jaringan Islam Liberal
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta, dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Disamping itu mereka juga gencar memuat ide-ide mereka melalui artikel-artikel yang disajikan kepada publik.
Diantara artikel-artikel yang dianggap sangat kontroversi adalah tulisan Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL, ia menulis di media massa mengenai beberapa hal yang tergolong mendobrak tradisi beragama ummat islam saat itu. antara lain: menyegarkan kembali pemahaman islam, tidak ada hukum Tuhan di dunia ini, Nabi Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, dan lain-lain
Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawan-lawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla), Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal.
Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang kontributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.
Ide-ide yang dikemukakan kelompok JIL pada dasarnya berpijak pada AD/ART yang mereka anut. Tetapi dalam realitasnya, saat mereka menyampaikan ide-ide tersebut terkadang telah menampilkan suatu sikap ekstrim yang menurut mereka sendiri harus dihilangkan dari wacana publik. Karena mereka secara membabi buta menyerang habis-habisan apa yang telah dianut oleh ummat Islam. Sampai saat ini sudah sangat banyak gagasan yang dimunculkan JIL ke publik. Dalam uraian berikut ini, penulis hanya akan mengemukakan beberapa hal saja diantaranya, yaitu masalah-masalah yang sangat menyentuh tentang dasar-dasar agama, dan masalah yang telah disepakati ummat islam. Antara lain:
1. Semua Agama Sama
Menurut JIL, Islam tidak beda dengan agama kufur dan syirik manapun, semuanya masuk surga. Semua orang beragama adalah mukmin, oleh karena itu semua bersaudara dan halal saling menikahi. Meyakini Islam satu-satunya agama yang benar tidak boleh. Oleh karena itu dakwah Islamiyah pun tidak boleh. Wajib diganti dengan dialog, tukar menukar pengalaman dan kerja sama dalam bidang sosial keagamaan. Mereka disini cenderung mengartikan islam bukan nama sebuah agama, tetapi islam dalam pengertian etimologi yaitu tunduk dan patuh.
Karena ideologi ini, para tokoh JIL meyakini tentang kebebasan beragama. Menurut mereka, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Karena ini pula mereka menghalalkan pernikahan antar agama, sesorang muslim baik laki-laki maupun perempuan boleh saja menikah dengan non muslim.
Bila diteliti terhadap ide yang dilontarkan kelompok JIL diatas, jelas sekali terlihat bahwa sebenarnya ide tersebut tidak layak keluar dari mulut seorang muslim. Paham ini sebenarnya merupakan warisan pemikiran Harvey Cox, seorang pemikir Barat yang menggagas paham Sekularisme. Gagasan Sekularisasi yang dipopulerkan Cox mendapat sambutan hangat dari para pemikir Kristen lainnya, seperti Robert N.Bellah yang sebelumnya telah terpengaruh dengan gagasan Marxist.
Dengan mantapnya konsep sekularisme, seseorang manusia tidak mengakui lagi kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak semua konsep-konsep islam yang bersifat pasti (Qath’i) karena semua hal dianggap relatif. Makna kebenaran bagi mereka adalah segala yang berlaku dalam masyarakat, dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Qur’an.
2. Al-Qur’an Adalah Produk Budaya, Bukan Kitab Suci.
Menurut JIL, sejarah al-Qur’an hingga menjadi “kitab suci” dan “autentik” perlu dilacak kembali. Untuk tujuan itu, mereka menawarkan dekontruksi sebagai sebuah strategi terbaik. Karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti sumber-sumber muslim tradisionil yang meyakini kesucian kitab al-Qur’an. Menurut mereka, Mushaf Usmani sebenarnya hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat. Mereka juga menyalahkan metodologi ulama dahulu yang mengontrol kebenaran wahyu dengan menggunakan analisis grammar dan yang berhubungan dengan bahasa.
Menurut para aktivis JIL al-Qur’an adalah teks, dan cara terbaik dalam menggali teks adalah pendekatan hermeneutika. Dengan pendekatan hermeneutika kita dapat mengetahui bukan makna literal saja dari al-Qur’an, tetapi juga semua makna al-Qur’an dari berbagai aspek.
Bila diperhatikan sekilas memang tawaran JIL disini termasuk tawaran yang dapat menebar pesona dalam konteks ilmiah. Karena bersifat kritis. Tetapi secara tanpa sadar, para Liberalis dalam hal ini telah mengadopsi pemikiran-pemikiran Orientalis yang berupaya memahami al-Qur’an dengan pendekatan konflik dan menganggap al-Qur’an itu bukan Wahyu. Karena pendekatan hermeneutika merupakan metode yang digunakan oleh para intelektual barat dalam memahami Bibel, dimana saat memahaminya seseorang harus berangkat dari keragu-raguan.
Agenda untuk meragukan keabsahan dan keotentikan al-Qur’an sebagai wahyu Allooh سبحانه وتعالى memang telah lama digarap secara serius oleh kalangan orientalis dan missionaris Kristen. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam buku karya Samuel M. Zwemmer yang berjudul Islam: A Challenge to Faith, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1970. Ironisnya, upaya untuk meragukan al-Qur’an juga muncul dikalangan aktivis JIL, meskipun dengan cara yang lebih halus dari apa yang dilakukan oleh Zwemmer. Artinya, dengan menerapkan pendekatan hermeneutika berarti seseorang tidak meyakini lagi kebenaran al-Qur’an.
Sebenarnya mengkaji Al-Quran sebagai teks dengan konteks bukanlah sesuatu cara yang terlalu baru. Apalagi istilah hermeneutika pun mempunyai banyak makna. Ada makna pada tataran filosofis, dan ada makna pada tataran sosiologis dan historis. Sesungguhnya, ulama tafsir klasik pun telah menggunakan kajian Asbabun Nuzul yang memberi konteks dari turunnya sesuatu ayat. Yang dikhawatirkan dalam pendekatan hermeneutika terhadap al-Qur’an ialah sang penafsir akan menerapkan metode kajian Bibel untuk al-Qur’an, dan memalingkan arti teks Al-Quran dengan dalih hermeneutika. Padahal terdapat perbedaan sangat kontras antara status teks Al-Quran yang selamanya orisinal sebagai wahyu Allooh سبحانه وتعالى, dan teks Bibel yang ditulis oleh orang-orang yang hidup beberapa lama setelah Nabi Isa عليه السلام.
Awalnya, para Teolog Yahudi dan Kristen mempertanyakan apakah Bibel itu kalam Tuhan atau produk manusia? Ini karena banyaknya versi bibel dengan pengarang yang berbeda, dan saling bertentangan. Ketika hermeneutika dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an, persoalannya menjadi lain. Sebab, setidaknya ada tiga persoalan besar ketika hermeneutika diterapkan pada teks al-Qur’an. Hal ini terjadi karena adanya spirit yang inheren dalam hermeneutika itu sendiri.
Tiga hal tersebut ialah:
Pertama, hermeneutika menghendaki sikap yang kritis.
Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk manusia, dan mengabaikan sifat transedentalnya.
Ketiga, hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir sangat relatif.
Dari uraian diatas, bila dilihat dari sejarah lahir dan metodenya, pendekatan hermeneutika sangat tidak tepat dibawa dalam memahami al-Qur’an, karena kebenaran al-Qur’an tidak boleh diragukan. Sisi inilah yang membedakan al-Qur’an dan Bibel, sebab Bibel wajar saja diragukan keabsahannya karena kandungan isinya saling kontradiksi akibat ulah pendeta-pendeta Nasrani yang merubah-rubah isinya yang dilatarbelakangi oleh sikap dengki terhadap kenabian Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Dalam memahami al-Qur’an, kelompok JIL juga mengajak ummat Islam untuk meninggalkan kitab-kitab tafsir klasik. Bila diteliti, ajakan tersebut adalah pertanda kerancuan berpikir yang sangat jelas, karena komunikasi dengan pemikiran para mufasir klasik itu sangat diperlukan justeru antara lain untuk memahami konteksnya, dan memahami konteks masyarakat mereka. Dan pemahaman konteks itu adalah anjuran dari hermeneutika. Jadi, kalau kitab-kitab klasik tidak diperlukan lagi, sebenarnya bertentangan dengan anjuran penggunaan hermeneutika itu sendiri.
Dari berbagai kerancuan yang terdapat dalam gagasan JIL tentang metode memahami al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutika, dan meninggalkan tafsir-tafsir lama, menimbulkan berbagai pertanyaan, siapa sebenarnya mereka, dan apa motif dibalik gerakan mereka? Jangan-jangan kampanye aktivis JIL yang semakin berani dan terbuka ini merupakan pesanan Orientalis dan Missionaris. Karena sudah jelas metode yang mereka tawar diadopsi dari Orientalis dan Missionaris. Dan karenanya wajar saja ada fatwa tentang kemurtadan orang-orang JIL karena meragukan kebenaran al-Quran.
Selanjutnya bila dilihat dari ungkapan mereka yang saling bertentangan satu sama lainnya, maka tidak salah kalau sebagian orang mengklaim bahwa sebenarnya orang-orang JIL itu tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan. Atas dasar ini, sangatlah disayangkan sikap sebagian intelektual muslim sekarang ini yang membela dan memuji JIL sebagai kelompok pembaharu Islam.
3. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم Tokoh Historis Yang Perlu Dikritisi
Menurut tokoh-tokoh JIL, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah tokoh sejarah yang perlu dikaji secara kritis, sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya. Komentar diatas merupakan salah satu bentuk penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang dilontarkan oleh JIL.
Bila ditelusuri lebih jauh, penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sudah pernah terjadi semenjak masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri ketika beliau membawa misi tauhid kepada orang-orang kafir. Saat itu penghinaan sering dilontarkan oleh kelompok Munafik dan Musyrik. Kemudian penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terus dilakukan oleh para kafir sampai pada abad moderen ini, sampai-sampai dengan cara membuat karikatur dan dimuat dalam media massa. Jadi, sejak dulu sampai kini biasanya ejekan-ejekan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم selalu dilakukan oleh kafir.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu seorang Orientalis Kristen yang bernama Robert Morey menulis buku yang diberi judul Islamic Invasion. Dalam buku ini, sebagaimana dikutip Hartono Ahmad Jaiz, Robert menyerang dan menghina Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم secara habis-habisan, sampai ia mengatakan dalam bukunya “Kalau kita perhatikan kehidupan Muhammad, kita akan menemukan bahwa dia merupakan manusia biasa yang juga bergelimang dengan dosa seperti halnya dengan kita semua. Dia berbohong, menipu, dipenuhi nafsu birahi, mengingkari janji, membunuh, dan lain-lain”.
Yang aneh disini adalah orang kafir yang sudah jelas-jelas menghina Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم justeru didukung oleh tokoh yang mengaku muslim dan memimpin perguruan tinggi Islam saat itu. Azymardi Azra (salah seorang tokoh JIL) yang saat itu memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberi kata pengantar pada terjemahan buku tersebut yang dalam judul indonesianya “Islam Di Hujat”. Buku yang sekeji ini menghina Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahkan oleh diwajibkan oleh Azymardi Azra untuk dibaca oleh semua ummat islam.
Ummat Islam meyakini bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah seorang yang terpelihara dari dosa sekecil apapun dan dari kesalahan (ma’shum). Apa yang diucap dan dilakukan beliau صلى الله عليه وسلم semua bersumber dari Wahyu, sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an tepatnya dalam surat an-Najm ayat 3-4 :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤
Artinya:
(3) dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
(4) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Salah satu unsur iman adalah beriman kepada Rosuul dan dengan ajaran yang dibawa Rosuul. Rosuul memang manusia, tetapi kepadanya diberikan sifat-sifat ketinggian dan mukjizat. Mukjizat itu berfungsi membenarkan kerosuulannya. Maka orang yang tidak meyakini kebenaran Rosuul dan ma’shum-nya, maka orang ini dianggap belum beriman dengan Rosuul. Tidak beriman dengan Rosuul berarti belum memenuhi unsur keimanan. Orang yang tidak memenuhi unsur keimanan berarti masih berada diluar Islam. Jadi bila dilihat dari sisi ini, maka orang yang meyakini seperti yang dilontarkan tokoh JIL berarti orang yang tidak beriman.
Dari uraian diatas semakin tampak bahwa JIL menyuarakan dalam Islam, apa saja yang telah disuarakan oleh orang-orang kaafir terhadap Islam. Ini makin memperjelas siapa sebenarnya JIL, dan sepertinya mereka merupakan corong para Orientalis untuk mengobok-obok Islam dari dalam.
4. Menolak Syari’at Islam
Menurut kelompok JIL, sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Luthfi as-Syaukani (dosen Universitas Paramadina), bahwa syari’at Islam itu sebenarnya tidak ada. Syariat Islam hanya karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki idealisme yang berlebihan terhadap Islam. Semua hukum yang diterapkan oleh sebuah masyarakat pada dasarnya adalah hukum positif, termasuk yang diberlakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. Kalaupun sumber konstitusinya berasal dari al-Qur’an, hal ini karena Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah seorang Rosuul dan tidak memiliki sumber konstitusi yang lebih baik dari al-Qur’an saat itu.
Pada dasarnya penolakan terhadap syari’at Islam merupakan isu yang diangkat oleh kalangan Orientalis dengan dalih pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Hal ini pernah terangkat dalam satu diskusi antar agama yang diadakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat itu, Prof. Olaf Schumann dari Universitas Hamburg Jerman yang sekaligus seorang Pendeta Gereja Lutheran menyatakan, bahwa penerapan syari’at Islam dalam suatu negara Islam merupakan ketidakadilan terhadap pemeluk agama lain, dan ini bertentangan dengan konsep pluralisme dan humanisme.
Selanjutnya penolakan terhadap syari’at islam sangat gencar dikampanyekan oleh para aktivis JIL. Menurut mereka, penerapan syariat oleh negara berarti melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi dan equality (kesamaan) di antara seluruh warga negara. JIL bersikeras memisahkan agama (dien) dari negara. Karena negara dalam pandangan mereka, harus netral dari pengaruh agama apa pun. Sementara, agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat.
Apa yang mereka katakan ini sebenarnya hanya membuka kedok mereka yang sama sekali buta terhadap Islam. Mereka mengatasnamakan Islam (dengan embel-embel liberal) namun tidak tahu apa itu Islam dan bagaimana sejarah Islam. Karena apa yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak terbukti. Sebab, sebagai agama dan negara, Islam sangat menjunjung tinggi asas egaliter dan menjaga prinsip-prinsip non-diskriminasi. Islam tidak pernah pilih kasih dalam menegakkan keadilan dan menerapkan hukumnya. Semua warga negara sama di mata hukum, baik itu muslim ataupun non-muslim.
Menolak penerapan syariat Islam berarti sama saja dengan menganggap agama ini (dienul Islam) tidak lengkap dan tidak sempurna. Selain itu, upaya memisahkan agama (dien) dari negara yang mereka usung sungguh berbahaya, karena ujung-ujungnya adalah ingin memisahkan agama (dien) dari kehidupan manusia. Inilah yang sejatinya merupakan proyek sekularisme. Alasan penolakan mereka hanya dibuat-buat, diputar-putar, dan apologis, agar terkesan ilmiah.
Dari uraian diatas, jelas bahwa ide penolakan syari’at islam merupakan warisan yang diambil JIL dari kalangan yang selalu dipujinya, yaitu Orientalis Barat. Sebab, dalam ummat Islam, ketakutan pada Islam ini sejatinya tidak akan muncul kecuali dari mereka yang sudah terlanjur cinta pada peradaban Barat. Atau, bisa jadi mereka yang sudah diasuh dan lama menyusu kepada Barat. Apa yang dinilai oleh Barat baik, dia juga katakan baik, dan sebaliknya.
5. Penghalalan Yang haram, dan Pengharaman yang halal.
Menurut tokoh-tokoh JIL, semua masalah yang ada dalam Islam tetap terbuka ruang untuk ijtihad ulang, meskipun masalah tersebut telah disepakati oleh semua ummat Islam sejak zaman dahulu. Re-ijtihad menurut mereka tidak terbatas pada masalah-masalah hukum amali saja, tetapi juga berlaku pada masalah-masalah keilahian yang sudah berstatus qath’i.
Karena pijakan ini, para tokoh JIL tidak segan-segan untuk menetapkan kehalalan suatu kasus, sekalipun sudah disepakati ummat Islam tentang keharomannya. Begitu juga mereka mengharomkan suatu kasus, kendatipun ummat Islam meyepakati kehalalannya. Seperti poligami yang dihalalkan dalam Islam, tetapi menurut JIL hukumnya adalah harom. Sementara perkawinan muslim dengan non muslim yang telah diharomkan, namun JIL menghalalkannya.
Tidak berhenti disitu, malah para tokoh JIL juga menghalalkan perkawinan sesama jenis (homosex/lesbian). Seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, Menurutnya, homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah. Ia memuat tulisannya ini dalam Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) Islam ‘recognizes homosexuality’ (Islam mengakui homoseksualitas). Saat berita itu dimuat, semua tokoh-tokoh JIL memuji keberanian Musdah.
Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum Liberal di Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (“unthought”). Bagaimana mungkin, dari kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani menghalalkan homoseksual, suatu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama (dien).
Bagi kaum Yahudi dan Kristen Liberal, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Mereka juga menyatakan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai “ortodoks”, “konservatif” dan sejenisnya, karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual.
Bagi ummat Islam secara umum, hukum tentang homosexual bukan lah suatu hukum yang samar-samar (khafi), tetapi sudah jelas keharomannya. Bahkan sebelum Islam datang, karena praktik homosexual merupakan perbuatan yang dikutuk.
Al-Quran (QS. Al A’roof (7) ayat 80-84)sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini:
وَلُوطاً إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّن الْعَالَمِينَ ﴿٨٠﴾ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاء بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ ﴿٨١﴾ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَن قَالُواْ أَخْرِجُوهُم مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ﴿٨٢﴾ فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاَّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ ﴿٨٣﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِم مَّطَراً فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ ﴿٨٤
Artinya:
(80) Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”
(81) Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
(82) Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”
(83) Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).
(84) Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.
Karena sering mengemukakan gagasa-gagasan yang aneh dan menjadi corong Orientalis, para tokoh-tokoh JIL sering mendapat penghargaan dari pihak-pihak dunia Barat. pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Ia dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan “pembaruan hukum Islam” – termasuk – undang-undang perkawinan. Selanjutnya pada 27 Nopember 2009 lalu, ia kembali meraih anugerah International Prize of The Women of The Year 2009, di Italia, setelah menyisihkan 36 finalis dari 27 negara.
Dari beberapa contoh permasalahan yang digagas dan diperjuangkan JIL sebagaimana uraian diatas, terlihat jelas tidak satupun yang terlepas dari hubungannya dengan apa yang dikampanyekan oleh kalangan Orientalis dan Missionaris Kristen. Isu semua agama sama, kebebasan beragama, al-Qur’an produk budaya, penghinaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, penolakan syari’at Islam, sampai perkawinan sesama jenis, merupakan tema-tema yang sejak dulu diperjuangkan dengan gigih oleh kalangan Orientalis dan Missionaris Kristen, dan secara terus-menerus ditanamkan dalam pemikiran generasi muda Islam. Tujannya tak lain untuk menjauhkan generasi Islam dari pemahaman dien yang sebenarnya.
Dari berbagai data yang berhasil dihimpun mengenai sepak terjang JIL, setelah dianalisis dapat diajukan beberapa hasil temuan sebagai berikut:
Pertama, kelompok JIL merupakan perpanjangan tangan Orientalis dan Missionaris Kristen untuk merusak Islam dari dalam, dan memecah belahkan ummat Islam, sebab kalangan Barat sangat takut jika ummat Islam bersatu. Sejak berakhirnya perang Salib, pihak Barat senantiasa menyimpan rasa takut pada dien yang satu ini.
Karena, dalam keyakinan mereka, Islam ini adalah agama (dien) yang menyimpan potensi dahsyat, mampu menggerakkan umatnya untuk melawan apa saja. Ini tidak pernah ada pada ajaran agama lain. Apalagi, kemajuan teknologi persenjataan modern tidak terlalu ampuh untuk menaklukkan umat Islam. Hal ini dipahami betul oleh kalangan Barat. Oleh karena itu, mereka benar-benar mewaspadai Islam, khususnya umat Islam yang tampak berpegang pada ajarannya. Dengan adanya JIL, para Orientalis dan Missionaris tidak terlalu sibuk lagi mempengaruhi pemikiran generasi Islam. Karena tugas ini sudah diemban oleh generasi itu sendiri.
Temuan ini didukung oleh realitas perkembangan JIL sendiri, karena dana yang dapatkan untuk tugas ini bersumber dari beberapa LSM Barat. Salah satunya ialah Asian Foundation, salah satu LSM Amerika yang bergerak dalam bidang demokrasi, sekularisasi, dan pluralisme agama. Ulil Abshar Abdala selaku kordinator JIL terus terang mengakui bahwa setiap tahun mereka mendapatkan sekitar Rp 1,4 milyar dari Asian Foundation. Belum lagi dana dari LSM lainnya seperti TAF, Ulil menyebutkan dana yang paling besar bersumber dari TAF, dengan tanpa menyebutkan angka pasti.
Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo yang merupakan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, secara lantang mengatakan bahwa: “Yang dilakukan JIL saat ini adalah menjual Islam demi memburu dolar”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa JIL adalah kelompok anak-anak muda yang menjual Islam kepada Orientalis demi kepentingan materi. Dan mereka merupakan corong Orientalis untuk mengkampanyekan kehancuran Islam.
Kedua, JIL merupakan kader-kader didikan Barat, atau didikan dari mereka yang menjadi kader Barat. Maka gagasan mereka tidak akan pernah terlepas dari paradigma Barat dalam memandang Islam. Ini terbukti dengan melihat kepada latar belakang pendidikan para tokoh-tokoh JIL. mulai dari Nucholis Madjid, Harun Nasution, sampai tokoh-tokoh muda sekarang semuanya orang-orang yang telah telah melalui proses cuci otak yang dilakukan Yahudi, Nasrani, dan Orientalis yang menjadi guru mereka.
Barat sudah lama membaca mentalitas orang-orang Timur yang terkagum-kagum pada Barat. Belajar ke Barat melahirkan kebanggaan tersendiri dalam kejiwaan orang-orang Timur. Hal ini dimanfaatkan orientalis dengan berkedok ilmiah dan penelitian. Sehingga, dengan mudah mereka mendoktrin peneliti-peneliti muda yang belajar di universitas-universitas mereka dengan paham dan ideologi mereka. Mahasiswa yang tadinya masih memiliki keteguhan dan kebanggaan pada Islam digoyahkan keyakinannya, dibuat menjadi ragu, dan akhirnya menisbikan segala ideologi. Prinsip-prinsip yang mereka tanamkan biasanya berkedok penelitian dan kejujuran ilmiah.
Pengetahuan para tokoh JIL tentang Al-Qur’an, Hadits, serta kitab-kitab klasik, dominannya pada kulit luar saja. Tetapi mau mengarungi samudera yang luas itu. Akhirnya, mereka lah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan. Maka, terjadilah seperti apa yang kita lihat sekarang ini, suara-suara bebas yang sudah tidak lagi mengenal rambu-rambu itu menyerang Islam. Inilah akibat dari mempelajari Islam dari orang-orang kaafir.
Ketiga, JIL merupakan kelompok yang sangat minim pengetahuannya tentang seluk-beluk Islam dan sumbernya, tetapi mereka berlagak seperti orang yang telah mencapi tingkat mujtahid. Ini terlihat dari kerangka berpikir metodologis yang mereka gunakan. Dalam mengemukakan berbagai gagasan kontroversialnya, JIL tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu.
Akibatnya antara ucapan mereka sebelumnya sering kontradiksi dengan apa yang mereka kemukakan sesudahnya. Dan mereka sering terlihat tidak mengerti terhadap apa yang mereka kemukakan. Sebagi contoh, JIL juga mengumandangkan kebebasan dengan slogannya yang rancu, “Menuju Islam yang Membebaskan.” Apa yang mereka maksud dengan kebebasan di sini dan membebaskan dari apa juga tidak jelas. Karena mereka hanya mau bebas sendiri dan tidak memberi kebebasan kepada kelompok lain. Mereka membebaskan orang Kristen menyebarkan agamanya dengan cara-cara yang licik, bahkan tidak jarang memaksakan agamanya kepada orang lain yang sudah beragama. Mereka sama sekali tidak pernah peduli dengan maraknya Kristenisasi di mana-mana yang sangat meresahkan umat Islam.
Sementara ketika ada sekelompok umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara kaffah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, justru mereka gerah. JIL merasa kepanasan terhadap orang Islam yang dianggap ‘bertingkah.’ Lalu, mereka pun tidak memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk mengekspresikan keislamannya, baik dalam sikap maupun pemikiran. Dan kemudian, JIL memvonis orang-orang Islam seperti ini sebagai fundamentalis, militan, radikal, garis keras, dan sebagainya. Oleh karena itu, fatwa murtad dan sesat-menyesatkan yang ditetapkan kepada tokoh-tokoh JIL, rasanya sangat pantas dan tidak berlebihan.
Dinukil dari:
http://al-aziziyah.com/ruang-dosen/87-ruang-dosen/160-siapa-jil.html
II. PARA TOKOH JARINGAN ISLAM LIBERAL
Inilah daftar 50 TOKOH JIL INDONESIA :
A. Para Pelopor
1. Abdul Mukti Ali
2. Abdurrahman Wahid
3. Ahmad Wahib
4. Djohan Effendi
5. Harun Nasution
6. M. Dawam Raharjo
7. Munawir Sjadzali
8. Nurcholish Madjid
B. Para Senior
9. Abdul Munir Mulkhan
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif
11. Alwi Abdurrahman Shihab
12. Azyumardi Azra
13. Goenawan Mohammad
14. Jalaluddin Rahmat
15. Kautsar Azhari Noer
16. Komaruddin Hidayat
17. M. Amin Abdullah
18. M. Syafi’i Anwar
19. Masdar F. Mas’udi
20. Moeslim Abdurrahman
21. Nasaruddin Umar
22. Said Aqiel Siradj
23. Zainun Kamal
C. Para Penerus “Perjuangan”
24. Abd A’la
25. Abdul Moqsith Ghazali
26. Ahmad Fuad Fanani
27. Ahmad Gaus AF
28. Ahmad Sahal
29. Bahtiar Effendy
30. Budhy Munawar-Rahman
31. Denny JA
32. Fathimah Usman
33. Hamid Basyaib
34. Husein Muhammad
35. Ihsan Ali Fauzi
36. M. Jadul Maula
37. M. Luthfie Assyaukanie
38. Muhammad Ali
39. Mun’im A. Sirry
40. Nong Darol Mahmada
41. Rizal Malarangeng
42. Saiful Mujani
43. Siti Musdah Mulia
44. Sukidi
45. Sumanto al-Qurthuby
46. Syamsu Rizal Panggabean
47. Taufik Adnan Amal
48. Ulil Abshar-Abdalla
49. Zuhairi Misrawi
50. Zuly Qodir
Dari buku : “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme”.
Penulis : Budi Handrianto
Penerbit : Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar).
Sumber: http://forum.detik.com/daftar-50-tokoh-jil-indonesia-t42703.html
http://ustadzrofii.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment