Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama ISLAM. [QS: Ali 'Imran:102] Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya JALAN MENUJU SYURGA. [HR Al-Bukhari & Muslim]
Saturday, October 8, 2011
Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 7
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A
6. Menahan diri dari meminta-minta apa yang dimiliki orang lain.
Sifat ini lebih dikenal para ulama dengan istilah 'iffah atau 'afâf. Ini merupakan salah satu karakter para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Allah
ceritakan dalam Alquran,
Artinya: "shallallahu ‘alaihi wa sallamOrang lain) yang tidak tahu menyangka,
bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri shallallahu ‘alaihi
wa sallamdari meminta-minta). Engkau shallallahu ‘alaihi wa sallamwahai Muhammad)
mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada
orang lain." (Q.S. Al-Baqarah: 273).
Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka
melihat langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mempraktikkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktikkannya juga. Di antara nasihat yang
beliau sampaikan: sabdanya,.
"Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan
tidak meminta-minta kepada manusia dan berambisi untuk memperoleh apa yang ada di
tangan mereka) niscaya Allah akan menganugerahkan kepadanya ‘iffah shallallahu
‘alaihi wa sallamkehormatan diri). Dan barangsiapa merasa diri berkecukupan; niscaya
Allah akan mencukupinya." (H.R. Bukhari (hal. 283 no. 1427) dan Muslim (VII/145 no.
2421) dari Hakîm bin Hizâm).
Karakter pertama merupakan jalan pengantar menuju karakter kedua. Sebab,
barangsiapa menjaga kehormatannya untuk tidak berambisi terhadap apa yang dimiliki
orang lain; ia akan memperkuat ketergantungannya pada Allah, berharap dan berambisi
terhadap karunia dan kebaikan Allah [lihat: Bahjah Qulûb al-Abrâr karya Syaikh as-Sa'dy (hal. 78)].
Lantas apa korelasi antara bersifat 'iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurangkurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam nasihatnya untuk seseorang yang bertanya, "Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan; aku akan disayang Allah dan dicintai manusia!" Beliaupun menjawab,
"Bersifat zuhudlah di dunia; niscaya engkau akan disayang Allah. Dan bersikap
zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia; niscaya mereka mencintaimu." (H.R. Ibn
Majah (IV/163 no. 4177) dari Sahl bin Sa'd as-Sâ'idy dan sanad-nya dinilai hasan oleh
Imam an-Nawawy) [Lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 216)].
Jika seorang da'i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk
menerima dakwahnya.
Kedua: Orang yang memiliki sifat 'afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allah, bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da'i tersebut; jelas - dengan izin Allah- mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allah ta'ala
berfirman,
Artinya: "Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk." (Q.S. Yasin: 21).
Kiat menumbuhkan sifat 'afâf
Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun, di sana
ada kiat yang membantu kita untuk menumbuhkan karakter mulia dalam diri kita. Yaitu
dengan melatih diri bersifat qana'ah yang berarti: menerima dan rela dengan berapapun
yang diberikan Allah ta'ala. Sebab sebenarnya sifat 'afaf sendiri merupakan buah dari
sifat qana'ah [lihat: Bahjah an-Nâzhirîn karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/583)].
Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qana'ah?
Jawabannya: dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di
tangan Allah dan yang kita dapatkan telah dicatat Allah ta'ala, serta tidak mungkin
melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.
Catatan penting [Dinukil dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah
(hal. 25-27)]
Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita 'melarutkan' diri dalam ritual-ritual bid'ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!
Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan [untuk mengenal lebih
lanjut hukum yasinan dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan
karya Ust. Yazîd bin Abdul Qâdir Jawwâs, dan makalah Takhrîj Hadits-Hadits tentang
Keutamaan Surat Yâsîn karya Ust. Dzulqarnain Sunûsi (dalam Majalah an-Nashîhah vol
06 hal 50-59)], tahlilan [untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari
kacamata Islam, silakan merujuk ke buku Santri NU Menggugat Tahlilan, karya Harry
Yuniardi dan Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust Abdul Hakîm bin
„Âmir „Abdât], maulidan atau acara-acara bid'ah lainnya. Caranya? Kita berusaha untuk
berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur
penyimpangan terhadap syariat, contohnya: kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti,
pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar
jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan
salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu
membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu
mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan
lain sebagainya.
Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidak ikutsertaan kita
dalam ritual-ritual bid'ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang 'tidak ada tawar-menawar' di dalamnya.
Kedua: Sebagian pihak 'mengolok-olok' beberapa da'i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid'ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat, namun mengabaikan pembenahan akidah.
Jawabannya:
A. Barangkali pihak yang gemar 'mengolok-olok' itu lupa bahwa dakwah Ahlus
Sunnah wal Jama‟ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang
benar saja. Namun, dia juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan
akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak
lain adalah agama Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
mana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî
rahimahullâh berkata, "Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah." [Syarh
as-Sunnah karya Imam al-Barbahârî (hal. 126)].
Syaikh Dr. Ibrâhîm bin „Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, "Hendaklah
diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran
Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak.
Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah
orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi
akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin." [Nashîhah li
asy-Syabâb (hal. 1)].
B. Seandainya ada sebagian ahlul bid'ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi
syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih
terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha
membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga
kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan
bukan sepotong-sepotong?!
Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat
kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak Islami, dia cenderung
'menjauhi' mereka dan memilih 'bergabung' dengan kelompok-kelompok ahlul bid'ah
yang terkenal menonjol dalam sisi itu.
Sikap ini juga kurang tepat; karena justru yang benar seharusnya dia berusaha
membenahi diri dengan 'merenovasi' akhlaknya yang kurang mulia, lalu berusaha terus
menerus pantang mundur untuk menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah
guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu
masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!
Penutup
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan
membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam
segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan
sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah "Bisnis afwan
akhi!" [Lihat: Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 (hal. 82-83)], yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Namun karena keterbatasan waktulah, yang memaksa penulis untuk mencukupkan makalah ini sampai di sini. Semoga Allah
berkenan mengaruniakan kelonggaran waktu di lain kesempatan, sehingga contoh-contoh
lainnya tersebut bisa dikupas, amin.
Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq... Wa shallallahu 'ala nabiyyina
muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in...
Kedungwuluh Purbalingga, 13 Rajab 1431 / 25 Juni 2010
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Artikel www.tunasilmu.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment