MusicPlaylistRingtones

Monday, October 10, 2011

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia - Bagian 5


Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

4. Santun dalam menyampaikan nasihat, sambil memperhatikan kondisi
psikologis orang yang dinasihati.


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Ucapan yang baik adalah shadaqah.” (H.R. Bukhari ( hal. 606 no. 2989) dan
Muslim (VII/96 no. 2332)).

Memilih kata-kata yang baik juga memperhatikan psikologis seseorang sangat
menentukan keberhasilan dakwah seseorang. Penulis pernah diceritai saksi mata obrolan
antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak
pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya
akan perkembangan-pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu
cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menukas, "Ya, itukan cuma lahiriahnya
saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!". Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan
terdiam.

Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata
yang lebih santun? Haruskah kita 'menabrak' langsung lawan bicara kita. Apakah itu
justru tidak mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak
didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?

Misalnya, kita katakan pada orang awam tersebut, "Ya, memang pembangunan fisik
kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan
ekonomi masyarakat. Namun, alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi
pula dengan pembangunan mental masyarakat; sehingga timbul keseimbangan antara dua
sisi tersebut."

Kita bisa mengambil suri teladan dari metode Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam menasihati para sahabatnya.

Abu Umamah bercerita, "Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, „Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!‟

Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, „Diam
kamu, diam!‟ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, „Mendekatlah.‟ Pemuda
tadi mendekati beliau dan duduk.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, „Relakah engkau jika ibumu dizinai
orang lain?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul.‟ sahut pemuda tersebut.
„Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika bibi dari jalur bapakmu dizinai?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai.‟
„Relakah engkau jika bibi dari jalur ibumu dizinai?‟
„Tidak, demi Allah wahai Rasul!‟
„Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai.‟
Lalu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada
pemuda tersebut sembari berkata, „Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah
hatinya dan jagalah kemaluannya.‟
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina."
(H.R. Ahmad (XXXVI/545 no. 22211) dan sanad-nya dinilai sahih oleh Syaikh al-
Albani).

Cermatilah bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak langsung
menyalahkan pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk
berpikir sambil beliau juga memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin sebagian
kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele.

Namun, lihatlah apa hasilnya? Memang jalan dakwah itu panjang dan membutuhkan
kesabaran.

Tidak ada salahnya kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu
sebelum mengenal dakwah salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh
dengan berkah ini. Apakah dulu serta merta sekali diomongkan, kita langsung
meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita anut? Atau melalui proses
panjang yang penuh dengan lika-liku?

Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya
kita memperolehnya secara bertahap; kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain
juga dengan hikmah, nasihat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh as-Sa'dy ketika beliau menafsirkan firman Allah,
Artinya: "Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah melimpahkan nikmat-
Nya pada kalian." (Q.S. An-Nisa: 94) [Lihat: Tafsîr as-Sa'dy (hal. 158)].

Tidaklah mudah mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk
menganut sebuah ideologi baru. Pertama kali buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya.

Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya,
kemudian beralih ke ideologi yang baru.
-bersambung insya Allah-
Artikel www.tunasilmu.com

No comments:

Post a Comment