Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama ISLAM. [QS: Ali 'Imran:102] Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya JALAN MENUJU SYURGA. [HR Al-Bukhari & Muslim]
Monday, October 10, 2011
Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 4
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
3. Bertindak ramah terhadap orang miskin dan kaum lemah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Bantulah aku untuk mencari dan menolong orang-orang lemah; sesungguhnya
kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di
antara kalian." (H.R. Abu Dawud (III/52 no. 2594), dan sanad-nya dinilai jayyid baik oleh an-Nawawy) [lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 146)].
Masih banyak hadits lain, juga ayat Alquran yang memerintahkan kita untuk berbuat
baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditegur langsung Allah ta'ala tatkala suatu hari
beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau;
karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu
Allah abadikan dalam surat 'Abasa. Namun setelah itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu
muadzin di kota Madinah. Orang tersebut adalah Abdullah Ibn Ummi Maktum
radhiyallahu 'anhu.
Bersikap ramah dan care terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari
dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.
Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah
untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang
lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam? Dia menjawab, "Orang-orang lemah dan kaum miskin." Heraklius pun menimpali, "Begitulah kondisi pengikut para nabi di setiap masa." [Lihat: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibn Katsir (VI/471-472)].
Ketika menafsirkan Q.S. Asy-Syu'ara: 111, Imam Abu Hayyân menjelaskan, bahwa
orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang
terpandang. Sebab, otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi;
sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orangorang
terpandang [lihat: Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/30)].
Sedangkan keuntungan kedua, adalah dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang
yang menyaksikan praktik akhlak mulia tersebut, sampaipun yang menyaksikan tersebut
adalah orang yang memiliki kedudukan dalam perihal harta maupun sosial. Masyarakat
cenderung lebih respek kepada ulama atau da'i yang rendah hati, serta akrab dengan
orang-orang lemah dan papa dibanding mereka yang berada dalam lingkaran kehidupan
orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab, masyarakat menganggap da'i tersebut
cenderung lebih tulus. Adapun ulama yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat
dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut?
Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?
Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orangorang
yang memiliki kedudukan [penulis telah sedikit mengupas tentang permasalahan ini
serta dampaknya yang amat signifikan untuk kemajuan dan perkembangan dakwah,
dalam buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah (hal. 69-73)], namun penulis
hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan
para da'i serta ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang
terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan. Tanpa ada
tujuan lain melainkan untuk mengajak mereka semua ke jalan Allah ta'ala.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya 'Adiy bin
Hâtim ath-Thâ'iy. Beliau adalah satu raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar
munculnya Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah; membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu akan adanya raja pesaing baru. Hingga datanglah suatu hari di mana Allah membuka hatinya untuk
mendatangi Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
Begitu mendengar kedatangan 'Adiy, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
saat itu sedang berada di masjid beserta para sahabatnya pun bergegas menyambut
kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di
tengah perjalanan menuju ke rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia
memanggil-manggil beliau. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun berhenti dan
meninggalkan 'Adiy guna mendatangi wanita tersebut, beliau berdiri lama beserta dia
melayani kebutuhannya. Manakala melihat ke-tawadhu-an Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam 'Adiy bergumam dalam hatinya, "Demi Allah, ini bukanlah tipe seorang raja!"
Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam menggamit tangan 'Adiy melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk
yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilakan 'Adiy untuk
duduk di atasnya. 'Adiy pun menjawab, "Tidak, duduklah engkau di atasnya". "Tidak!
Engkaulah yang duduk di atasnya" sahut Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam". Akhirnya
'Adiy duduk di atas bantal tersebut dan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di atas tanah. Saat itu 'Adiy kembali bergumam dalam hatinya, "Demi Allah, ini bukanlah
karakter seorang raja!".
Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya 'Adiy pun mengucapkan dua
kalimat syahadat; menyatakan keislamannya [lihat: Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm oleh
Abdussalam Harun (hal. 272-274)].
Lihatlah bagaimana 'Adiy begitu terkesan dengan kerendahan hati Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam yang dengan sabar melayani kebutuhan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalannya mendampingi seorang raja besar! Goresan keterkesanan yang terukir dalam hatinya, merupakan titik awal ketertarikan dia untuk masuk ke dalam agama Islam.
Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da'i
muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allah ta'ala, dia telah bisa mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, "Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!". Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da'i tersebut: keramahannya kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang 'kecil'. Dia menyapa tukang parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!
Badruddin Ibn (w. 723 H) menyebutkan bahwa di antara akhlak ulama,
"Bermuamalah dengan para manusia dengan akhlak mulia, seperti bermuka manis,
menebar salam … berlemah lembut dengan kaum fakir, memperlihatkan kasih sayang
terhadap tetangga dan kerabat …" (Tadzkirah as-Sâmi' wa al-Mutakallim fî Adab al-'Âlim wa al-Muta'allim shallallahu ‘alaihi wa sallamhal. 96-97)).
Artikel www.tunasilmu.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment